Liputan6.com, Jakarta – Di sebuah ruko yang bahkan tak punya papan nama, aroma kertas lama menyergap begitu langkah pertama masuk. Tumpukan buku menjulang ke langit-langit, rak-rak kayunya rapat saling berhimpitan, seperti sisa tubuh sebuah kota yang pernah penuh pengetahuan, kini bertahan hanya karena keras kepala sejarahnya sendiri.
“Sini, lihat dulu aja, nyari buku apa?” begitu kurang lebih sebuah mantra andalan para pedagang buku Kwitang setiap kali ada pengunjung yang menjajakan kaki nya di ruko buku ini.
Inilah sisa-sisa Kwitang, sentra buku paling legendaris di Jakarta, yang tak pernah benar-benar mati, tapi juga tak pernah sungguh-sungguh hidup kembali sejak pemerintah menertibkan kawasan ini tahun 2007.
Penataan ulang itu disebut demi ketertiban kota, namun bagi para pedagang, itu adalah awal tercerai-berainya sebuah ekosistem budaya.
Salah satunya Bang Jay, berumur 54 tahun, pedagang buku sejak 1997. Ia tetap di sini, di tengah kota yang makin sibuk, makin digital, dan makin jauh dari buku fisik yang dulu menjadi denyut kehidupannya.
Kwitang pernah menjadi tempat berburu buku bagi mahasiswa, dosen, turis mancanegara, sampai para kolektor. Ketika muncul dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) tahun 2002, namanya melambung ke seluruh Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
“Emang Kwitang ini momennya, ikon ini kan dari dulu. Diakui di negara-negara, Malaysia, Singapura, kalau mereka cari buku bakal kemana? Ya ke Kwitang,” ujar Bang Jay, saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (18/11/2025).
Namun, kebijakan penertiban tahun 2007 memotong keberlanjutan ruang budaya itu. Para pedagang dipencar ke lokasi lain dengan dalih menertibkan kaki lima. Bang Jay mengenang masa itu tanpa dramatisasi, meski getirnya jelas terasa.
“Mau bagaimana lagi. Perasaannya, ya kecewa juga. Tapi bagaimana memang sudah begitu, mungkin maksud pemerintah juga supaya gak semrawut jalanannya. Dirapihkan tambah baik. Seperti itu bagus juga, gak apa-apa,” katanya.
Sebuah jawaban yang menunjukkan betapa pedagang kecil kerap menelan kebijakan apa pun yang turun dari atas tanpa daya tawar, tanpa ruang bicara.
Bang Jay adalah saksi hidup perubahan zaman, dari mesin ketik, banjir besar Jakarta, hingga era marketplace dan buku digital. Ketika ditanya apa makna buku baginya, dirinya menjawab tanpa ragu.
“Arti buku pandangan pertama saya di sini, bisa membaca buku sambil berdagang, pengetahuan kita bisa bertambah, berkomunikasi dengan konsumen, kan itu senang kali.” ungkapnya.
Namun, di dunia digital, seni itu memudar. “Kalau online kan, kalian buka aplikasi, lihat-lihat barangnya, terus pesan, nyampe bukunya, udah cuman gitu aja kan,” ujarnya.
Tak ada tawar-menawar. Tak ada ngobrol soal isi. Tak ada ikatan antara pedagang dengan pembeli yang selama puluhan tahun menjadi denyut di Kwitang ini.
Demi meningkatkan budaya membaca, seorang penarik becak asal Yogyakarta memfungsikan becaknya menjadi perpustakaan keliling. Bahkan ia juga meminjamkan buku-buku yang ia bawa kepada siapapun yang ingin membaca buku koleksinya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5435374/original/085085000_1765028236-WhatsApp_Image_2025-12-06_at_16.00.25.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432140/original/085176600_1764758142-IMG_4244.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4463448/original/027796500_1686608129-20230607_073052.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432911/original/048372200_1764827670-WhatsApp-Image-2025-12-03-at-18.24.59-1.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5430000/original/050997400_1764649358-1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5435275/original/040088700_1765015088-WhatsApp_Image_2025-12-06_at_13.22.18.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)