Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Pro-Kontra Tempat Hiburan Malam di Srengseng Sawah: Antara Jaga Moral Remaja atau Cari Celah Penghidupan? Megapolitan 30 April 2025

Pro-Kontra Tempat Hiburan Malam di Srengseng Sawah: Antara Jaga Moral Remaja atau Cari Celah Penghidupan?
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Sebuah
tempat hiburan malam
berupa bar di
Srengseng Sawah
,
Lenteng Agung
, Jakarta Selatan, belum dibuka, namun gelombang perdebatan telah lebih dulu mengemuka.
Bar bernama Helen’s Night Mart atau Helen’s Live Bar yang berada di kawasan Hotel Kartika One ini menjadi sumber kegelisahan sekaligus harapan bagi warga sekitar.
Spanduk putih sederhana bertuliskan penolakan terhadap bar itu sudah lebih dari seminggu terpasang di gapura kawasan hotel.
Bagi sebagian warga, spanduk itu adalah bentuk protes diam-diam atas hadirnya hiburan malam di tengah lingkungan yang mereka nilai sebagai zona pendidikan dan keluarga.
Endah, seorang ibu pemilik warung nasi di sekitar hotel, menjadi suara dari kekhawatiran itu.
“Saya jelas menolak. Karena di sini daerah pendidikan. Ada sekolah, kantor P4TK Bahasa,
UI
,
Universitas Pancasila
juga,” ujar Endah, saat diwawancara
Kompas.com
.
Kekhawatiran Endah dan warga lain bukan tanpa dasar. Di sekitar hotel memang terdapat sejumlah area pendidikan, seperti SMA Negeri 109 Jakarta yang hanya dipisahkan tembok dari pusat pelatihan guru P4TK Bahasa.
Tak jauh dari sana, berdiri SMA Negeri 38, Universitas Pancasila, dan Universitas Indonesia. Jalan di depan hotel pun setiap hari ramai dilalui pelajar.
Warga khawatir jika nanti anak-anak sering melihat bar buka malam dan ramai, dikhawatirkan mereka menjadi terbiasa atau tergoda.
Di Balik Keresahan, Ada Harapan Ekonomi
Namun, tak semua suara menolak keberadaan bar tersebut. Sebagian warga memilih bersikap lebih pragmatis.
Bagi mereka, bar bukan semata ancaman moral, tetapi juga peluang ekonomi yang sayang dilewatkan.
Seorang pria berusia 55 tahun, warga yang tidak mau disebutkan namanya, mengungkapkan, bahwa dia melihat potensi penghasilan tambahan dari pengunjung bar. Entah sebagai tukang ojek, tukang parkir, atau pelaku usaha kecil di sekitar.
“Saya fifty-fifty. Kalau ternyata bisa kasih untung ke kita, ya kenapa tidak?” ujar pria tersebut.
Hal senada diungkapkan Rian dan Adi, dua warga RW 12. Mereka menilai penolakan itu tidak mewakili seluruh warga.
“Asal enggak ganggu, ya enggak masalah. Kan jual bir juga udah umum di Jakarta,” ujar Rian.
“Kalau semua warga benar-benar nolak, harusnya ada demo. Tapi sampai sekarang enggak ada,” Adi menambahkan.
Bar yang Belum Buka, Suara yang Terbelah
Fakta saat ini ialah bar tersebut belum beroperasi. Informasi yang beredar menyebut kendala izin sebagai penyebab.
Namun, ketegangan di tengah warga sudah terasa. Isu ini menggantung tanpa ada klarifikasi resmi dari pihak manajemen hotel maupun pengelola bar.
Konflik yang muncul mencerminkan sesuatu yang lebih besar, yakni benturan antara nilai sosial dan arus modernisasi kota.
Srengseng Sawah dikenal sebagai wilayah yang dilewati ribuan mahasiswa dan pelajar tiap hari.
Bagi warga seperti Endah, ini adalah identitas yang harus dijaga. Namun, bagi sebagian lainnya, Srengseng Sawah adalah kampung yang harus bertahan hidup, dan setiap peluang ekonomi layak dipertimbangkan.
Isu Helen’s Bar tidak lagi semata soal izin minuman keras atau hiburan malam. Ini adalah soal siapa yang punya suara dalam menentukan wajah sebuah lingkungan.
Apakah itu suara orang tua yang ingin menjaga moral remaja? Atau suara warga kecil yang mencari celah penghidupan?
Ketika bisnis malam datang ke tengah pemukiman yang tumbuh bersama nilai-nilai pendidikan, percakapan yang lebih terbuka dan setara antara warga, pemerintah, dan pelaku usaha menjadi kebutuhan yang mendesak.
Sebab, kota bukan sekadar tempat bangunan berdiri, tapi tempat nilai hidup berdampingan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.