Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Rumah di Antara Nisan Itu Kini Harus Ditinggalkan Warganya Megapolitan 24 November 2025

Rumah di Antara Nisan Itu Kini Harus Ditinggalkan Warganya
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di sudut Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, kehidupan telah tumbuh selama puluhan tahun di antara nisan-nisan yang seharusnya hening.
Rumah-rumah berdiri, anak-anak tumbuh, dapur terus mengepul, dan rutinitas berjalan seperti kawasan permukiman lainnya.
Hingga suatu hari selembar surat datang, mengubah semuanya.
Surat itu terbit dari Pemerintah Kota
Jakarta Timur
, meminta warga meninggalkan rumah yang telah mereka tempati puluhan tahun di kawasan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas. Warga diberi waktu dua minggu.
Bagi sebagian orang, dua minggu mungkin hanya waktu singkat untuk menyelesaikan pekerjaan.
Tetapi bagi warga di sini, dua minggu terasa seperti jeda yang terlalu singkat untuk memutus puluhan tahun kehidupan.
“Kalau dari RT sendiri sih sudah diinfokan. Tanggapan warga, mereka dengan adanya sosialisasi itu ya sudah pasti kaget ya, karena itu tiba-tiba mendadak tanggal 19 (November) dapat surat, tanggal 20-nya ada sosialisasi,” tutur Ketua RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Sumiati, Minggu (23/11/2025).
Warga memang telah menerima surat itu. Namun langkah meninggalkan rumah bukanlah hal sederhana.
Di satu sisi ada kewajiban terhadap aturan, di sisi lain ada ruang-ruang kecil kehidupan, kenangan, dan tempat berteduh yang telah menjadi bagian dari diri mereka.
“Setelah sosialisasi mereka dapat kabar lewat media kalau kasih waktu dua minggu, mereka belum ada persiapan untuk pindah bahasanya,” sambung Sumiati.
Pemkot Jakarta Timur telah menyiapkan dua Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), yaitu Pulo Jahe dan Rawa Bebek, sebagai lokasi
relokasi warga
.
Namun tidak semua merasa relokasi adalah jawaban terbaik.
“Warga minta sebenarnya tidak mau dipindah ke rusun yang pertama itu kan jauh dan yang kedua juga mereka nanti akan selamanya sewa, bayar tiap bulan,” jelas Sumiati.
Di antara banyak kegelisahan, satu harapan kecil muncul.
Warga ingin relokasi yang memungkinkan mereka memiliki hunian sendiri, bukan sekadar menumpang seumur hidup.
“Menurut mereka kalau yang DP 0 persen walaupun tiap bulan bayar dengan jangka waktu misalnya 15 tahun atau 20 tahun, nanti akan menjadi milik mereka, kalau rusun awal kan mereka akan bayar terus selamanya gitu dan mereka tidak bisa memiliki,” ucapnya.
Di sisi lain, Pemkot Jakarta Timur menegaskan langkah ini bukan semata soal menggusur, melainkan mengembalikan fungsi lahan pemakaman yang selama bertahun-tahun telah berubah menjadi kawasan padat hunian.
“Kami tidak bilang menggusur tapi kita minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (TPU) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan, Jumat (21/11/2025).
Pendataan pemerintah menunjukkan terdapat 280 kepala keluarga, atau 517 jiwa, yang tinggal dan menetap di dua TPU tersebut.
Pemkot akan menjalankan proses bertahap sebelum pengosongan.
“Deadline-nya untuk pengosongan ini kira tahapannya dalam waktu dua minggu. Kita kasih SP 1, SP 2, dan SP 3 terlebih dahulu,” ujar Eka.
Di balik kebijakan itu, ada kondisi nyata yang tengah dihadapi kota ini: lahan pemakaman yang semakin menipis.
“Karena selama ini kan mereka (warga) menempati lahan, dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis. Terutama di Jakarta Timur,” tegas Eka.
Permukiman di
TPU Kebon Nanas
bukanlah pemukiman instan.
Kehidupan dimulai jauh sebelumnya, sebagian warga datang karena kebutuhan, sebagian terpaksa pindah akibat penggusuran lama.
“Tahun 1980-an itu yang tinggal di atas pemakaman itu hanya satu kepala keluarga, tapi mulai banyak yang pindah ketika adanya penggusuran,” kata Sumiati.
Kala itu, sebagian warga tinggal di bantaran kali dan lahan yang kemudian direncanakan menjadi kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Dulu sebelum ada KLH itu kan lapangan gitu, terus warga itu ada yang tinggal di pinggir kali di belakang kantor KLH tahun 1997 kena gusur gitu,” jelasnya.
Warga yang kehilangan rumah pada 1997 hanya menerima uang kerohiman Rp 600.000.
“Uang segitu untuk ngontrak paling juga bertahan beberapa bulan gitu. Akhirnya mereka pindah lah tuh ke atas pemakaman Cina ini tahun 1997,” ujar Sumiati.
Dan sejak saat itu, kehidupan warga berjalan seperti biasanya, di atas tanah makam, di sela batu nisan yang telah lama menyerah pada waktu.
Kini, setelah puluhan tahun, datang lagi babak baru yang harus mereka hadapi.
Babak pencarian rumah baru, harapan baru, dan masa depan yang belum sepenuhnya terbayang.
(Reporter: Febryan Kevin Candra Kurniawan | Editor: Faieq Hidayat)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.