Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Terbengkalai di Tengah Kota, Jejak Panjang Sejarah RS Harapan Depok Megapolitan 15 Desember 2025

Terbengkalai di Tengah Kota, Jejak Panjang Sejarah RS Harapan Depok
Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com
– Di tengah ramainya lalu lintas Jalan Pemuda, Pancoran Mas, Kota Depok, berdiri sebuah bangunan besar yang seolah terlepas dari laju waktu. Bekas Rumah Sakit (RS) Harapan Depok itu kini sunyi, tertutup rapat, dan dibiarkan tanpa aktivitas.
Bangunan yang dulunya menjadi salah satu pusat layanan kesehatan warga Depok tersebut tampak terbengkalai di balik pagar besi yang digembok rapat dengan rantai berkarat. Dari luar, seluruh kompleks terlihat seperti kawasan yang lama tak tersentuh perawatan.
Rumput liar tumbuh tinggi menutupi hampir seluruh permukaan tanah di halaman depan, bahkan mencapai lutut orang dewasa.
Satu-satunya objek yang masih tampak berdiri jelas adalah tugu Cornelis Chastelein berwarna putih di tengah halaman. Namun, tulisan pada tugu tersebut sudah pudar, tertutup lumut, dan tergerus cuaca.
Bangunan utama rumah sakit tampak ringkih. Dindingnya mengelupas, dengan bercak hitam dan kusam yang menyebar di hampir setiap sudut. Jendela-jendela terlihat gelap, sebagian tertutup rapat, sebagian lainnya terbuka sedikit seperti tertiup angin dan dibiarkan dalam waktu lama.
Tulisan “
RS Harapan Depok
” di bagian depan bangunan pun memudar. Beberapa hurufnya tampak nyaris terlepas dari tempatnya.
Di sisi lain, bangunan Instalasi Gawat Darurat (IGD) berlantai dua juga mengalami kerusakan. Cat putihnya pudar, dan retakan tampak jelas di sejumlah bagian dinding.
Kanopi panjang yang dulu menjadi jalur keluar-masuk pasien kini hanya menyisakan rangka besi berkarat. Beberapa bagiannya bahkan terlihat hampir roboh.
Di bawahnya, kursi-kursi tunggu lama—dengan busa sobek dan warna kusam—masih teronggok begitu saja, seolah ditinggalkan secara mendadak.
Bekas pintu-pintu ruang perawatan berjajar di kanan dan kiri bangunan, namun sebagian besar tak lagi dapat menutup sempurna. Jendela-jendela kecil di area tersebut menghitam oleh debu. Dari celahnya, terlihat bayangan lemari dan peralatan lama yang tampaknya sudah bertahun-tahun tidak digunakan.
Kondisi atap bangunan pun tak kalah memprihatinkan. Banyak genteng merah yang retak, bergeser, bahkan hilang. Di beberapa titik tampak lubang kecil yang memperlihatkan rangka atap di bawahnya.
Di bagian belakang bangunan, deretan perumahan yang relatif lebih baru tampak kontras dengan kondisi rumah sakit yang terbengkalai di depannya. Tidak ada petugas, tidak ada kendaraan, dan tidak terdengar suara aktivitas—hanya bunyi angin dan serangga dari balik semak-semak.
Kontras antara kesunyian di dalam pagar dan ramainya Jalan Pemuda menciptakan suasana ganjil, seolah waktu berhenti di dalam kompleks RS Harapan, sementara kehidupan kota di luar terus bergerak.
Di balik kondisi terbengkalainya, bekas RS Harapan Depok menyimpan jejak panjang sejarah Kota Depok sejak masa kolonial.
Suzanna Leandr, ahli sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), menceritakan  sebelum berfungsi sebagai rumah sakit, kompleks tersebut merupakan gedung pemerintahan penting bagi komunitas Depok Lama.
Ia menyebut bangunan itu dahulu dikenal sebagai
Kantoor van Het Gemeentebestuur van Depok
atau kantor Dewan Kotapraja Depok.
“Itu dulu diperuntukkan bagi istilahnya istana negaranya (Depok) kita,” kata dia kepada
Kompas.com,
Jumat (12/12/2025).
“Jadi kita d isitu diajar supaya kita punya pemimpin. Nah, jadi tempatnya di situ. Kita dulu namakan Gemeentebestuur,” imbuhnya.
Akar pembangunan gedung tersebut menelusur jauh ke masa kepemimpinan Cornelis Chastelein, tokoh warga Belanda yang membentuk cikal bakal peradaban di wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Depok. Pada masa itu, fondasi gedung dirancang sebagai pusat administrasi masyarakat Depok Lama.
Sebagai penanda resmi fungsi bangunan, sebuah monumen didirikan di halaman depan dan diresmikan pada 28 Juni 1914, bertepatan dengan perayaan hari jadi Depok ke-200.
“Jadi kalau dikaitkan dengan kota-kota di Eropa kan, bisa negara di dalam negara kan, kita disebut negara lah. Karena sudah punya presiden. Kita sudah dimerdekakan,” ujar dia.
Suzanna menjelaskan, sebelum menjadi rumah sakit, gedung tersebut sempat beralih fungsi menjadi tangsi polisi. Setelah itu, bangunan ini digunakan sebagai Balai Pengobatan atau Klinik Penyakit Paru sekitar tahun 1960-an.
Klinik tersebut dijalankan oleh Yayasan Kesehatan Kristen Pelayanan Kaum Awam Depok (Pelkad), sebuah lembaga hasil kerja sama sejumlah gereja di Depok untuk menangani wabah tuberkulosis (TBC) pada masa itu.
Pada periode tersebut, Depok belum memiliki rumah sakit. Fasilitas kesehatan yang tersedia hanya berupa balai-balai layanan kesehatan milik pemerintah dengan jumlah yang terbatas.
“Jadi belum ada rumah sakit-rumah sakit misalnya kayak yang di Jalan Siliwangi, Hermina. Ini belum ada. Itu baru Rumah Sakit Harapan,” tuturnya.
Pada 1965, Pelkad dibubarkan dan digantikan oleh Yayasan Pelayanan Kristen (Pelkris). Pada masa inilah pemerintah mengirim seorang dokter muda bernama John Wilhem Karundeng ke Depok.
“Pada 1968. Jadi ketika itu dokter yang dikirim oleh pemerintah ada dokter namanya Dokter John Wilhem Karundeng,” kata Suzanna.
Ia menyebutkan, Karundeng sebagai dokter pertama yang benar-benar menetap dan mengembangkan layanan kesehatan secara serius di gedung tersebut.
“Dia sebagai dokter pertama, dia istilahnya sampai bisa mendirikan rumah sakit harapan yang pertama di Depok,” ujar dia.
RS Harapan yang berlokasi di Jalan Pemuda—yang dahulu bernama Kerk Weg—kemudian berkembang menjadi rumah sakit umum tipe D dengan kapasitas sekitar 100 tempat tidur. Keberadaannya menjadi salah satu fasilitas kesehatan penting bagi warga Pancoran Mas dan sekitarnya.
Meski aset bangunan berada di bawah kepemilikan YLCC, operasional RS Harapan kala itu sepenuhnya dikelola oleh Yayasan Kesehatan Harapan di bawah naungan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Setelah lebih dari enam dekade melayani masyarakat Depok dan sekitarnya, RS Harapan Depok kini resmi berhenti beroperasi secara permanen.
Suzanna menjelaskan, keberadaan rumah sakit tersebut sejak awal bergantung pada perjanjian kerja sama antara YLCC dan PGI.
“Jadi ya kalau tertulis itu (dalam kontrak) PGI Kita kerjasamanya cuma 25 tahun,” kata dia.
Setelah masa kerja sama berakhir, perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang. Menurut Suzanna, kondisi itu membuat pihak yayasan tak memiliki banyak pilihan.
“Nah setelah itu tidak bisa bekerja sama lagi. Kami tidak bisa meneruskan. Karena kalau mau menjadikan rumah sakit biayanya berat,” ujar dia.
Meski tak lagi beroperasi, bangunan bekas RS Harapan Depok kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Status tersebut membuat bangunan tidak bisa diubah atau dibongkar sembarangan.
Setiap rencana pemanfaatan atau renovasi harus mengikuti aturan pelestarian yang berlaku.
“Sudah ditulis cagar budaya. Tapi sampai sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam hal ini kota Depok ya, kita juga tidak tahu” kata dia.
Suzanna menuturkan, status cagar budaya tidak hanya melekat pada bangunan rumah sakit, tetapi juga pada sejumlah bangunan tua lain di kawasan tersebut.
“Jadi termasuk gereja, gedung YLCC, rumah sakit harapan. Rumah-rumah yang bangunan tua itu. Itu sudah dicanangkan sebagai cagar budaya,” ujar dia.
Terkait rencana ke depan, ia menyebutkan, pemerintah kota sempat mewacanakan pemanfaatan bangunan sebagai museum. Namun, rencana tersebut belum dibahas lebih lanjut karena status kepemilikan gedung masih berada di bawah yayasan.
“Katanya dia (Pemkot) mau jadikan museum. Tapi kan kita logikanya kan yang miliknya jadi nanti pemerintah. Jadi kita (YLCC) juga masih pertimbangan-pertimbangan juga,” tutur dia.
Meski sudah tidak digunakan, area bekas RS Harapan Depok tetap dijaga agar tidak sepenuhnya terbengkalai. Namun, pemeliharaan yang dilakukan terbatas pada perawatan ringan.
“Ya paling kami bersihin rumput-rumputnya. Tapi, kalau untuk soal bangunannya kami enggak bisa lagi,” kata dia.
Hal tersebut juga dibenarkan warga sekitar. Menurut mereka, pihak yayasan masih rutin membersihkan area, meski pertumbuhan ilalang yang cepat membuat bangunan kerap terlihat tidak terawat dari luar.
Yovi (36), warga yang tinggal di dekat lokasi, mengatakan pembersihan biasanya hanya difokuskan pada halaman.
“Paling dari yayasan sja tadi bersih-bersih ilalang aja, terkahir itu bukan kemarin, cuman kan emang Ilalang itu cepat tumbuh jadi kelihatan ga keurus,” ujar dia.
Suzanna berharap status cagar budaya dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian bangunan bersejarah tersebut.
“Ya itu yang tadi bahwa padahal itu sudah dijadikan cagar budaya berarti dia harus lestarikan loh. Seperti itu,” kata Suzanna.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.