Tekanan Sosial Bikin Warga Matraman Berhenti Merokok dan Nikmati Udara Bersih
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Berhenti merokok
sering dipandang sebagai keputusan personal yang lahir dari kesadaran individu.
Namun di Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, proses berhenti merokok justru muncul dari ruang komunal—lingkungan, tetangga, dan kesepakatan hidup bersama.
Penerapan
kawasan bebas asap rokok
tidak hanya mengubah kualitas udara, tetapi juga secara perlahan memengaruhi perilaku perokok aktif.
Tanpa razia ketat atau hukuman keras,
tekanan sosial
, rasa sungkan, dan kesadaran akan dampak kebiasaan merokok menjadi pendorong perubahan yang nyata.
Sebelum kawasan bebas asap rokok diterapkan, merokok menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian warga.
Rokok hadir sejak pagi hingga malam, menyertai hampir semua aktivitas. Bagi sebagian orang, rokok bukan sekadar benda, melainkan refleks tubuh yang berjalan otomatis.
Irman (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang kini telah berhenti merokok, menggambarkan betapa lekatnya rokok dalam hidupnya.
“Saya merokok sudah lama, sejak umur dua puluhan. Dulu itu sehari bisa habis satu bungkus, kadang lebih. Sudah jadi kebiasaan, habis makan nyari rokok, bangun tidur nyari rokok,” ujar Irman saat ditemui, Jumat (19/12/2025).
Keberhasilan Irman berhenti merokok tidak lepas dari perubahan lingkungan sekitar. Ia mengaku awalnya keberatan ketika aturan kawasan bebas asap rokok diterapkan.
“Terus terang, awalnya keberatan. Rasanya kaya dibatasi, kaya hak kami diambil. Masa di kampung sendiri nggak boleh ngerokok?” kata Irman.
Namun, aturan tetap dijalankan. Irman pun mulai menyesuaikan diri.
Awalnya, Irman tidak berniat berhenti. Ia hanya menyesuaikan diri dengan keluar kampung ketika ingin merokok. Namun kebiasaan baru ini terasa merepotkan.
“Dulu kalau mau ngerokok harus keluar kampung atau cari tempat yang jauh dari rumah warga. Itu yang bikin ribet juga ya,” ujar dia.
Tanpa disadari, jumlah rokok yang dikonsumsi berkurang perlahan—dari sebungkus menjadi setengah, lalu beberapa batang, hingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Mulai ngurangin, dari sebungkus jadi setengah, lama-lama cuma beberapa batang. Akhirnya sekalian berhenti aja,” kata Irman.
Selain kesadaran pribadi, tekanan sosial menjadi pendorong penting. Teguran warga, tatapan sekitar, dan rasa sungkan menjadi pengingat bahwa kebiasaan lama tidak lagi diterima.
“Malu juga. Dari situ lah, ternyata kebiasaan saya selama ini bikin orang lain nggak nyaman,” ujar Irman.
Tanpa disadari, proses mengurangi berubah menjadi berhenti sepenuhnya. Tubuhnya merespons lebih dari yang dibayangkan.
Nafas lebih lega, badan terasa ringan, dan sensitivitas terhadap bau asap justru meningkat.
Dengan berhenti merokok, ia tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi juga mulai merasakan perubahan positif pada tubuh dan kondisi ekonomi sehari-hari.
“Manfaatnya banyak. Napas enteng, badan juga lebih enak, lebih fresh. Uang yang dulu buat rokok sekarang bisa ditabung atau buat kebutuhan rumah,” kata dia.
Setelah enam tahun penerapan kawasan bebas asap rokok, perubahan juga dirasakan warga. Lingkungan menjadi lebih sehat, udara lebih bersih, dan aktivitas sehari-hari lebih nyaman, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Ketua RW 06, Ence Santoso, menyebut suasana kampung kini lebih hidup dan segar.
“Untuk dampaknya, kayaknya mereka hidup cerah, mukanya gaada yang loyo, enggak ada kuning-kuningnya. Merah,” ujarnya.
Wakinem (70), salah satu warga lansia, menilai lingkungan kini lebih nyaman untuk beraktivitas di luar rumah.
Selain udara yang lebih bersih, suasana lingkungan juga terasa lebih tenang dan ramah bagi lansia.
“Lebih nyaman. Lingkungan juga nggak bau asap. Sekarang lebih bersih, lebih segar, jadi adem,” katanya.
Bagi Wakinem, yang lebih banyak beraktivitas di sekitar rumah, perubahan kualitas udara menjadi tanda paling terasa dari keberhasilan penerapan aturan tersebut.
“Itu udaranya. Sekarang kalau duduk di luar rumah, enggak kecium bau rokok. sudah jarang yang nyalain rokok sembarangan,” katanya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai keberhasilan kawasan bebas asap rokok tidak lepas dari kontrol sosial. Rasa sungkan dan menjadi bahan pembicaraan antarwarga membuat perilaku merokok sembarangan berkurang.
“Kontrol sosial, tekanan, gosip itu seringkali dianggap lebih efektif untuk menekan dan membuat jera perilaku seseorang di dalam kelompok masyarakat,” ujarnya.
Menurut Rakhmat, inisiatif ini adalah representasi masyarakat perkotaan yang peduli pada ruang hidup bersama, bukan sekadar pertimbangan medis.
Namun, Ia menekankan, perubahan perilaku seperti berhenti merokok tidak akan bertahan jika hanya dilakukan oleh satu orang.
“Kalau satu orang dalam RT punya kesadaran untuk tidak merokok sembarangan, itu akan berhasil kalau orang-orang se-RT tersebut juga sama punya
kesadaran kolektif
,” katanya.
Menurut dia, kawasan bebas asap rokok merupakan representasi inisiatif masyarakat akar rumput perkotaan yang mulai peduli pada ruang hidup bersama.
“Inisiatif ini adalah representasi dari masyarakat akar rumput atau masyarakat perkotaan dalam memiliki kesadaran untuk peduli dengan kehidupan atau ruang masyarakat kota,” ujar Rakhmat.
Rakhmat menilai keberhasilan program kawasan bebas asap rokok juga ditentukan oleh koordinasi yang berjalan dari RW ke RT, lalu ke warga.
“Kesadaran itu bersifat pribadi, awalnya memang dibangun oleh pribadi. Tapi dari pribadi itulah yang kemudian bereskalasi menjadi kesadaran kolektif,” ucap Rakhmat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tekanan Sosial Bikin Warga Matraman Berhenti Merokok dan Nikmati Udara Bersih Megapolitan 23 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2020/08/17/5f3a1578e7187.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a5bdbc3f36.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a34ce14328.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/23/694a509848806.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2020/01/01/5e0c09e343af3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)