Potret Cagar Budaya Terowongan Tiga, Penuh Sampah dan Semak Belukar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tepian pemukiman padat kawasan Jalan Bunga I, Palmeriam, Matraman, Jakarta Timur, berdiri sebuah konstruksi tua yang menyimpan sejarah panjang perkembangan transportasi di Jakarta.
Warga menyebutnya sebagai
Terowongan Tiga
, sebuah jembatan kereta dengan tiga lengkung batu yang dibangun pada masa kolonial Belanda.
Bangunan ini telah ditetapkan sebagai
cagar budaya
pada 2021.
Namun, alih-alih menjadi aset sejarah yang dimanfaatkan dan dirawat, kondisi terowongan justru terlihat memprihatinkan. Akses menuju lokasi dipenuhi sampah kiriman.
Aliran air yang mengalir di bawahnya tampak keruh, mengangkut plastik dan limbah dari pemukiman di hulu.
Padahal, konstruksi lengkung yang masih kokoh dan ornamen batu yang menghiasi bagian depan terowongan menunjukkan bahwa bangunan ini pernah menjadi bagian penting dari jaringan transportasi modern awal abad ke-20 di ibu kota.
Kini, jalur kereta yang dahulu melintas di atasnya yang menghubungkan Stasiun Matraman dan Jatinegara telah hilang dalam semak belukar dan reruntuhan, digantikan jalur yang baru di sebelahnya.
Di tengah kondisi tersebut, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mengakui belum memiliki rencana
konservasi
khusus untuk struktur yang menjadi saksi perkembangan sejarah kota ini.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Mochamad Miftahulloh Tamary, menyebut bahwa Jembatan Kereta Terowongan Tiga memang memenuhi kategori cagar budaya karena usianya yang lebih dari satu abad.
Konstruksi yang merepresentasikan gaya arsitektur awal abad ke-20, serta nilai historisnya bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan transportasi kota.
Namun, menurut Miftahulloh, kewenangan pemeliharaan terowongan tersebut berada pada pemilik aset, yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI).
“Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pemeliharaan merupakan kewajiban pemilik atau pihak yang menguasai cagar budaya,” ujar Miftahulloh melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com.
Dinas Kebudayaan, kata dia, baru akan melakukan pendampingan teknis jika pemilik aset memiliki rencana pemeliharaan atau pemugaran. Hingga saat ini, rencana tersebut belum pernah diajukan.
“Untuk saat ini belum ada rencana konservasi maupun revitalisasi terhadap obyek tersebut,” kata Miftahulloh.
Meski demikian, menurutnya, bukan berarti revitalisasi mustahil dilakukan.
Opsi itu masih bisa dibahas di masa depan melalui koordinasi lintas-stakeholder.
Ia menambahkan, secara alami, kualitas mutu bangunan cagar budaya akan terus berkurang seiring usia.
Karena itu, idealnya dibutuhkan langkah konservasi untuk menjaga nilai sejarah bangunan seperti Terowongan Tiga.
Namun, dinamika pembangunan kota juga menjadi tantangan tersendiri.
“Dalam perkembangan kota metropolitan, dibutuhkan strategi pengelolaan yang tepat untuk mempertahankan kelestarian bangunan cagar budaya,” tuturnya.
Kompas.com mendapati akses menuju terowongan dapat ditempuh dari Jalan Matraman Raya yang terhubung ke Jalan Bunga I. Lokasinya berada tepat di belakang pos Rumah Jaga Pintu Air Kelor.
Secara visual, bagian depan terowongan masih menunjukkan ornamen batu yang menawan. Lebar sekitar 7 meter dengan panjang kurang lebih 6 meter.
Tumbuhan hijau merambat di sepanjang dinding, menciptakan kesan alami namun juga menandakan lemahnya perawatan.
Kontras terlihat pada bagian belakang terowongan yang mulai tertutup tanah dan batuan sederhana tanpa ornamen mencolok.
Jalur kereta di atasnya kini sudah tidak teridentifikasi sebagai rel, ditenggelamkan semak.
Sementara itu, aliran air yang melintas di bawah jalur lengkung terowongan berwarna kecokelatan pekat dengan limbah rumah tangga di permukaan.
Penduduk setempat menyebutnya sebagai aliran yang terhubung ke Kali Ciliwung.
Kondisi inilah yang membuat terowongan lebih banyak dilihat sebagai jalur air biasa oleh masyarakat, bukan situs sejarah yang harus diperlakukan sebagai cagar budaya.
Ketua RT 03 RW 09 Palmeriam, Giyono, sudah 21 tahun tinggal di kawasan tersebut.
Ia bahkan sudah menjabat sebagai RT sejak sebelum penetapan terowongan sebagai cagar budaya.
Namun ia menyebut tidak ada perubahan apa pun setelah status itu diterbitkan.
“Sudah ditetapkan cagar budaya, tapi tidak ada dinaikkan aktivitas. Tidak ada apa-apa. Ya begini saja,” kata Giyono.
Menurutnya, sebagian besar warga setempat bahkan tidak mengetahui status terowongan itu.
“Mereka pikir ini jalur air biasa saja,” ujarnya.
Giyono mengatakan, bagian terowongan banyak yang sudah runtuh.
Ia bahkan pernah melihat angka tahun di bagian atas struktur yang kini hilang tertutup kerusakan.
Soal kebersihan aliran air, Giyono menyebut sampah yang menumpuk merupakan kiriman dari pemukiman di bagian hulu aliran.
“SDA pernah bersihin, enam bulan lalu. DLH paling angkut sampah. Belum pernah ada pengerukan karena tidak berdampak banjir,” tutur dia.
Giyono menyayangkan tidak adanya papan penanda cagar budaya untuk memberi informasi kepada publik.
“Papan nama tidak ada. Walikota pernah datang waktu ada acara literasi, tapi setelah itu tidak dilirik lagi,” katanya.
Sosok lain yang menyimpan kenangan tentang terowongan ini adalah Narto, warga berusia 62 tahun yang lahir dan besar di Palmeriam.
“Dulu ini jalur rel kereta lama. Ada jalan kecil untuk pejalan kaki di pinggirnya,” ujar Narto.
Ia bercerita, sekitar tahun 1970-an, kawasan itu masih ramai oleh pemukiman pindahan dari daerah Tengseng.
Terowongan yang dulu menjadi jalur air bersih, kini tak lebih dari saluran air keruh.
“Waktu saya kecil, airnya bersih. Saya mandi di sini,” kenang dia.
Namun, ada masa ketika kawasan itu sempat menjadi lokasi prostitusi dan titik rawan kriminal.
“Ada kafe, kamar kecil-kecil. Banyak preman. Kalau ada orang nakal lewat, suka dimintai Rp 10 ribu,” ujarnya.
Sekarang, beberapa orang masih bertahan tinggal di bawah terowongan, terutama saat malam hari, ketika area menjadi rawan.
“Kalau perempuan lewat sini malam, bahaya,” ujarnya.
Melihat kondisi kini bangunan cagar budaya sekarang, Narto hanya bisa menggeleng.
“Bangunan ini dari zaman Belanda. Sayang kalau dibiarkan,” katanya pelan.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai tindak lanjut perawatan terowongan.
Pemerintah daerah menyebut kewenangan pemeliharaan berada di PT KAI sebagai pemilik aset.
Sementara pihak pemilik belum mengusulkan rencana konservasi.
Situasi ini menggambarkan persoalan berulang dalam pelestarian cagar budaya di Jakarta, jumlah yang banyak, kepemilikan beragam, sementara program konservasi masih selektif dan bertahap.
Bangunan yang seharusnya menjadi kebanggaan justru tidak dikenali oleh masyarakat sekitar.
Kesadaran masyarakat yang minim juga berkontribusi pada kurangnya perhatian dari pemangku kepentingan.
Bagi Giyono dan Narto, harapan mereka sederhana, bangunan sejarah di kampung mereka tak hilang ditelan zaman.
“Kalau dirawat, orang bisa tahu sejarahnya,” kata Narto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Potret Cagar Budaya Terowongan Tiga, Penuh Sampah dan Semak Belukar Megapolitan 28 November 2025
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5434629/original/032299200_1764936701-Banner_Infografis_Diskon_H.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/09/22/68d0a216335a9.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)


/data/photo/2025/09/25/68d4dc0dd0442.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2017/12/20/1716285305.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/11/08/654b347a94825.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/693239b871628.jfif?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2021/12/05/61acdd2a73645.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/02/690767c45d7f1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/03/28/67e5f5cd725f8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)