PKL Monas Tak Pernah Pergi meski Ditertibkan Berkali-kali
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menata kawasan Monumen Nasional (Monas), pedagang asongan serta pedagang kaki lima (PKL) masih tetap terlihat beraktivitas di sekitar pintu masuk Monas.
Meski telah dilakukan penertiban berkali-kali, termasuk yang sempat memicu kericuhan pada Juli 2025, keberadaan mereka terus berulang setiap hari, menyisakan tarik-menarik kepentingan antara aturan dan kebutuhan hidup.
Pengelola
Monas
menegaskan bahwa kawasan inti Monas adalah zona steril tanpa aktivitas jual beli. Namun di lapangan, kenyataan menunjukkan hal yang lebih kompleks pedagang bertahan di area pintu masuk.
Kepala UPK Monas, Muhammad Isa Sanuri, menegaskan bahwa seluruh aktivitas perdagangan tidak diperbolehkan masuk ke dalam kawasan Monas bagaimana pun bentuknya.
“Pedagang asongan atau PKL itu tidak ada yang masuk ke dalam kawasan Monas karena tidak diperbolehkan. Sesuai ketentuan, tidak boleh ada transaksi jual beli,” kata Isa kepada
Kompas.com
, Kamis (20/11/2025).
Namun, area luar pintu masuk, termasuk jalur menuju IRTI, menjadi titik rawan. Banyak pedagang duduk di pinggir pot, papan beton, hingga menempel di pagar luar Monas.
Saat ditanya mengenai apakah area pintu IRTI diperbolehkan menjadi lokasi berdagang, Isa kembali menegaskan.
“Kecuali di area Lenggang Jakarta. Itu pun pedagangnya di bawah pembinaan Dinas PPUMKM,” ujarnya.
Artinya, seluruh titik sebelum kawasan Lenggang Jakarta tetap termasuk area yang tidak diperbolehkan bagi pedagang informal.
Mengenai koordinasi dengan Satpol PP, Isa menyebut hal itu dilakukan rutin.
“Sering. Kami koordinasi dengan Manpol Kecamatan Gambir,” kata dia singkat.
Meski begitu, aktivitas pedagang masih terjadi setiap hari. Penertiban dilakukan, namun gejalanya selalu kembali.
Fenomena ini memperlihatkan kondisi klasik penataan ruang publik Jakarta pedagang berpindah, bukan hilang.
Riwayat ketegangan antara PKL dan aparat terlihat jelas pada Rabu, 2 Juli 2025, di Pintu Pertamina Monas.
Penertiban petugas gabungan dari Kecamatan Gambir dan Kelurahan Petojo Selatan sempat memicu aksi saling dorong antara petugas dan pedagang yang menolak ditertibkan.
Kepala Satpol PP Kota Administrasi Jakarta Pusat yang saat itu masih menjabat, Tumbur Parluhutan Purba, menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan adalah penghalauan biasa.
“Hanya penghalauan dan penggebahan kemarin. Ada sedikit cekcok mulut saja dengan PKL. Karena sudah dihalau dan digebah tapi tidak mengindahkan petugas Satpol PP Kecamatan Gambir,” kata Tumbur.
Ia menambahkan bahwa keberadaan PKL di sekitar Monas memang sulit dihilangkan.
“Kalau PKL tetap saja ada. Tugas Satpol melakukan sterilisasi di Pintu Pertamina semaksimal mungkin dan selalu dijaga secara stasioner dan mobile,” ujar dia.
Keterangan ini menjelaskan salah satu akar masalah Monas sebagai ruang wisata utama memiliki arus manusia besar sepanjang hari, menjadikannya lokasi yang ‘menggiurkan’ bagi pedagang kecil bahkan saat razia intensif berlangsung.
Pada Kamis siang, Kompas.com menyusuri jalur masuk Monas dari arah IRTI. Matahari terik membakar trotoar, namun keramaian tidak berkurang.
Pintu masuk dipenuhi pedagang yang duduk di kiri-kanan jalur pedestrian, menciptakan ‘lorong dagang’ yang semestinya tidak ada.
Sejumlah pemandangan mencolok, ibu-ibu pedagang minuman duduk di atas pot beton, dagangan disusun dalam kantong plastik besar. Pedagang camilan menggantung bungkusan kecil berwarna kuning pada seutas tali.
Sementara di sisi lain Gerobak es krim berwarna biru menepi, penjualnya bercucuran keringat, memanggil pembeli hanya sesekali. Pedagang arum manis dengan gulungan kapas berwarna pastel menjadi pusat perhatian anak-anak.
Sebagian pedagang terlihat gelisah, sesekali menengok jalan, seolah mengantisipasi petugas Satpol PP.
Meski papan bertuliskan “Dilarang Berdagang di Kawasan Ini” terpampang jelas, aktivitas tetap berlangsung.
Arus pengunjung sendiri kerap tersendat. Banyak wisatawan berhenti membeli minuman atau berteduh, menambah kepadatan area pintu masuk.
Situasi semacam ini menciptakan kesan kawasan yang semrawut, di tengah monumen ikonik negara yang seharusnya tertata.
Namun di balik segala kekacauan itu, tampak jelas bahwa para pedagang tidak sekadar melanggar aturan. Mereka mencari tempat yang paling memungkinkan untuk bertahan hidup.
Rama (26), pekerja swasta yang datang bersama temannya dari Bandung. Ia mengakui sempat bingung karena kawasan IRTI tampak dipenuhi pedagang meski tertera larangan.
“Saya enggak terlalu terganggu sih, tapi memang jadi agak sempit kalau ramai,” kata Rama.
Ia mengaku justru terbantu membeli air dari pedagang.
“Kalau harus beli di dalam IRTI itu lumayan jauh. Tapi saya juga paham kalau pemerintah mau bikin rapi,” kata dia.
Sementara Cinta (38), ibu rumah tangga dari Bekasi yang membawa dua anak, kehadiran pedagang adalah hal yang mempermudah.
“Anak saya langsung beli mainan kipas kecil. Jujur saya enggak keberatan ada pedagang,” ujarnya.
Namun ia juga mengeluhkan kemacetan jalur masuk.
“Jalannya jadi padat kalau pedagang gelar barang di pot atau lantai,” kata dia.
Menurutnya, solusi terbaik adalah menyediakan ruang kecil dan tertata khusus untuk pedagang.
Pengunjung lain Ferdy (19), mahasiswa melihat kucing-kucingan pedagang dengan petugas sebagai ironi.
“Mereka takut razia. Saya simpati, mereka cuma cari rezeki,” tuturnya.
Namun ia juga mengakui sebagian pedagang memaksa berjualan.
“Ada yang ngikutin nawarin minum. Itu agak mengganggu,” ungkapnya.
Tati (47), pedagang minuman yang sudah lebih dari 10 tahun mengandalkan Monas sebagai lokasi mencari nafkah.
Ia duduk sejak pagi hingga sore sambil memikul dua kantong besar berisi minuman.
“Kalau saya geser lima meter saja, enggak ada yang lihat dagangan saya,” katanya.
Razia membuatnya harus sering berpindah-pindah.
“Saya enggak marah sama petugas. Mereka kerja. Tapi kami mau jualan di mana?,” ucapnya.
Tati juga mengakui memanfaatkan momen-momen ramai seperti aksi demonstrasi di dekat Patung Kuda untuk menambah pendapatan.
Rudi (41), pedagang camilan dan mainan. Ia mengaku dulu pernah memiliki lapak di IRTI sebelum renovasi Monas.
“Katanya nanti ada penataan UMKM, tapi sampai sekarang enggak jelas,” ujarnya.
Ia sering harus lari atau mengangkat plastik dagangan secepat mungkin saat Satpol PP datang.
“Kalau barang disita stres banget. Modal saya kecil,” kata Rudi.
Rudi meminta pemerintah membuat tempat resmi sekecil apa pun.
Sementara Nana (32), pedagang permen kapas mengaku pendapatannya tidak stabil. Barang dagangannya besar, sehingga ia sulit menghindari razia.
“Saya malu sebenarnya kalau digusur. Tapi mau bagaimana? Saya punya anak kecil,” katanya.
Ia berharap ada area khusus untuk pedagang kecil yang menjual jajanan anak.
Adapun Kamal (58), pedagang es krim dorong mengaku gerobaknya terlalu berat untuk dipindah saat razia.
“Biasanya saya tutup gerobak saja. Kalau petugas pergi, saya buka lagi,” tuturnya.
Ia tidak menolak pengusiran, namun ingin ada tempat khusus yang aman dan teduh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
PKL Monas Tak Pernah Pergi meski Ditertibkan Berkali-kali Megapolitan 21 November 2025
/data/photo/2025/12/17/694228faac892.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/69421dcc2e181.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/6941f78447f6d.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/17/69420e61316f2.png?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/694102873ca94.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/6940feec44bd1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)