Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana Megapolitan 16 Desember 2025

Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana
Tim Redaksi

BEKASI, KOMPAS.com –
Antrean truk sampah yang mengular berjam-jam di
TPST Bantargebang
, Bekasi, Jawa Barat, bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan sampah.
Di balik kemacetan ritase dan gunungan sampah yang menjulang puluhan meter, tersimpan
risiko kesehatan
serius yang mengancam para sopir truk—mereka yang setiap hari berada di garis depan krisis sampah Jakarta.
Paparan polutan, gas metana, jam kerja yang panjang, serta kurang tidur menempatkan para sopir pada risiko penyakit kronis, mulai dari gangguan paru-paru, hipertensi, hingga stroke.
Ancaman ini tidak hanya bersifat jangka panjang, tetapi juga dapat berujung fatal dalam waktu singkat. Risiko tersebut bukan sekadar asumsi.
Pakar penyakit dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menjelaskan kondisi kerja
sopir truk sampah
—khususnya di Bantargebang—merupakan kombinasi faktor berbahaya bagi kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
“Dia (sopir) mudah mengalami infeksi ya, kemudian juga tentu dalam tidur kurang dalam. Waktu jangka panjang akan menjadi stresnya sendiri, yang ini juga akan bisa menyebabkan berbagai macam potensi penyakit,” ujar Ari Fahrial saat dihubungi
Kompas.com,
Jumat (12/12/2025).
Menurut Ari Fahrial, tubuh manusia memiliki ritme kerja ideal. Dalam kondisi normal, seseorang membutuhkan waktu tidur enam hingga delapan jam per hari agar fungsi organ tetap optimal.
“Sejatinya seorang itu tidur secara normal itu enam jam, enam sampai delapan jam ya. Kemudian delapan jam itu untuk aktivitas berat, kemudian delapan jam berikutnya untuk aktivitas ringan. Jadi boleh dibilang itu dibagi tiga sebenarnya,” jelas dia.
Namun, pola tersebut nyaris mustahil dijalani oleh sopir truk sampah di Bantargebang. Jam kerja yang panjang, antrean hingga belasan jam, serta tuntutan kembali bekerja keesokan harinya membuat waktu istirahat terpangkas drastis.
“Kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan mengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” kata Ari.
Dalam jangka panjang, kelelahan kronis berpotensi memicu berbagai penyakit, terutama bagi mereka yang memiliki faktor bawaan atau penyakit penyerta.
“Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi. Orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan mengaruhi. Kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol,” ujar dia.
Kondisi tersebut, lanjut Ari Fahrial, dapat berujung fatal.
“Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” kata dia.
Selain kelelahan, ancaman lain yang mengintai sopir truk sampah adalah
paparan gas metana
dan polutan dari timbunan sampah yang komposisinya tidak diketahui secara pasti.
“Bicara soal sampah berbahaya, sekali lagi kita juga enggak tahu ya komponennya itu ya. Tapi yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macam, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ujar Ari.
Paparan jangka panjang berisiko memicu gangguan pernapasan serius.
“Dia bisa mengalami yang kita bilang penyakit paru obstruksi kronis. Bisa saja kalau dia memang ada faktor unsur alergi atau hipersensitif, dia akan mengalami asma,” kata dia.
Namun, bagi pekerja yang terpapar secara terus-menerus, risiko penyakit paru kronis menjadi jauh lebih besar. Ia menekankan pentingnya penggunaan alat pelindung diri, seperti masker, untuk meminimalkan paparan gas metana dan polutan.
“Seharusnya yang bersangkutan harus dilengkapi dengan masker, sehingga dia tidak terpapar langsung dari gas metana dan polutan,” katanya.
Ari juga menyoroti bahaya
microsleep
, yakni kondisi tertidur singkat tanpa disadari akibat kelelahan ekstrem.
“Benar, risiko
microsleep
juga cukup tinggi. Kita tahu banyak kasus-kasus yang terjadi di jalanan, terutama pada para pengendara kendaraan umum, misalnya bus,” ujar dia.
Fenomena ini, kata Ari, kerap berujung fatal. Ia menjelaskan, seseorang bisa tiba-tiba tertidur dalam waktu sangat singkat tanpa kendali, kondisi yang kerap berujung fatal dan umumnya terjadi akibat kurangnya waktu istirahat. Selain itu, dehidrasi turut memperburuk kondisi fisik sopir.
Ia menyimpulkan, risiko kesehatan sopir truk sampah tidak bisa dipandang sepele.
“Jangka pendek pasien itu akan terpapar dengan banyak penyakit. Jangka panjang tentu bisa saja terjadi gangguan-gangguan kesehatan secara umum,” kata dia.
Ancaman kesehatan itu dirasakan langsung oleh Santo (bukan nama sebenarnya) (39), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan yang telah bekerja sejak 2019.
Menurut Santo, antrean panjang di TPST Bantargebang merupakan bagian dari rutinitas harian.
“Cepatnya-cepatnya itu empat jam itu sudah lumayan, Bu, bagi kita ada istirahatnya,” ujar Santo saat dihubungi
Kompas.com.
Namun, antrean sering kali jauh lebih panjang.
“Masuk jam 09.00 pagi, pernah saya alami pulang jam 04.00 pagi,” katanya.
Santo menyebut antrean belasan jam terjadi hampir setiap hari, terutama sebelum kondisi dinilai lebih “kondusif” dalam beberapa hari terakhir.
“Setiap hari memang kayak gini antriannya,” ujar dia.
Penyebabnya beragam, mulai dari hujan, kendala alat berat, hingga keterbatasan zona pembuangan.
“Ketinggian sampahnya sudah enggak layak, sudah tinggi banget. Sudah enggak ada lagi tempat space buat buang sampah,” kata Santo.
Selama menunggu giliran bongkar muatan, Santo dan sopir lain kerap bertahan di atas truk. Biasanya ia menunggu sambil tertidur, merokok, ataupun makan. Ia mengaku jam kerja bisa mencapai 24 jam tanpa jeda.
“Iya, betul,” katanya singkat.
Kondisi antrean tersebut dibenarkan oleh Andi (33), pengepul plastik di kawasan Bantargebang.
“Iya benar antre truk itu 24 jam setiap harinya,” kata Andi.
Menurut dia, akar persoalannya adalah keterbatasan ruang pembuangan.
“Zona tempat pembuangan sampahnya sudah sempit,” ujarnya.
Andi menyebut adanya informasi soal perluasan area, namun belum terealisasi.
“Katanya sudah ada beberapa tempat yang dibeli Jakarta, tapi entah kenapa belum direalisasi,” katanya.
Sementara itu, Roni (bukan nama sebenarnya) (50), petugas di TPST Bantargebang, menjelaskan bahwa sistem pembuangan dilakukan berdasarkan zona.
“Kalau zona satu sudah penuh, dicari lagi zona lain. Gitu terus,” ujarnya.
Ia juga mengungkap penyebab longsor yang sempat memperparah kondisi.
“Terakhir penyebab longsor itu ada hubungannya dengan pemulung. Mereka naik ke atas, ngumpulin sampah, lalu digelindingin. Itu bikin tumpukan sampah di bawahnya geser dan akhirnya longsor,” kata Roni.
Risiko kesehatan yang dihadapi sopir truk sampah menjadi nyata ketika Yudi (51), sopir asal Jakarta Selatan, meninggal dunia pada Jumat (5/12/2025) usai bekerja lembur. Rekan sesama sopir, Fauzan (46), mengatakan Yudi mengalami akumulasi kelelahan.
“Waktu kerjanya bisa lebih dari yang dikontrakkan delapan jam,” kata Fauzan.
Sehari sebelum meninggal, Yudi mulai bekerja sejak pukul 05.00 WIB dan baru keluar dari TPST Bantargebang pukul 19.04 WIB setelah mengantre sekitar delapan jam.
“Tiga hari nongkrong di sana sambil nunggu bertugas lagi, buat
recovery
,” ujar Fauzan.
Namun, pada dini hari, Yudi mendadak sesak napas dan kejang sebelum akhirnya meninggal dunia di rumah sakit.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan almarhum Yudi terindikasi memiliki penyakit jantung.
“Memang yang bersangkutan juga pun terindikasi ada penyakit jantung,” ujar Pramono, Senin (8/12/2025).
Menurut Pramono, keluarga almarhum telah menerima santunan maksimal dari dinas terkait dan BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyatakan akan memperkuat protokol keselamatan serta membenahi pola pengangkutan sampah.
“Semakin lama truk menunggu, semakin tinggi risiko keselamatan karena faktor kelelahan pengemudi,” kata Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
DLH berjanji menata ulang jadwal pengangkutan, memperbaiki manajemen antrean, serta mewajibkan pemeriksaan kesehatan rutin bagi petugas lapangan.
Peristiwa wafatnya Yudi menjadi pengingat keras bahwa krisis sampah Jakarta tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menyangkut keselamatan dan nyawa manusia yang setiap hari bekerja menjaga kota tetap bersih.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.