Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Voices from Gen Z: Apakah JakLingko Worth the Time? Megapolitan 9 Desember 2025

Voices from Gen Z: Apakah JakLingko Worth the Time?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com-
Jakarta memang juara soal transportasi umum, terlebih sejak kemunculan Program JakLingko di tahun 2020.
Sistem ini berhasil menyambungkan berbagai moda transportasi, seperti Transjakarta, MRT, LRT, KRL, dan Mikrotrans.
Sebenarnya, ada sedikit kesalahpahaman di masyarakat yang mengira
Jaklingko
adalah kata lain untuk angkot.
Padahal, JakLingko merujuk pada sistem terintegrasi dan Mikrotrans-lah yang menjadi sebutan baru untuk angkot.
Artikel ini akan menggunakan penyebutan JakLingko yang lebih familiar bagi pembaca.
JakLingko menjadi opsi transportasi teratas bagi semua kalangan karena… kalo bisa gratis kenapa harus bayar? Tapi apakah layanan ini benar-benar gratis?
Nyatanya, JakLingo itu bayar pakai ‘waktu’. Lalu.. apakah JakLingko worth the time?
Empat Gen Z punya pengalaman yang sama yaitu nunggu JakLingko, ada yang hampir 1 jam!
“Setiap hari pake JakLingko rute 73 dan sering nunggu. Kadang cepet banget, kadang 12 menit, 20 menit, kalo lagi rush hour pasti setiap unit yang dateng itu penuh. Paling lama gua pernah nunggu sekitar 40 menit,” ujar Iffa (25 tahun).
“Pake JakLingko rute 28 setiap pulang kerja atau kalo ke tempat (main) yang dilewatin JakLingko. Sering nunggu, sekitar 20 menitan ada kali ya,” kata Savina (24).
“Seminggu bisa dua kali naik JakLingko rute 16. Sering banget nunggu apalagi kalo hari Jumat karena supirnya sholat dulu. Biasanya nunggu 10 menitan sambil main hape dan bengong,” ujar Nad (22).
“Setiap hari pake JakLingko rute 34. Pernah nunggu hampir 1 jam, tapi paling sering 15-20 menit. Pas lagi nunggu juga ga ngapa-ngapain, takut dijambret kalo main hape, karena nunggunya di pinggir jalan banget,” kata Aco (25).
“Kalo bisa dikasih bangku biar nunggunya ga berdiri karena kadang pegel bangett kalo nunggu lama. Pengennya sih kaya halte pinggir jalan tapi kadang tempat bus stop ga semuanya luas.. bingung juga…,” kata Aco.
“Prasarananya sih kurang
proper
ya, bus stop cuma plang aja. Sebenernya kalo untuk diri sendiri sudah oke, tapi kasian untuk lansia yang harus nunggu kepanasan, gak ada tempat duduknya,” ujar Nad.
Selain itu, sopir yang galak dan ngebut juga jadi keluhan.
“Misalnya mau berhenti di bus stop udah bilang tapi abangnya ga berhenti. Coba bilang lagi bang berhenti bang, eh dia malah marah, bukannya bilang dari tadi, gitu,” kata Iffa.
Kemudahan dan kemurahan layanan tetap jadi faktor utama kenapa Gen Z tetap setia pada JakLingko.
“Karena rutenya ngelewatin tempat kerja aku bangeeett, jadi bener-bener terbantu,” tutur Aco.
“Pas nunggu, selalu mikir kalo pasti ga lama lagi bakal lewat yang lain. Gapapa nunggu lama daripada gua bayar 56K naik Gojek (dari kantor) ke rumah,” tutur Iffa.
Beberapa harapan Gen Z untuk JakLingko kedepannya terkait inklusivitas dan penambahan armada.
“Harapannya
please
tetep gratis.
Please
juga dipantau rute mana aja yang penumpangnya banyak jadi armadanya bisa disesuaikan.” Ujar Aco.
“Ada rute yang unitnya masih sedikit padahal yang ramai yang mau naik, jadi harus nunggu. Mungkin perlu ditambahin lagi unit untuk rute-rute yang kaya gitu,” ujar Savina.
“Harapannya untuk bus stop bisa dipikirkan kembali (kelayakannya) untuk prioritas seperti lansia, ibu hamil, dan disabilitas karena kasian kalo kepanasan dan butuh tempat duduk juga,” kata Nad.
JakLingko memang berhasil menjangkau semua kalangan di Jakarta, tapi
nothing is perfect
.
Tetap ada aspek yang perlu dikaji kembali demi kenyamanan dan keamanan pengguna.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.