Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Sisi Gelap Stasiun Tanjung Priok, Cagar Budaya yang Sempat Jadi Tempat Prostitusi Megapolitan 22 Desember 2025

Sisi Gelap Stasiun Tanjung Priok, Cagar Budaya yang Sempat Jadi Tempat Prostitusi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Di balik megahnya bangunan Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara, tersimpan kisah kelam yang bagi sebagian orang sudah menjadi rahasia umum.
Stasiun yang dibangun sejak 1914 dan ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1993 itu ternyata pernah menjadi lokasi prostitusi yang dikenal dengan nama
Pela-pela
.
Pada era 1990-an, berbagai aktivitas prostitusi dilakukan secara terang-terangan, mulai dari ujung peron masuk hingga ke area luar Stasiun
Tanjung Priok
.
“Dulu
Stasiun Tanjung Priok
terbengkalai, ketika malam di stasiun itu ada lokalisasi yang dikenal namanya sebagai ‘Pela-pela’, beroperasinya jam 17.00 WIB,” kata penumpang sekaligus warga yang tinggal di sekitar stasiun bernama Mail (42) saat diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Jumat (19/12/2025).
Setiap menjelang matahari terbenam, warga mulai menggelar lapak berupa meja dan bangku plastik di sepanjang rel kereta api Stasiun Tanjung Priok.
Tak hanya lapak penjual minuman keras, warga juga menyediakan tempat-tempat untuk aktivitas prostitusi, salah satunya balai kayu yang dilengkapi kasur kapuk di pinggir rel kereta api.
Antarbalai kayu tersebut pun tak ada pembatas atau penutup. Para pelaku prostitusi hanya mengandalkan kondisi rel yang gelap dan minim penerangan agar aktivitas mereka tidak terlihat oleh banyak orang.
Mail bilang, aktivitas prostitusi di sepanjang rel kereta api Stasiun Tanjung Priok selalu ramai setiap malam, terutama ketika hari libur.
Suara musik keras dari
sound system
juga selalu mengiringi aktivitas prostitusi di lokasi ini, membuat suasana semakin hiruk-pikuk hingga larut malam.
Para pelaku prostitusi akan membongkar lapaknya menjelang adzan Subuh karena aktivitas stasiun kembali ramai oleh penumpang pada pagi hari.
Untuk mempercepat proses bongkar pasang lapak, warga membuat troli dari kayu yang bagian bawahnya dilengkapi roda agar dapat berjalan di atas rel kereta api.
Troli tersebut digunakan untuk mengangkut
sound system
, tenda, karpet, serta bangku sehingga mereka tidak perlu mengangkut barang-barang itu secara manual.
Selain lapak bongkar pasang, terdapat pula beberapa warung remang-remang yang dibangun secara permanen di pinggir rel kereta api.
Namun, masa kejayaan Pela-pela di Stasiun Tanjung Priok runtuh ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sekitar Juni 2016, area prostitusi Pela-pela ditertibkan. Warung-warung remang-remang permanen pun dibongkar hingga tidak tersisa.
Pembongkaran tersebut tidak hanya menghentikan aktivitas prostitusi di kawasan itu, tetapi juga mengubah wajah lingkungan sekitar.
“Pela-pela enggak ada itu pas zamannya Ahok jadi gubernur. Tapi, udah mulai dibangun dinding-dinding, tapi setelah digusur mereka pindah ke jalan samping Bonpis Kampung Muara Bahari, sekarang masih ada, tapi udah enggak di jalur kereta,” jelas Mail.
Selain dikenal sebagai lokasi prostitusi, kawasan Tanjung Priok pada era 1990-an juga identik dengan tingkat kriminalitas yang tinggi.
“Dulu, tahun 1990-an itu Tanjung Priok asli, dikenal premanismenya, pokoknya yang berbau kriminal ada semua di stasiun dan Terminal Tanjung Priok,” ungkap Mai.
Kawasan stasiun dan terminal Tanjung Priok dulu dipenuhi oleh banyak preman yang bisa dengan mudah melakukan pemerasan, kekerasan, dan pengancaman secara terang-terangan.
Menurut Mail, zaman dulu banyak orang langsung merasa takut hanya dengan mendengar nama Tanjung Priok karena wilayah tersebut dikenal menyeramkan.
Ia juga menilai, wilayah sekitar terminal dan stasiun Tanjung Priok dulu terlihat sangat kumuh. Sampah, kotoran, serta bau pesing menghiasi kawasan tersebut setiap hari.
Tokoh masyarakat setempat, Tjipto (65), membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa Tanjung Priok memang disegani karena tingginya tingkat kriminalitas pada era 1990-an.
“Bahkan dulu, bus itu enggak ada yang sampai Terminal Tanjung Priok karena takut masuk sini, jadi dia cuma sampai Coca cola ITC,” ujar Tjipto.
Bukan hanya dikenal sebagai
tempat prostitusi
, Pela-pela di Stasiun Tanjung Priok juga menjadi lokasi perjudian. Beragam jenis judi pernah berlangsung di lokasi ini.
“Judi koprok, judi bola setan, juga ada di situ, dulu tempat maksiat,” tutur dia.
Tjipto menilai, Stasiun Tanjung Priok menjadi pusat aktivitas maksiat karena minimnya pengawasan dan keamanan.
Pada masa itu, jumlah petugas keamanan stasiun sangat terbatas. Mereka hanya mampu melarang agar aktivitas prostitusi tidak dilakukan di dalam peron stasiun.
Namun, petugas tidak berani membubarkan atau mengusir lapak-lapak di ujung peron karena kawasan Pela-pela dilindungi oleh banyak preman.
Kondisi tersebut kini berubah. Sistem keamanan di sekitar Stasiun Tanjung Priok saat ini jauh lebih ketat, sehingga suasananya tidak lagi menyeramkan seperti dahulu.
Sejarawan Asep Kambali memandang bahwa tempat prostitusi yang disebut sebagai Pela-pela tidak hanya terdapat di Tanjung Priok, tetapi juga beberapa wilayah Jakarta lainnya.
“Pela-pela itu sebenarnya hal lumrah di Jakarta dan titiknya enggak hanya di Tanjung Priok. Dia di berbagai titik, di Jatinegara, di Kota juga ada di dekat jembatan Kota Intan,” jelas Asep saat dihubungi.
Pela-pela merupakan lokasi prostitusi dengan tarif murah yang biasanya digelar di sepanjang rel kereta api yang sudah tidak aktif dilintasi.
Asep mengaku pernah melihat langsung aktivitas prostitusi Pela-pela ketika mengeksplorasi lokasi-lokasi bersejarah pada malam hari.
Menjamurnya Pela-pela, menurut Asep, disebabkan oleh banyaknya gedung-gedung peninggalan Belanda yang terbengkalai pada masa itu.
“Jadi, tahun 1960-1970-an banyak gedung Belanda atau bersejarah terlantar, termasuk Stasiun Tanjung Priok yang tidak digunakan, diaktifkan kembali tapi tidak sepenuhnya dan pengawasan rel kereta juga rendah,” tutur Asep.
Minimnya pengawasan serta ketiadaan kamera pengawas (CCTV) membuat aktivitas prostitusi di Stasiun Tanjung Priok berlangsung lancar setiap malam, hingga semakin banyak orang menggantungkan hidupnya di sana.
Asep menilai, Pela-pela merupakan fenomena sosial yang marak pada era 1960-an, ketika Indonesia sedang menata kembali pemerintahan dan membutuhkan banyak tenaga kerja dari berbagai daerah, termasuk Pulau Jawa.
Tingginya arus urbanisasi pada masa itu turut mendorong pesatnya pertumbuhan aktivitas prostitusi di Pela-pela, sehingga membutuhkan upaya besar untuk membubarkannya.
Namun, aktivitas prostitusi di sepanjang rel kereta api kini tidak lagi semarak seperti dulu.
“Kalau sekarang kan rel kereta relatif
clear
aktivitas seperti itu, mungkin masih ada di beberapa titik,” kata Asep.
Asep mengapresiasi langkah tegas PT KAI yang juga berani menggusur permukiman padat penduduk di sepanjang rel kereta api sehingga kondisinya kini lebih tertata rapi.
Runtuhnya Pela-pela membuat Stasiun Tanjung Priok terus bertransformasi menjadi lebih baik sampai saat ini.
Kini, stasiun dengan luas bangunan 3.768 meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas 46.930 meter persegi itu menjadi andalan banyak pengguna jasa transportasi.
Berdasarkan data PT KAI per Oktober 2025, sekitar 259.000 penumpang naik KRL Commuter Line dari Stasiun Tanjung Priok setiap bulan. Sementara itu, jumlah penumpang yang turun di stasiun ini mencapai sekitar 250.000 orang per bulan.
Jalur 3 dan 4 diperuntukkan bagi kereta barang dan langsir, sedangkan dua jalur lainnya merupakan jalur khusus menuju Pasoso atau Pelabuhan Tanjung Priok.
Stasiun Tanjung Priok juga kini dilengkapi oleh berbagai fasilitas, mulai dari ruang tunggu yang nyaman, toilet, musala, area komersial atau tempat makan, loket dan mesin tiket elektronik (
vending machine
), serta ruang laktasi, area parkir untuk motor, mobil, dan sepeda, jalur difabel, lift, serta eskalator.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.