Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Sampah Kita, Cermin Peradaban

Jakarta

Akhir-akhir ini kita kembali dihadapkan pada kenyataan yang tak kunjung terselesaikan: tumpukan sampah yang menggunung di depo-depo kota. Spanduk warga bertuliskan “Masyarakat Jogja Nagih Janji” bukan sekedar ekspresi kekecewaan, melainkan seruan moral yang menggugat tanggung jawab bersama.

Ketika TPA Piyungan hanya mampu menampung sebagian kecil dari produksi harian sampah kota, kita dipaksa untuk menengok ulang bukan hanya sistem pengelolaan limbah, tetapi juga cara kita memaknai hidup bersama. Sampah bukan sekedar residu konsumsi, melainkan jejak dari nilai, perilaku, dan struktur sosial yang kita bangun.

Dalam tumpukan plastik dan sisa makanan itu, tersimpan cermin peradaban yang bisa memantulkan kebijaksanaan, atau justru memperlihatkan kegagalan kita dalam merawat bumi.

Kegagalan Kolektif

Krisis sampah di Yogyakarta mencerminkan kegagalan kolektif dalam membangun tata kehidupan yang berkesadaran ekologis dan berkeadaban sosial. Ketika sistem bergantung pada satu titik pembuangan, TPA Piyungan, tanpa ekosistem pemilahan dan pengolahan di kota, kita menyaksikan betapa rapuhnya fondasi pengelolaan kota yang berkelanjutan.

Lebih dari itu, sampah adalah cermin dari nilai-nilai yang kita hidupi. Dalam budaya Indonesia, kita mengenal prinsip “tepo seliro,” kesadaran akan dampak tindakan kita terhadap orang lain.

Kita juga menjunjung tinggi gotong royong sebagai semangat kolektif untuk menyelesaikan persoalan bersama. Sayangnya, dalam praktik pengelolaan sampah, nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh gaya hidup konsumtif dan mentalitas “buang lalu lupa.”

Tanggungjawab Bersama

Filsuf Driyarkara menegaskan bahwa manusia adalah “makhluk yang menjadi,” selalu dalam proses pembentukan diri. Maka, cara kita memperlakukan sampah bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga soal pembentukan karakter.

Apakah kita sedang menjadi masyarakat yang bertanggung jawab, atau justru sedang kehilangan arah dalam hiruk-pikuk modernitas?

Mengatasi krisis sampah di Yogyakarta tidak cukup dengan pendekatan teknis semata. Desentralisasi pengelolaan sampah perlu menjadi prioritas: setiap kelurahan dan komunitas harus didorong untuk memiliki unit pengolahan mandiri, seperti komposter, bank sampah, dan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Program pemilahan organik yang telah dimulai oleh Pemkot adalah langkah awal yang patut diapresiasi, namun keberhasilannya bergantung pada perubahan perilaku warga dan dukungan edukasi yang konsisten.

Inovasi seperti budidaya “maggot” (larva lalat sebagai pengurai limbah organik) dan rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) memang menjanjikan, tetapi harus dikawal agar tidak menjadi solusi instan yang mengabaikan partisipasi publik dan keberlanjutan ekologis.

Lebih dari itu, solusi sejati terletak pada revitalisasi nilai-nilai budaya kita, yaitu gotong royong dan “tepo seliro,” bentuk etika publik yang relevan untuk membangun kesadaran ekologis. Pendidikan ekologis harus masuk ke ruang-ruang sekolah dan komunitas, bukan hanya sebagai pengetahuan teknis, melainkan sebagai bagian dari pembentukan karakter.

Tindakan memilah sampah dapat menjadi latihan spiritual yang mengasah kepekaan terhadap sesama dan semesta. Dengan demikian, pengelolaan sampah bukan hanya soal kebersihan kota, tetapi juga cermin dari proses menjadi manusia yang bertanggung jawab dan berkeadaban.

Karakter Kolektif

Krisis sampah di Yogyakarta merupakan panggilan untuk membangun kesadaran baru: bahwa peradaban tidak hanya diukur dari gedung-gedung tinggi atau teknologi canggih, tetapi dari cara kita memperlakukan yang paling dasar: bumi, sesama, dan tanggung jawab harian kita. Di balik tumpukan sampah, tersimpan peluang untuk membentuk karakter kolektif yang lebih bijak, lebih peduli, dan lebih beradab.

Jika kita mampu melihat sampah bukan sebagai beban, tetapi sebagai cermin, maka kita akan mulai bertanya: nilai apa yang kita buang setiap hari? Nilai apa yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang? Dalam proses memilah, mengolah, dan merawat, kita sesungguhnya sedang membentuk diri, menjadi manusia yang tidak hanya bersih secara fisik, tetapi juga jernih secara batin.

Mari kita tanggapi krisis ini bukan dengan keluhan, melainkan dengan komitmen untuk membangun kota yang peduli dan beradab.

Bernardus Agus Rukiyanto. Dosen Universitas Sanata Dharma.

(rdp/imk)