Jakarta –
Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Panitia Kerja Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Rano Alfath, menegaskan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 sejalan dengan putusan MK. Dia menyebut putusan MK bukan semata soal boleh atau tidaknya anggota polisi diperbantukan.
“Putusan MK itu bukan soal boleh atau tidak bolehnya Polri diperbantukan. Yang ditekankan justru kejelasan status, rantai komando, dan pertanggungjawaban. Jangan sampai fungsi Polri sebagai penegak hukum jadi kabur karena rangkap peran,” ujar Rano dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).
Rano mengatakan pertimbangan hukum MK berangkat dari kedudukan Polri sebagai alat negara yang diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945. Di mana, pasal itu memberi mandat kepada Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebab itu, menurutnya, setiap norma yang membuka ruang penugasan anggota Polri di luar institusi Kepolisian perlu dirumuskan secara jelas, terukur, dan tak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
“MK ingin memastikan status kepegawaian anggota Polri tetap pasti, rantai komandonya tidak bercabang, dan fungsi penegakan hukumnya tidak bercampur dengan fungsi lain di luar mandat konstitusional. Jadi ini sifatnya korektif dan preventif, bukan melarang secara absolut,” katanya.
Rano mengatakan Perkap 10/2025 mengatur mekanisme penugasan secara lebih tertib. Selain itu, dia mengatakan anggota Polri yang ditugaskan juga diwajibkan melepaskan jabatan struktural di internal Polri.
Rano menekankan kebutuhan perbantuan Polri oleh lembaga negara bersifat kontekstual dan tak dapat diseragamkan. Rano meniali selama didasarkan pada kebutuhan institusional yang sah, memiliki dasar hukum yang jelas, perbantuan tersebut tetap berada dalam koridor konstitusional.
“Negara hukum itu bukan berarti menutup diri dari pemanfaatan keahlian aparat negara. Yang dituntut adalah pembatasan yang jelas supaya tidak ada penyalahgunaan kewenangan,” katanya.
Rano lantas menyinggung agenda reformasi kepolisian yang tak terlepas dari mekanisme pengangkatan Kapolri yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Menurutnya, ketentuan tersebut merupakan bagian dari desain checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Persetujuan DPR itu bukan untuk mengurangi hak prerogatif Presiden. Justru itu mekanisme konstitusional agar kekuasaan dalam institusi penegak hukum tetap terjaga akuntabilitasnya,” tegas Rano.
Rano menegaskan komitmen Komisi III DPR untuk terus mengawal implementasi Putusan MK, Perkap 10/2025, serta tata kelola kepemimpinan Polri. Menurutnya, reformasi kepolisian harus dijalankan secara konsisten.
“Reformasi kepolisian itu bukan soal memperluas atau meniadakan peran Polri secara ekstrem. Ini soal menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab,” pungkasnya.
(amw/gbr)









