GELORA.CO – Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin kembali mengguncang ruang publik setelah menyebut adanya “musuh dalam selimut” yang berperan dalam melemahkan kedaulatan ekonomi Indonesia, khususnya di sektor pertambangan strategis. Pernyataan ini bukan sekadar kritik keras, tetapi sinyal bahwa negara mulai menggeser pendekatannya dari sekadar pengawasan administratif menuju langkah penegakan yang lebih tegas terhadap pihak-pihak yang diduga berkhianat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pengamat intelijen dan geopolitik, Amir Hamzah, menilai sikap Sjafrie merupakan alarm keras bahwa pemerintah melihat ancaman internal sebagai faktor utama melemahnya kontrol negara terhadap komoditas strategis seperti nikel, timah, dan mineral lainnya.
“Ketika Menhan menyebut musuh dalam selimut, itu artinya ada pejabat atau aktor dengan otoritas legal yang justru melakukan tindakan berlawanan dengan kepentingan nasional,” ujar Amir kepada wartawan, Kamis (11/12/2025).
Dalam beberapa kesempatan, Sjafrie menyinggung anomali dalam perdagangan timah Indonesia yang justru mengalir deras ke China dengan harga yang dinilai tidak mencerminkan nilai strategis komoditas tersebut. Indonesia adalah salah satu produsen timah terbesar dunia, tetapi keuntungan besar justru diterima negara pengimpor, bukan produsen.
Menurut Amir Hamzah, indikasi pengkhianatan terlihat dari dua faktor:
-Penetapan harga ekspor yang tidak wajar dan tidak mengikuti mekanisme pasar internasional, dan
-Kemudahan luar biasa yang diberikan kepada importir tertentu, terutama perusahaan-perusahaan China yang dikenal menguasai rantai pasok smelter di Asia Tenggara.
“Ini bukan sekadar cuan. Dalam perspektif intelijen, pola seperti ini sering dilakukan untuk economic penetration, di mana negara asing menggunakan instrumen bisnis untuk membangun ketergantungan ekonomi negara target,” kata Amir.
Sebelumnya, Sjafrie juga menyoroti kejanggalan di kawasan industri nikel Morowali wilayah yang kini menjadi pusat investasi China melalui perusahaan-perusahaan raksasa industri smelter. Di wilayah tersebut, muncul laporan keberadaan bandara dengan aktivitas penerbangan yang diduga tidak melalui standar imigrasi. Fenomena ini menimbulkan dugaan adanya jalur masuk tenaga kerja asing (TKA) yang tidak tercatat oleh negara.
Amir Hamzah menyebut kondisi ini sebagai “operasi senyap yang merusak kedaulatan demografis dan keamanan nasional.” Dalam kajian intelijen, masuknya pekerja asing tanpa catatan resmi berpotensi mengandung elemen beyond labor migration, seperti: infiltrasi agen ekonomi, kegiatan spionase industri, penguasaan teknologi kunci tanpa lisensi negara, bahkan parallel governance di area industri tertentu.
“Jika benar ada bandara tanpa imigrasi, itu sudah masuk kategori shadow territory. Dan shadow territory hanya mungkin tumbuh jika ada aktor lokal yang memberikan restu,” tegas Amir.
Frasa yang digunakan Sjafrie tidak main-main. Dalam perspektif geopolitik, musuh dalam selimut dapat terdiri dari berbagai kelompok:
1. Pejabat dengan kewenangan perizinan
Mereka yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan rekomendasi ekspor, IUP (Izin Usaha Pertambangan), atau persetujuan pembangunan fasilitas tertentu.
2. Elite bisnis yang menjadi perantara kepentingan asing
Banyak entitas bisnis lokal yang secara formal adalah perusahaan Indonesia, tetapi secara operasional didominasi modal asing.
3. Aparat di tingkat operasional
Termasuk pihak yang menutup mata terhadap aktivitas ilegal, baik karena korupsi atau tekanan politik.
4. Jaringan internasional yang menggunakan metode debt-trap atau resource locking
Ini adalah strategi umum yang digunakan negara besar untuk mengamankan akses komoditas strategis dengan cara mengikat negara target dalam ketergantungan ekonomi.
Menurut Amir, pernyataan Sjafrie adalah pesan keras bahwa pemerintah sedang memetakan jaringan ini.
Dari sudut pandang intelijen, apa yang terjadi di sektor tambang Indonesia selama satu dekade terakhir memiliki beberapa pola:
1. Economic Intelligence Warfare
China, sebagai negara dengan kebutuhan mineral kritis yang sangat besar untuk industri baterai dan teknologi, secara aktif menggunakan strategi ekonomi sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya. Indonesia, sebagai pemasok utama nikel dan timah, otomatis menjadi target utama.
2. Manipulasi Kebijakan Lokal
Pola infiltrasi ekonomi biasanya melibatkan: pemberian insentif terlalu besar, penguasaan smelter, kontrol harga, pembatasan ekspor bijih mentah, dan penguasaan rantai nilai dari hulu ke hilir.
Jika ada pejabat yang “mempermudah” proses tersebut, maka ia secara tidak langsung melakukan pengkhianatan geopolitik.
3. Penguasaan Infrastruktur Strategis
Kehadiran bandara tanpa imigrasi dan fasilitas eksklusif menunjukkan adanya secured corridor untuk kepentingan tertentu hal yang sangat berbahaya jika tidak berada di bawah kontrol negara.
Pernyataan keras Sjafrie dapat dibaca sebagai pembukaan fase baru “pembersihan” sektor pertambangan. Ada indikasi bahwa pemerintah akan: melakukan audit menyeluruh terhadap izin tambang, mengevaluasi kebijakan ekspor mineral strategis, memeriksa jaringan korporasi yang terhubung dengan kepentingan asing, memperketat sistem imigrasi dan akses terhadap kawasan industri tertutup, dan membongkar pejabat atau aktor lokal yang menjadi kaki tangan negara asing.
“Jika Menhan turun tangan langsung, itu berarti ancamannya sudah dikategorikan high risk national security threat, bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi,” jelas Amir.
Mineral strategis seperti nikel dan timah kini menjadi komoditas paling diperebutkan dalam perang teknologi antara Amerika Serikat dan China. Keduanya membutuhkan pasokan stabil untuk industri: kendaraan listrik, panel surya, semikonduktor, dan baterai litium.
Indonesia berada di posisi strategis, tetapi kondisi ini juga membuat Indonesia menjadi zona kontestasi pengaruh ekonomi.
“Jika bangsa ini tidak waspada, kita tidak hanya kehilangan mineral, tetapi juga kehilangan kendali masa depan ekonomi,” ujar Amir.
Pernyataan Sjafrie tentang adanya “musuh dalam selimut” menjadi peringatan bahwa ancaman terhadap ekonomi Indonesia tidak selalu datang dari luar, tetapi sering justru lahir dari aktor internal yang melayani kepentingan asing.
Menurut Amir Hamzah, langkah Sjafrie adalah sinyal untuk:
-memperkuat intelijen ekonomi,
-menegakkan aturan pertambangan,
-membongkar jaringan oligarki yang merugikan negara,
-dan memastikan sumber daya mineral strategis kembali dikendalikan penuh oleh bangsa sendiri.
“Jika operasi bersih-bersih ini berlanjut, kita mungkin menyaksikan salah satu reformasi besar sektor tambang dalam sejarah Indonesia,” tutup Amir.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5400243/original/077376900_1762072514-IMG_7268.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)








