Ary Sudijanto dan seluruh tim delegasi pulang dengan kepala tegak, membawa bukti bahwa Indonesia bukan lagi sekadar objek dalam pembicaraan iklim global, melainkan subjek aktif yang menawarkan solusi, memfasilitasi dialog, dan memimpin dengan contoh nyata.
Paviliun di Belem mungkin akan segera dibongkar, namun jejaring kolaborasi yang terbentuk di dalamnya diharapkan akan terus tumbuh dan berbuah manis hingga COP31 mendatang.
“Paviliun Indonesia menjadi pusat perhatian berkat forum Carbon Connection for Climate Action, yang menghubungkan pemilik proyek karbon dalam negeri dengan calon pembeli dan investor internasional,” tulis laporan tersebut, menyoroti salah satu pilar keberhasilan pavilion yaitu pelibatan sektor non-negara. Dikutip dari Antara.
Keberhasilan Paviliun Indonesia di COP30 tidak lepas dari strategi inklusif yang diadopsi pemerintah. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sangat state-centric, kali ini Indonesia secara sadar membuka pintu selebar-lebarnya bagi keterlibatan multipihak (multistakeholder).
Kesadaran ini muncul dari pemahaman bahwa target ambisius Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) Indonesia tidak mungkin dicapai hanya dengan APBN. Dibutuhkan triliunan rupiah investasi dan inovasi teknologi yang sebagian besar berada di tangan sektor swasta dan komunitas global.
Di dalam paviliun, sinergi ini terlihat sangat kental. Perusahaan-perusahaan besar milik negara (BUMN) seperti PLN dan Pertamina berdampingan dengan start-up teknologi iklim dan perusahaan swasta nasional, memaparkan peta jalan dekarbonisasi mereka.
Mereka tidak hanya berbicara tentang target Net Zero Emission 2060, tetapi membedah tantangan teknis di lapangan, seperti pemensiunan dini PLTU batubara atau pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel).
Kehadiran sektor swasta ini memberikan bobot kredibilitas pada komitmen nasional Indonesia, menunjukkan kepada investor asing bahwa transisi energi di Indonesia adalah peluang bisnis yang nyata dan menguntungkan.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil juga sangat menonjol. Di panggung Paviliun Indonesia, mereka tidak diposisikan sebagai oposisi, melainkan sebagai mitra kritis yang konstruktif.
Diskusi-diskusi mengenai perhutanan sosial, perlindungan gambut, dan hak masyarakat adat difasilitasi bersama antara Kementerian Kehutanan dan koalisi CSO.
Model dialog terbuka ini mendapatkan apresiasi dari delegasi internasional sebagai bentuk kedewasaan demokrasi iklim di Indonesia. Hal ini menepis anggapan bahwa pemerintah Indonesia menutup diri dari kritik. Sebaliknya, kritik dikelola menjadi masukan kebijakan yang memperkuat posisi tawar Indonesia di mata donor internasional.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5422521/original/090025400_1763990363-9.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2518586/original/050091100_1544319357-Lilin-Natal7.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5178685/original/076256600_1743388841-IMG-20250331-WA0019.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5317836/original/048966000_1755408574-3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5311664/original/000826500_1754890671-IMG-20250810-WA0007.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5434791/original/061204200_1764989186-21f07ec8-79c8-42a1-87bf-d446da50b0d5.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)