Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Realitas Pagi Buta Para Pengguna KRL Jabodetabek: Antara Lelah, Harapan, dan Tuntutan Kerja Megapolitan 11 Desember 2025

Realitas Pagi Buta Para Pengguna KRL Jabodetabek: Antara Lelah, Harapan, dan Tuntutan Kerja
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
 Esya baru berusia 21 tahun, tetapi ritme hidupnya setiap pagi  menyerupai jutaan pekerja urban yang menggantungkan mobilitas pada Kereta Rel Listrik (KRL).
Rutinitasnya dimulai saat matahari belum tinggi, sekitar pukul 06.30 hingga 06.45, ketika ia melangkah keluar dari rumahnya di Depok dan menuju Stasiun Depok Baru.
Saat sebagian orang masih menyiapkan sarapan, ribuan penumpang seperti Esya sudah berebut ruang, waktu, dan kecepatan demi tiba tepat waktu di tempat kerja.
Hari-hari Esya berlangsung dalam pola yang nyaris tak pernah berubah, yakni mengejar
KRL
pukul 07.04, kereta baru yang kini menjadi andalannya.
Jika perjalanan pulang-perginya dihitung, sekitar tiga jam hidupnya setiap hari terkunci dalam ritme perjalanan massal itu. Rutinitas yang melelahkan ini tak hanya dialami Esya.
PT KAI Commuter mencatat, rata-rata pengguna
Commuter Line
Jabodetabek hingga November 2025 mencapai 1.057.359 orang pada hari kerja dan 820.570 orang pada akhir pekan.
Angka tersebut menjadi cermin besarnya ketergantungan masyarakat terhadap moda transportasi ini dan beratnya tantangan yang dihadapi setiap harinya.
Di balik statistik itu, ada tubuh-tubuh yang saling bersenggolan, strategi-strategi kecil untuk mendapatkan tempat terbaik di peron, serta momen-momen yang membuat seseorang tetap bertahan menggunakan KRL meski tensinya terus menguji mental.
Setiap pagi, Stasiun Depok Baru menjadi salah satu titik kepadatan tertinggi di lintas Bogor. Tak butuh waktu lama bagi Esya untuk menyadari bahwa ia harus memiliki strategi agar bisa masuk gerbong KRL.
Begitu kereta mendekat, penumpang di peron mulai merapat, bahkan saling mendorong
“Siap-siap tas sudah berada di posisi depan, terus pas pintu sudah terbuka, langsung satset naik ke kereta, karena kalau enggak satset bisa kedorong-dorong (penumpang lain),” kata Esya, Rabu (10/12/2025).
Sejak adanya kereta baru yang berangkat dari Stasiun Depok Lama, ia merasa sedikit terbantu. Titik awal perjalanan berada satu stasiun sebelum Depok Baru, sehingga gerbong masih relatif longgar ketika sampai di peronnya.
Namun kondisi ini tidak serta-merta mengurangi antrean karena Stasiun Depok Baru tetap menjadi magnet bagi ribuan komuter setiap pagi.
“Sangat ramai apalagi di stasiun Depok Baru dan Pondok Cina, banyak yang naik dari dua stasiun tersebut,” ujarnya.
Kendati demikian, Esya jarang terlambat sampai kantor. Pola kereta barunya cenderung stabil meski ia pernah mengalami kondisi sebaliknya saat sebelum ada kereta baru.
“Pernah juga ada kereta yang anjlok. Jadi perjalanannya terhambat dan waktu tempuhnya jadi lama,” katanya.
Kadang pula terdapat momen kecil dalam kereta yang membuatnya jengkel hampir setiap hari.
“Banyak penumpang yang masih acuh sama kursi prioritas khususnya untuk ibu hamil, ibu hamil sudah minta kursi, bahkan sampe diteriakin juga sama penumpang lainnya tapi yang duduk di kursi kaya pura-pura tidur,” tuturnya.
Pejuang KRL lainnya, Faisal, menyebut gangguan teknis, antrean kereta di jalur depan, atau rangkaian yang tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan seperti makanan sehari-hari.
Hal itu kadang membuat ritme harian yang sudah terjadwal rapi sering kali berantakan dalam sekejap.
“Hambatannya sih paling kereta diam di tengah stasiun karena di depan ada kereta lain, jadi nunggu jalur
clear
,” kata dia.
Selain itu, kepadatan adalah musuh utama dan sering kali menjadi faktor paling melelahkan secara mental.
Banyak hari ketika ia terpaksa mengalah, berdiri mepet pintu, hanya mengandalkan keseimbangan, sambil berharap tidak ada penumpang yang memaksakan diri masuk saat ruang sudah tak tersisa.
“Paling menyebalkan sih kalo ada penumpang maksain masuk padahal posisi kereta udah padet banget,” ujarnya.
Di balik rutinitas berpindah dari Stasiun Bojong Gede ke Tanah Abang, ada banyak tantangan laten yang harus ia hadapi setiap hari.
Tidak ada transportasi lain yang bisa mengalahkan kombinasi kecepatan, biaya, dan jarak tempuh seperti KRL.
“Enggak ada transum yang fleksibel untuk menempuh jarak yang cukup jauh dan juga efisiensi waktu yang cukup cepat,” kata dia.
Seperti halnya Esya, setiap pukul enam pagi, Faisal sudah meninggalkan rumah, menembus udara dingin, dan bersiap mengarungi perjalanan dua hingga dua setengah jam menuju kantor.
Dalam hitungan menit setelah kereta datang, ia harus mengambil keputusan cepat, memilih sisi peron yang lebih longgar, mencari kerumunan yang tidak terlalu padat, atau memaksakan diri masuk bersama arus penumpang lain demi mengejar waktu kerja.
“Biasanya aku harus berangkat pagi buta, sesampainya di stasiun aku pilih kerumunan orang yang agak kurang padet,” tutur Faisal.
Baginya, hidup memang berdetak mengikuti jadwal kereta.
“Hidup aku jadi kayak berdetak sesuai jadwal KRL, pagi buta udah harus siap berangkat, pulang malem juga ikut waktu kereta,” ujar Faisal.
Meski penuh hambatan, ia tetap melangkah setiap hari. Dengan napas panjang, harapan baru dan ketabahan yang hanya bisa dimengerti oleh sesama pejuang KRL.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai, fenomena para pekerja yang tinggal di luar Jakarta dan menempuh perjalanan panjang menggunakan transportasi publik bukanlah hal asing dalam konteks kota besar.
Rakhmat menjelaskan bahwa keputusan banyak pekerja tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi punya alasan ekonomi, sosial, hingga budaya.
Mereka adalah “komuter” atau “penglaju”, yakni kelompok masyarakat urban yang setiap hari menempuh perjalanan pulang pergi ke pusat kota menggunakan moda transportasi publik.
“Pengguna KRLnya disebut sebagai para pelaju atau dalam bahasa Indonesia adalah mereka adalah kaum urban atau komuters karena memang secara mobilitas lebih cepat, lebih murah dan lebih efektif,” katanya.
Meskipun wajar, rutinitas perjalanan jauh ini membawa risiko psikologis yang besar.
Rakhmat menilai sistem transportasi Jabodetabek masih sangat bertumpu pada KRL, sementara jalur MRT dan LRT masih terbatas.
Hal ini membuat perjalanan dari kawasan suburban memakan waktu antara satu hingga satu setengah jam sekali jalan.
Dan pada banyak kasus, kondisi tersebut diperpanjang oleh gangguan teknis berupa sinyal bermasalah, hingga kereta anjlok.
Baginya, perjalanan panjang ini berpotensi menurunkan kualitas hidup seseorang.
“Jadi waktu terlalu panjang itu pasti melelahkan.
Quality time
dengan keluarga juga berkurang karena sudah lelah seharian,” ujarnya.
Menariknya, suasana padat dan rutinitas harian justru menciptakan ruang sosial tersendiri bagi para
pengguna KRL
.
Rakhmat menuturkan bahwa banyak komunitas yang terbentuk secara organik di dalam gerbong atau peron.
“Mereka bisa ketemu, bisa
sharing
ada komunitas-komunitasnya yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu,” katanya.
Ada kelompok arisan, grup WhatsApp antarpenumpang, bahkan lingkaran pertemanan yang terbentuk karena bertemu di gerbong yang sama setiap hari. Esya pun mengalami hal serupa.
“Kalau teman seperjalanan ada, karena awalnya enggak sengaja ketemu di kereta dan gerbong yang sama tiap hari,” katanya.
Dari rutinitas itu lahirlah identitas kolektif: pejuang KRL, anak kereta, atau sebutan lain yang melekat pada para pengguna transportasi ini.
“Pejuang KRL itu identitas bagi mereka yang komuter rutinitas itu menjadi identitas sosial bagi para komuter,” kata Rakhmat.
Identitas itu muncul bukan hanya karena beratnya perjalanan, namun karena adanya solidaritas dan cerita bersama.
Berlari mengejar kereta, menahan dorongan penumpang, saling berbagi informasi jalur, hingga membentuk jaringan sosial mikro yang menyatukan mereka dalam satu ritme kehidupan.
Bagi para komuter, ketepatan waktu adalah nadi kehidupan. Setiap gangguan sekecil apa pun dapat merusak seluruh alur perjalanan.
“Mereka memastikan jadwal ini agar bisa tepat waktulah, juga tekanan waktu ya keseharian fisik pasti akan lelah, akan stres,” kata Rakhmat.
Esya merasakan hal ini secara langsung. Ia harus siap berlari, menahan senggol, dan menjaga barang bawaan setiap hari.
Gangguan kecil seperti sinyal jelek atau AC panas pun menjadi beban tambahan.
“Untuk pejuang KRL, semangat terus untuk berjuang bangun pagi, desek-desekan di kereta, lari-larian buat ngejar kereta, dan lain-lain,” katanya.
Rakhmat menyebut bahwa kereta pada jam sibuk adalah representasi paling konkret dari kelas pekerja urban.
“Jam-jam sibuk itu pagi dan sore, itu kereta isinya adalah para pegawai sebenarnya, ini sebenarnya simbol kelas pekerja,” ujarnya.
Laptop, tas kerja, seragam kantor, hingga kebiasaan di dalam gerbong menunjukkan bagaimana KRL menjadi bagian tak terpisahkan dari ritme hidup kelas menengah perkotaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.