Saat Pasar Ular Tak Lagi Bergigi: Cerita Para Pedagang Kehilangan Pembeli, Terdesak Ekonomi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Pasar Ular
di Tanjung Priok,
Jakarta
Utara, kini tak lagi bersinar seperti dulu.
Dahulu, Pasar Ular dikenal sebagai tempat yang menjajakan banyak kerajinan keramik, seperti guci, vas bunga, gelas, piring, dan lainnya. Ada pula barang-barang lain seperti pakaian, tas, sepatu, koper, hingga kaligrafi.
Pasar ini dahlu menjadi primadona warga Jakarta dan sekitarnya, termasuk dari kalangan artis.
Namun, beberapa tahun terakhir, pengunjung Pasar Ular kian sepi. Sebagian pedagang pun memutuskan menutup usahanya di pasar ini.
Salah satu juru parkir di Pasar Ular bernama Saad (41) mengatakan, Pasar Ular dahulu menjadi andalan para artis ibu kota untuk berburu keramik dan barang antik.
Namun, beberapa tahun terakhir Pasar Ular semakin sepi pengunjung.
“Ramai banget dulu, banyak artis yang berburu barang antik di sini,” ucap saat diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Kamis (10/7/2025).
“Kalau sekarang enggak ada (artis) yang datang ke sini,” lanjut Saad.
Senada dengan Saad, pedagang tas bernama Mei (48) juga menyebut, dahulu pasar ini menjadi andalan para artis untuk berburu keramik.
Mei bilang, semula ada sekitar 200-an toko di pasar ini. Namun, kini hampir 30 persen toko tutup permanen karena pelanggan semakin jarang.
“Udah banyak yang tutup juga, sekitar 30 persenan,” ucap Mei.
Hal yang sama juga disampaikan pedagang keramik bernama Yanti (45). Ia menyebut, pandemi Covid-19 menjadi momen awal Pasar Ular ditinggalkan para pembeli.
“Bukan sepi lagi, tapi sepi banget. Sejak Pandemi Covid-19, sebelum itu mah masih banyak didatangi artis,” ucap Yanti.
Saking sepinya, Yanti mengaku kerap tak mendapatkan uang, padahal sudah berdagang sejak pagi hingga sore hari
Para pedagang pun mengeluhkan omzetnya yang merosot drastis imbas sepinya pembeli.
“Kalau dulu seminggu bisa Rp 15 juta, kalau sekarang setelah Covid-19 seminggu Rp 2 juta syukur. Kadang tiga hari enggak ada penglaris,” ucap Mei.
Sementara, Yanti mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, dalam seminggu ia bisa mengantongi Rp 5-10 juta.
“Kalau sekarang mah kadang enggak penglaris dalam seminggu, sementara karyawan harus dibayar,” ucap Yanti.
Pedagang keramik lain bernama Nita (55) menilai,
Pasar Ular sepi
setelah Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
“Iya, udah mulai sepi pembeli banget sejak Covid-19. Tapi justru yang benar-benar pahit ini sehabis pemilu saya bilang, abis Pilpres nyungsep,” jelas Nita.
Nita mengatakan, sebelum Covid-19, toko keramiknya bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per hari.
Namun, saat ini ia terkadang hanya mendapatkan Rp 100.000 selama dua minggu berjualan.
Akibat pembeli yang semakin sepi, para pedagang kelimpungan membayar biaya sewa kios sebesar Rp 65 juta per tahun.
“Bayar sewa toko dalam satu tahun Rp 65 juta, padahal (dagangan) enggak laku,” ucap Yanti.
Meski sering menombok untuk sewa kios, Yanti merasa berat untuk meninggalkan Pasar Ular. Pasalnya, ia sulit mencari lokasi lain untuk berjualan keramik.
Sementara itu, Nita mengeluhkan tidak adanya keringanan biaya sewa kios di tengah sepinya pembeli.
Dalam waktu dekat, sewa kios Nita pun akan jatuh tempo. Ia sendiri masih bingung bagaimana cara membayar uang Rp 65 juta tersebut.
Sama seperti Yanti, Nita akan berusaha mencari pinjaman agar tetap bisa berjualan di Pasar Ular.
Sejumlah pedagang menduga, sepinya pengunjung Pasar Ular salah satunya disebabkan karena semakin maraknya toko
online.
“Mungkin gara-gara banyak yang
online-online
itu,” ujar Yanti.
Menurut Yanti, kehadiran media sosial seperti TikTok semakin memperparah kondisi tersebut. Pasalnya, siapa pun kini bisa menjajakan dagangannya secara daring melalui platform itu.
Bahkan, pabrik keramik yang menjadi pemasok barang dagangannya ikut berjualan langsung lewat TikTok Live.
Nita juga merasakan dampak negatif dari kehadiran toko
online
, khususnya yang berjualan di TikTok.
Ia mengaku sudah mencoba berdagang secara
online
agar bisa mengikuti tren. Namun, usahanya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan.
Penjualannya tetap sepi dan pendapatannya tetap menurun drastis.
Para pedagang Pasar Ular pun berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka. Pedagang berharap Pasar Ular bisa kembali ramai seperti pada tahun 2017 hingga 2018.
“Tolong dong pemerintah lihat dong rakyatnya ke bawah, jangan enak-enak aja di atas. Di sini kan makan aja susah,” ujar Nita.
Pemerintah diharapkan segera membuat kebijakan yang lebih adil bagi pedagang pasar tradisional.
“Harapan kami sih sama pemerintah supaya jualan online itu ditiadakan. Kaya artis kan pada jualan juga, padahal duitnya sudah banyak. Dibatasi supaya ada aturan yang jelas,” tutur Yanti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Saat Pasar Ular Tak Lagi Bergigi: Cerita Para Pedagang Kehilangan Pembeli, Terdesak Ekonomi Megapolitan 11 Juli 2025
/data/photo/2023/06/30/649e60ba08ed5.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2024/06/25/667a8d7e6d25a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69342da64f7be.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69341f9033588.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)