Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Pilkada Langsung vs DPRD: Uang Tak Pernah Hilang, Hanya Pindah Tangan

Abadikini.com, JAKARTA – Anggapan bahwa pilkada langsung mudah dikendalikan pemodal dinilai tidak sepenuhnya benar. Uang memang memiliki pengaruh dalam politik elektoral, tetapi modal finansial besar tidak otomatis menjamin kemenangan.

Pengamat politik Nurul Fatta menegaskan, pemilih bukan entitas tunggal yang bisa diarahkan sesuka hati. Mereka adalah aktor politik yang heterogen, dengan pertimbangan rasional, emosional, hingga ideologis yang berbeda-beda dalam menentukan pilihan.

“Karena itu, pilkada langsung selalu mengandung unsur ketidakpastian. Tidak sepenuhnya bisa dikontrol,” kata Nurul dilansir dari RMOL Selasa (23/12/2025).

Ia justru menilai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD membuka ruang transaksi politik yang lebih sempit namun lebih mudah dikendalikan. Dengan jumlah pengambil keputusan yang terbatas, proses politik menjadi lebih prediktif dan relatif murah dari sisi biaya transaksi politik.

“Semakin sedikit aktor yang terlibat, semakin besar peluang terjadinya transaksi tertutup,” ujarnya.

Menurut Nurul, pilkada tidak langsung bukan menghapus praktik politik uang, melainkan memindahkannya dari ruang publik ke ruang elite. Sejarah sebelum reformasi menunjukkan praktik “satu kursi satu harga” atau uang per kursi dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD berjalan rapi, terorganisir, dan kerap menghasilkan pemenang bahkan sebelum pemungutan suara berlangsung.
Dalam skema tersebut, demokrasi yang semestinya membuka ruang kompetisi justru berubah menjadi arena eksklusif. Kesempatan untuk menjadi kepala daerah semakin terbatas bagi mereka yang tidak memiliki relasi kekuasaan atau modal finansial kuat.

“Sistem ini juga menutup peluang bagi anak-anak muda dan figur alternatif yang sebenarnya punya kapasitas memimpin daerah,” tegasnya.

Nurul menambahkan, demokrasi tidak boleh dipersempit hanya pada soal efisiensi. Substansi demokrasi adalah memberi ruang kontrol kepada rakyat, termasuk kemampuan untuk menghukum pemimpin yang gagal melalui mekanisme pemilu.

“Pilkada langsung menyediakan alat koreksi itu, meskipun tidak sempurna. Menghapusnya sama saja dengan mencabut hak rakyat untuk melakukan evaluasi politik,” kata dia.

Dalam perspektif principal–agent, pilkada langsung menempatkan rakyat sebagai principal dan kepala daerah sebagai agent yang bertanggung jawab langsung kepada pemilih. Sebaliknya, dalam pemilihan oleh DPRD, relasi pertanggungjawaban bergeser ke elite partai dan anggota dewan.
Tak heran, kata Nurul, jika partai-partai dengan kekuatan dominan di DPRD menjadi pendukung paling vokal sistem pemilihan tidak langsung.

“Bagi mereka, DPRD adalah arena yang lebih terkendali, lebih terukur, dan jauh lebih mudah dimenangkan dibanding harus berhadapan dengan jutaan pemilih yang tidak bisa diprediksi,” pungkasnya.