Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Penjual Koran di Jakarta Kian Punah, Sosiolog: Sudah Hilang Ditelan Zaman Megapolitan 4 Desember 2025

Penjual Koran di Jakarta Kian Punah, Sosiolog: Sudah Hilang Ditelan Zaman
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com —
Keberadaan penjual koran di Jakarta kini berada di ambang kepunahan. Pergeseran besar masyarakat ke konsumsi berita digital membuat
pedagang koran
semakin sulit bertahan dan kian hilang dari ruang publik kota.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, menilai perubahan masif teknologi dan perilaku masyarakat menjadi faktor utama merosotnya penjualan koran cetak.
“Pedagang koran sekarang sudah sangat berkurang, bahkan sudah hilang ditelan zaman,” ujar Rakhmat saat dihubungi
Kompas.com
, Rabu (3/12/2025).
Menurut dia,
media digital
menawarkan akses cepat, instan, dan diperbarui setiap detik, sehingga membuat koran cetak tak lagi menjadi pilihan utama.
“Orang sekarang dikejar waktu, ingin yang cepat dan praktis. Media cetak banyak yang sudah menutup edisi cetaknya. Ini memang panggilan zaman yang tidak bisa ditolak,” katanya.
Ia menegaskan, kejayaan koran cetak pada era 1990-an tak mungkin kembali. Tradisi membaca koran kini hanya bertahan di sebagian pembaca berusia 50 tahun ke atas yang masih terikat nostalgia.
Bagi Rakhmat, pengalaman menyentuh kertas, membolak-balik halaman, hingga mencium aroma tinta adalah kenangan yang tak tergantikan layar gawai.
“Termasuk saya sendiri. Ketika opini saya dimuat di koran Kompas cetak, saya beli versi cetaknya. Tapi kini di Depok dan Jakarta saja susah sekali mencari yang masih menjual koran,” ujarnya.
Sore itu,
Kompas.com
mengamati Rino (40), penjual koran yang hampir 20 tahun berjualan di lampu merah Tugu Tani, Jakarta Pusat. Tangan kirinya menenteng tumpukan koran, sementara tangan kanannya siap menyodorkan satu eksemplar setiap kali kendaraan berhenti.
Selama tiga jam pengamatan, tak satu pun pembeli datang. Sebagian pengendara menolak halus dengan gelengan kepala, sebagian lain pura-pura tidak melihat.
Kondisi fisik Rino mencerminkan kerasnya medan hidupnya. Kaus coklatnya kusam dan robek, celananya memudar, dan ia berdiri tanpa alas kaki di atas aspal basah.
Di tengah gedung-gedung tinggi dan hiruk pikuk Jakarta, sosoknya seperti bayangan masa lalu yang tersisa masa ketika berita diakses lewat kertas, bukan layar.
“Saya dari zaman Presiden Megawati sudah jualan di sini, hampir 20 tahun,” ucapnya saat diwawancarai
Kompas.com
.
Sejak dulu, ia tidak pernah berpindah tempat. Lampu merah Tugu Tani sudah menjadi “kantornya”.
“Dulu bisa sehari dapat Rp 200.000. Sekarang Rp 50.000 saja susah,” kata Rino lirih.
Dengan modal sendiri, ia membeli koran yang dijual kembali.
“Kompas sekarang saya ambil Rp12.000, untungnya Rp 4.000. Biasanya beli cuma 20 eksemplar. Kalau duit lagi tipis, 5 atau 10 aja,” ujarnya.
Sesekali ia harus menghindari petugas Satpol PP yang menertibkan pedagang asongan.
“Ada rompi resmi, tapi saya sudah minta, tetap enggak dikasih,” keluhnya.
Di bawah
flyover
Kramat Raya Kwitang Senen, Agus (55) berjualan koran dengan penampilan lebih rapi. Namun situasinya sama berat.
“Sekarang paling ambil tiga eksemplar. Dulu bisa lebih dari 10,” tuturnya.
Dulu, pukul 10.00 WIB pagi stok sudah habis. Kini hingga malam hari pun belum tentu terjual.
“Kadang enggak laku sama sekali,” kata Agus.
Ia mengakui, pandemi Covid-19 mempercepat kejatuhan penjualan koran. Dengan pendapatan yang makin tak pasti, ia berharap masih ada pembaca yang mau melirik lembaran berita itu.
“Dulu mantep. Sekarang Rp 50.000 ribu saja belum tentu,” ucapnya.
Dayat Hidayah (40), pekerja kantoran di Gondangdia, termasuk sedikit pembaca yang masih setia pada koran fisik.
“Kalau tidak buka koran, rasanya ada yang kurang,” ujarnya saat dihubungi
Kompas.com
.
Menurut dia, koran menyajikan berita lebih rapi dan minim distraksi dibanding ponsel yang dipenuhi iklan dan notifikasi. Dayat juga kerap membeli koran dari penjual jalanan sebagai bentuk solidaritas.
Peneliti media Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, menyebut industri media cetak kini berada pada fase terberatnya.
“Sekarang koran yang masih terbit, oplahnya tidak sampai 20.000 eksemplar. Dulu bisa 500.000 per hari,” ujarnya.
Digitalisasi membuat pembaca tak lagi mau menunggu koran terbit setiap pagi. Media cetak pun harus menyesuaikan diri dengan distribusi konten di platform digital.
“Digital ini di satu sisi ancaman, tapi harus dimanfaatkan,” kata Ignatius.
Meski begitu, ia mengakui masih ada pembaca setia, yang mempertahankan ritual pagi bersama koran sambil menikmati teh atau kopi.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean, menyampaikan bahwa penertiban penjual koran di jalan dilakukan berdasarkan Perda 8 Tahun 2007.
“Semua termasuk di Perda 8 Tahun 2007. Kami halau dan kami tertibkan,” ujarnya.
Dalam regulasi itu, pedagang asongan dilarang beroperasi di jalan raya. Bahkan membeli dagangan mereka juga dianggap pelanggaran. Tekanan ini membuat profesi penjual koran yang sudah rapuh kini semakin terjepit.
Bagi sebagian masyarakat, koran bukan hanya media informasi, melainkan memori masa ketika berita diakses dari lembaran kertas.
Rakhmat menilai nostalgia inilah yang masih mengikat sebagian kalangan senior.
“Era kejayaan koran cetak menjadi dunia mereka. Bangun pagi, baca koran. Lihat iklan lowongan kerja di koran,” ujarnya.
Namun, keterbatasan distribusi membuat koran semakin langka, bahkan di kota besar seperti Jakarta. Bagi para penjual koran, itu berarti semakin sedikit ruang untuk bertahan hidup.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.