Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Surat Seorang Anak untuk Ibu yang Sepanjang Hidup Melawan Korupsi

Liputan6.com, Jakarta – Hari Ibu, 22 Desember, biasanya dipenuhi bunga, pelukan, dan kata terima kasih. Namun tahun ini, Hari Ibu hadir dengan rasa yang jauh lebih sunyi. Dari balik jeruji, Nadiem Makarim menulis sepucuk surat untuk ibundanya, Atika Algadri, seorang pegiat antikorupsi yang sepanjang hidupnya berdiri di garis depan perjuangan moral bangsa.

Dalam surat itu, Nadiem membuka perasaannya dengan jujur. Ia menyebut hari ini “penuh dengan perasaan yang membingungkan.” Ia sedih melihat ibunya kehilangan anaknya, sulit tidur, dan hidup dalam kekhawatiran.

Perbesar

Atika Algadri sedang membaca sepucuk surat di Hari Ibu yang dikirim oleh sang anak, Nadiem Makarim. (istimewa)

Pada usia 81 tahun, sang ibu masih digambarkan memiliki semangat seperti aktivis mahasiswa yang “nekat turun ke jalanan” sebuah potret keteguhan yang kontras dengan situasi rapuh yang sedang mereka hadapi.

Kontradiksi itu terasa tajam. Seorang ibu yang hidupnya dihabiskan untuk melawan korupsi, kini harus menyaksikan anaknya dituduh melakukan kejahatan yang selama ini ia lawan. Nadiem mengingatkan kembali masa kecilnya, meja makan yang menjadi ruang diskusi panas para aktivis antikorupsi, pintu rumah yang tak pernah sepi dari perdebatan tentang negara yang bersih. 

Dari ibunyalah, ia belajar membedakan benar dan salah. Dari ibunya pula, ia mewarisi api perjuangan itu.

Namun di Hari Ibu ini, Nadiem tidak meminta ibunya menjadi “pendekar” sepanjang waktu. Ia meminta sesuatu yang sangat manusiawi…menangis. 

“Ibu juga boleh menjadi Ibu biasa yang sedih dan kangen sama anaknya,” tulisnya. 

Ada pengakuan yang lembut bahwa air mata bukan kelemahan, melainkan cara menenangkan hati. Di tengah sorotan publik dan kerasnya stigma, ia ingin ibunya tahu bahwa menjadi ibu yang rapuh sesekali adalah hal yang sah.

Perbesar

Atika Algadri menangis terharu setelah membaca sepucuk surat di Hari Ibu yang dikirim oleh sang anak, Nadiem Makarim. (istimewa)

Surat itu kemudian beralih menjadi janji. Nadiem menegaskan ikatan darah dan nilai yang tak terputus, yaitu kekuatan dalam diri ibunya juga hidup dalam dirinya. Perjuangan ibunya tidak akan padam, ia berjanji akan membawa obor itu kepada anak-anaknya kelak, seperti yang ibunya lakukan padanya. Di bagian ini, surat berubah menjadi doa dan keyakinan, 

“Badai ini akan berlalu… Kebenaran selalu diberikan jalan,” tulisnya.

Di Hari Ibu, ketika banyak keluarga merayakan kebersamaan, surat ini mengingatkan kita pada sisi lain dari cinta seorang anak dan keteguhan seorang ibu. Di tengah tudingan dan proses yang berjalan, ada ruang kemanusiaan yang layak didengar, yaitu hubungan ibu dan anak yang diuji oleh keadaan. Surat itu ditutup dengan kalimat sederhana namun sarat makna “I love you, Ibu” sebuah pengakuan yang tak membutuhkan panggung, hanya keheningan untuk diresapi.

 

(*)