PT Tusam Hutani Lestari (THL) yang dituding Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai salah satu perusahaan yang memicu banjir bandang di Aceh ternyata mempunyai relasi bisnis dengan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk.
Adapun perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) itu menguasai sekitar 97.000 hektare di Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireun dan Aceh Utara.
Sementara berdasarkan penelurusan Monitorindonesia.com pada laporan keuangan BSI tahun 2024, bahwa PT THL termasuk dalam list entitas yang memiliki relasi dengan BSI, tepat pada halaman 262.
SVP Corporate Secretary & Communication BSI, Wisnu Sunandar pada Selasa (9/12/2025) saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com menyatakan bahwa BSI adalah bank yang tunduk pada ketentuan perbankan dan menjunjung tinggi prinsip GCG dan syariah di mana di dalamnya terdapat ketentuan menjaga lingkungan.
BSI juga mengimplementasikan prinsip ESG di dalam bisnis dan operational bank. “Sejauh ini nama yang dimaksud tidak terdapat dalam nasabah pembiayaan dan bahwa tercantum sebagai transaksi pihak berelasi adalah seiring penerapan qanun keuangan syariah maka BSI sebagai bank syariah melayani transaksi dari perusahaan2 yang beroperasi di Aceh,” kata Wisnu.
Warga desak pemerintah cabut izin PT Tusam Hutani Lestari
Pada Senin (12/5/2025) lalu, ratusan warga Kecamatan Linge, Aceh Tengah, mengadakan musyawarah besar menuntut kejelasan atas penguasaan lahan oleh PT Tusam Hutani Lestari (THL), di Kampung Mungkur.
Pertemuan itu digagas Forum Reje se-Kecamatan Linge yang diketuai Wahyu Saputra. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 300 warga, termasuk para reje (kepala desa) dari 26 kampung, empat kepala mukim, Muspika Kecamatan Linge, Danramil, Kapolsek, hingga Anggota DPRK Aceh Tengah.
Masyarakat menyampaikan keresahan mereka atas wilayah yang kini tidak lagi dapat mereka kelola karena masuk dalam izin konsesi PT THL. “Seluruh lahan kami mulai dari kebun, sawah, bahkan permukiman kini termasuk dalam wilayah izin pemanfaatan hutan PT THL. Kami merasa tidak lagi memiliki tanah di wilayah sendiri,” kata Wahyu Saputra.
Akibat masuknya lahan ke dalam peta konsesi perusahaan, masyarakat tidak bisa mengurus sertifikat tanah, bahkan untuk rumah mereka sendiri. Padahal, lahan tersebut sudah dikuasai secara turun-temurun. “Pajak bumi yang kami bayar selama ini justru atas nama perusahaan. Lahan kami, termasuk rumah kami sendiri, tidak bisa disertifikatkan karena masuk konsesi PT THL. Ini sungguh menyakitkan,” jelasnya.
Melalui musyawarah tersebut, masyarakat menyampaikan tiga poin tuntutan, yakni mendesak pemerintah mencabut atau meninjau ulang izin usaha pemanfaatan hutan yang diberikan kepada PT THL. Selanjutnya, meminta pengembalian hak ulayat masyarakat desa melalui skema seperti Hak Pengelolaan Lahan (HPL), hutan adat, atau mekanisme hukum lainnya.
Terakhir, masyarakat meminta Muspika Linge memfasilitasi audiensi langsung antara para mukim, reje, dan tokoh masyarakat dengan Bupati Aceh Tengah.
Wahyu Saputra menegaskan, masyarakat akan menunggu respons dari Bupati Aceh Tengah. Jika tuntutan mereka diabaikan, ia menyebutkan warga siap menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di kantor bupati sebagai bentuk protes.
Sementara itu, Alimin, tokoh masyarakat yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan keprihatinannya atas perlakukan pihak perusahaan kepada masyarakat setempat yang dianggap sudah melampaui batas.
“Masyarakat saat ini dianggap sebagai penjajah di bumi mereka sendiri. Jangankan mengolah papan untuk buat rumah pribadi, tingkat kayu bakar aja mereka gak ngasih, ini dianggap sangat keterlaluan,” ungkap Alimin, Selasa (13/5/2025).
Masyarakat berharap masalah ini bisa sampai ke Presiden RI, yang pernah menyatakan kesiapannya memberikan HGU jika masyarakat membutuhkan. “Saya yakin Pak Presiden tidak mengetahui kejadian seperti ini di Aceh Tengah, khususnya di Kecamatan Linge,” tutup Alimin.
Camat Linge, Wen Akbar, menyatakan, pihaknya siap menjembatani pertemuan masyarakat dengan Bupati Aceh Tengah. Ia mengakui kendala pengurusan sertifikat tanah warga karena masuk dalam peta konsesi PT THL adalah persoalan nyata yang perlu diselesaikan.
“Kami akan upayakan agar perwakilan masyarakat dapat berdiskusi langsung dengan Bupati. Persoalan ini memang harus ditangani segera,” ucap Wen Akbar.
Menanggapi hal itu, Penasihat Direksi PT THL, Ivan Astavan Manurung, mengungkapkan, pihaknya tidak keberatan dengan kepentingan masyarakat terkait tanah adat. Namun, ia menekankan bahwa pengembalian tanah harus melalui mekanisme yang ada, termasuk perubahan status kewenangan di tingkat Kementerian.
“Prinsipnya, kalau itu memang kepentingan masyarakat, maka tidak ada masalah. Ngapain kita kuasai tanahnya tapi tidak bisa dikelola dengan baik? Mari kita bekerja sama melalui kemitraan,” jelas Ivan.
Saat ini, PT THL memiliki lahan yang membentang di empat kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Tengah, Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Utara. Di lahan tersebut tumbuh pohon pinus yang dimanfaatkan getahnya. Setiap harinya, sekitar 600 pekerja terlibat dalam proses penyadapan getah pinus, yang kemudian dikumpulkan dan dijual kepada penampung.
Perusahaan ini dilaporkan menghasilkan sekitar 300 ton getah pinus setiap bulan. Tanah yang kini menjadi bagian dari PT THL diketahui beralih kepemilikan sejak masa krisis moneter, dengan kepemilikan perusahaan yang berkaitan dengan Presiden Prabowo Subianto.
Tudingan Jatam
Berdasarkan analisis berbasis peta konsesi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menilai bencana ini tidak hanya akibat curah hujan ekstrem, tetapi juga dampak kerusakan hutan di hulu sungai, termasuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas hampir 97 ribu hektare milik Presiden Prabowo Subianto melalui PT Tusam Hutani Lestari (PT THL).
Kawasan HTI milik Prabowo tersebar di Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara, berdekatan dengan puluhan izin tambang minerba, HTI lain, HPH, dan perkebunan sawit.
Jatam menilai tumpang-tindih izin ini menggerus tutupan hutan, merusak daerah tangkapan air, dan melemahkan kemampuan alam menahan limpasan hujan.
“Peta ini menunjukkan akar struktural banjir di Aceh. Banyak wilayah hulu telah dikapling untuk tambang dan konsesi kayu, termasuk milik Presiden,” kata Jatam kepada Monitorindonesia.com, Rabu (3/12/2025).
Di banyak titik, pemerintah daerah menyebut banjir akibat luapan sungai karena hujan lebat, namun overlay peta Jatam menambahkan lapisan fakta lain: 30 izin tambang seluas 132 ribu hektare, ditambah konsesi HTI hingga tepi permukiman, turut berkontribusi pada risiko banjir.
Kabupaten terdampak parah antara lain Pidie Jaya, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Singkil, kini berstatus siaga darurat.
Di Linge, Aceh Tengah, HTI PT Tusam Hutani Lestari hampir 100 ribu hektare, memicu protes warga karena mengubah hutan adat menjadi kebun industri pinus dan mempersempit ruang hidup masyarakat Gayo.
“Ketika hutan-hutan Linge diganti tanaman industri dan dibuka jalan, fungsi ekologisnya rusak. Dampaknya sekarang dirasakan seluruh Aceh,” kata pegiat lingkungan lokal.
Jatam menegaskan bencana ini bukan sekadar fenomena alam. Kepemilikan lahan raksasa oleh korporasi dan elit politik, termasuk Presiden, turut menentukan risiko banjir bandang. “Ini bukan hanya soal hujan, ini soal siapa yang menguasai hutan kita,” lanjut Jatam.
Aktivis meminta pemerintah pusat melakukan audit izin lintas sektor—tambang, HTI, perkebunan, dan HPH—untuk mencegah korban bertambah, karena Aceh berada di titik kritis akibat tumpang-tindih izin selama dua dekade terakhir.
Sejarah kepemilikan lahan HTI Prabowo di Aceh Tengah diketahui sejak Pilpres 2019. Saat itu, Jokowi menyebut Prabowo memiliki 120 ribu hektare di Aceh Tengah, yang kemudian dikonfirmasi Prabowo sebagai HGU, hak guna usaha atas lahan milik negara.
Lahan HTI ini diperoleh melalui pembelian saham PT Tusam Hutani Lestari dari pengusaha Bob Hasan, menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Syahrial.




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5437783/original/004135400_1765263063-Menhan_di_Makassar.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)






