Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Saat Pedagang Kerak Telor Tak Rasakan Kemeriahan PRJ 2025 di Kemayoran Megapolitan 4 Juli 2025

Saat Pedagang Kerak Telor Tak Rasakan Kemeriahan PRJ 2025 di Kemayoran
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –

Kerak telor
selalu menjadi ikon kuliner yang tak terpisahkan dari perhelatan Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahunnya.
Namun di tengah kemeriahan
PRJ 2025
yang berlangsung di JIExpo Kemayoran, para pedagang makanan tradisional ini justru mengeluhkan penurunan penghasilan yang cukup drastis.
Sandi (21), salah satu pedagang
kerak telor
di pintu 6, mengaku bahwa tahun ini omzetnya jauh menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Ia meneruskan usaha sang ayah sejak lulus sekolah pada 2021.
“Tahun kemarin mah alhamdulillah, bisa dapat hampir Rp 10 juta selama PRJ. Sekarang, 5 juta juga susah,” ujar Sandi saat ditemui Kompas.com dalam acara PRJ 2025, Kamis (3/7/2025).
Sandi menilai turunnya omzet dipicu oleh mahalnya harga tiket masuk PRJ yang kini dibanderol Rp 60.000.
Hal itu, menurutnya, membuat pengunjung berpikir ulang untuk membelanjakan uang mereka di area dalam.
“Banyak yang bilang, mending jajan di luar. Udah bayar tiket mahal, belum makan dan beli ini-itu. Jadi orang lebih irit di dalam,” kata Sandi.
Menurut Sandi, tahun lalu suasana di sekitar lapaknya sudah ramai bahkan sejak sore hari. Kini, suasana cenderung sepi hingga malam tiba.
Dalam sehari, ia mengaku hanya membawa sekitar 50 butir telur untuk dijual. Saat ramai, ia bisa menambah stok hingga 100 butir.
Namun saat ini, penjualannya paling tinggi hanya menghasilkan Rp 300.000 per hari.
“Itu belum dipotong biaya makan, rokok, dan ongkos kos. Kadang dapet Rp 200.000 doang. Itu juga belum tentu tiap hari segitu,” kata Sandi.
Satu hal yang memberatkan pedagang tahun ini, kata Sandi, adalah biaya sewa lapak yang tetap sama meskipun durasi PRJ lebih pendek dari biasanya.
“Bayar Rp 700.000, tapi ini cuma 25 hari. Tahun lalu juga segitu, tapi sebulan penuh. Jadi kayak rugi juga,” ujarnya.
Sandi membayar sewa kepada seorang pengurus komunitas pedagang yang menaungi area antara pintu 6 dan 7.
Menurutnya, pengelolaan lapak di PRJ memang beragam tergantung lokasi, dengan pengurus yang berbeda-beda. Sistem pembayarannya pun fleksibel.
Ia hanya diminta untuk menyetor uang muka (DP) sebesar Rp 200.000, sisanya bisa dicicil setiap malam Minggu, tergantung hasil penjualan.
“Kadang ditagih Rp 25.000, kadang Rp 50.000. Tergantung saya bawa pulang berapa malam itu,” ujar dia.
Keluhan serupa disampaikan oleh Anton (31), pedagang kerak telor lainnya yang berjualan di area berbeda.
“Bayar lapak tetap Rp 700.000 padahal harinya lebih sedikit. Penjualan juga nggak segencar tahun lalu,” kata Anton kepada Kompas.com.
Ia juga menyebut pengelolaan lapak di PRJ tidak seragam dan tergantung zona.
“Kalau di pintu 1 dan 9 beda lagi yang ngatur. Katanya sih ada yang sampai Rp 750.000 karena dekat pintu utama,” ujar Anton.
Meski pendapatan menurun, Sandi tetap bertahan. Ia merasa sudah menjadi bagian dari tradisi PRJ dan ingin menjaga warisan usaha keluarganya.
“Yang penting jalan dulu. Namanya usaha, kadang rame, kadang sepi. Rejeki udah ada yang ngatur,” ucapnya sambil tersenyum.
Di luar PRJ, Sandi biasa berjualan di kawasan Monas, tepatnya di Jalan Perwira.
Di hari biasa, penghasilannya pun tidak menentu, kadang hanya cukup untuk makan dan ongkos.
Meski kondisi belum membaik, baik Sandi maupun Anton tetap memutuskan ikut meramaikan PRJ.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.