Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Pasar Loak Jatinegara Tetap Jadi Buruan Kolektor di Tengah Era Digital Megapolitan 12 Desember 2025

Pasar Loak Jatinegara Tetap Jadi Buruan Kolektor di Tengah Era Digital
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Bagi Ridhamal Barkah (34), kolektor barang antik asal Jakarta Selatan, Pasar Loak Jatinegara menjadi tempat berburu yang tak tergantikan.
Meski barang berkualitas kini banyak diburu pedagang online dan sering kali tidak lagi digelar di lapak, ia menilai pasar ini masih memiliki daya tarik kuat bagi para pencari
barang vintage
.
“Pernah, pernah saya dapat barang di Jatinegara. Walaupun jarang, tapi saya tetap ke sana,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (10/12/2025).
Menurutnya, pergeseran pola dagang membuat pasar yang akrab disebut Pasar Jembatan Item kian tergerus.
Banyak barang ‘kelas satu’ sudah berpindah ke kanal daring sebelum sempat digelar di lapak.
Namun bagi kolektor seperti dirinya, peluang tetap ada asal jeli.
“Karena memang, setahu saya, banyak pedagang yang luternya udah ke arah online semua. Barang bagus itu tidak pernah lagi digelar di lapaknya,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dulu banyak pedagang menggelar barang langka secara terbuka di lapak-lapak sepanjang Jalan Jatinegara Timur II. Kini, kondisi itu berubah total.
Para pedagang yang sudah terhubung dengan kolektor besar memilih langsung menjual barang berkualitas lewat kanal daring atau lewat jaringan pribadi.
“Barang bagus itu cepat banget hilang. Belum masuk lapak, udah diambil pedagang online. Mereka minder juga kalau barangnya kelihatan banyak saingannya,” kata Ridhamal.
Namun demikian, pasar itu tetap memiliki daya tarik unik. Ridhamal menyebut masih ada momentum ketika barang-barang “turun dari kerombak” hasil bongkaran rumah lama atau hotel yang membuat pemburu barang antik berbondong datang.
“Karena menurut informasi, barang yang baru turun itu lebih fresh. Belum dijamah orang lain, belum dijamah pedagang online,” katanya.
Ia menambahkan, sekalipun barang “middle” tidak terlalu langka namun tetap punya nilai koleksi masih bisa ditemukan, kemampuan melihat barang menjadi kunci.
“Kembali lagi ke mata masing-masing. Mata lang, kata orang. Kalau jeli, bisa dapat barang bagus dengan harga low bujet,” ujarnya.
Menurut Ridhamal, masa depan Pasar Jembatan Item tetap ada, meski terhimpit modernisasi.
“Harapannya sih tetap ramai. Makin banyak pedagang makin seru. Di sana tuh nggak satu macam apa pun ada,” ujarnya menutup percakapan.
Kompas.com menelusuri
Pasar Loak Jatinegara
pada Rabu (10/12/2025) memperlihatkan bagaimana pasar ini tetap hidup meski modernisasi melaju cepat.
Pasar Loak Jatinegara dimulai dari Jalan Jatinegara Timur II dan memanjang hingga Jalan Bekasi Barat III, di Kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Begitu memasuki gang kecil, pengunjung langsung disambut gapura tua dengan cat yang telah memudar.
Tulisan “Pasar Jembatan Item” tampak samar, dikelilingi ranting pohon besar yang menaungi jalan masuk.
Gapura itu seperti penanda bahwa pasar ini jauh lebih tua dari bangunan di sekelilingnya jejak yang tak bisa dihapus modernisasi.
Pasar ini buka sejak pukul 04.00 hingga 18.00 WIB, meski beberapa pedagang mengaku buka nyaris 24 jam.
Saat masuk lebih dalam, suasana berubah drastis lorong sempit, terpal merah-biru yang robek, bangku plastik, karpet lusuh sebagai alas dagangan, dan suara pedagang saling bersahutan.
Di satu sisi, barang elektronik tua dan aksesori kecil bertumpuk. Di sisi lain, teko tembaga dan patung kayu berkilau di etalase kaca.
Aroma besi, debu, dan kayu tua bercampur menjadi satu sebuah atmosfer yang hanya dimiliki pasar loak.
Pada kios semi permanen dekat Jalan Bekasi Barat, Supriyadi (54) telah menghabiskan hampir 12 tahun berdagang barang antik di pasar ini.
Ia menjajakan ornamen kuningan, patung kayu, jam kayu jadul, hingga piring kristal yang tersusun rapi.
“Saya mulai tahun 2012 atau 2013-an. Barang saya kebanyakan teko kuningan, patung kayu, keramik, jam dinding lama. Pembelinya macam-macam, kolektor sampai interior designer,” ucapnya.
Supriyadi biasanya mendapatkan barang dari rumah-rumah yang hendak bersih-bersih, lelang kontainer, hingga pengepul yang berkeliling kota.
Ia mengaku penghasilannya sangat bergantung pada keberuntungan.
“Kalau ramai bisa dapat satu sampai dua juta sehari. Tapi kalau sepi ya paling seratus ribu. Barang antik itu tergantung hoki,” katanya sambil tersenyum.
“Barang lama itu rawan retak. Pernah juga beli barang mahal, ternyata palsu. Ya rugi sendiri,” kata dia.
Berbeda dengan pedagang barang antik, Raden (39) menjual barang kecil seperti charger, earphone, jam tangan bekas, dan perkakas di atas terpal dekat pintu masuk pasar.
Sudah 11 tahun ia bertahan, meski pendapatannya tak menentu.
“Kalau gelaran ya naik-turun. Sehari paling dapat lima puluh sampai seratus ribu. Weekend bisa dua ratus ribu. Tapi kalau hujan, ya sudah, bisa zonk,” ucapnya.
Barang dagangannya didapat dari grosiran Glodok atau dari kolektor barang bekas.
Ia juga sering menerima jam tangan dari warga yang datang jual putus. Kerugian terbesar biasanya datang dari cuaca.
“Elektronik kecil itu sensitif. Kalau terpal bocor, habis semua,” ujarnya.
Enam tahun lalu, Putra (39) banting setir dari ojek online menjadi pedagang pakaian bekas.
Lapaknya berada di lorong tengah pasar yang paling sempit.
“Barang saya dari sabutan kontainer dan pengepul. Kalau tas atau koper, biasanya beli putus dari orang,” katanya.
Putra mengaku pendapatannya bisa mencapai Rp 1 juta pada hari ramai.
Namun dominasi marketplace membuat pasarnya semakin mengecil.
“Sekarang agak susah karena banyak yang beli online. Dulu orang hunting barang branded bekas ke sini, sekarang banyak yang pilih bayar ongkir saja,” ucapnya.
Namun, kerugian juga kerap ia alami. Saat itu koper harga mahal namun pegangan rusak patah.
“Pernah koper mahal, ternyata pegangan dalamnya patah. Atau hujan deras bikin pakaian basah semua. Itu enggak laku,” ujarnya.
Surohman (58) adalah saksi hidup perjalanan Pasar Jembatan Item.
Ia sudah membuka kios sejak tahun 1993, saat kawasan itu masih dipenuhi pohon dan lapak karung seadanya.
“Dulu ini cuma tempat kumpul pedagang loak keliling. Mereka bawa barang dari bongkaran rumah tua, lelangan gudang, hasil barter sama warga. Lama-lama jadi pasar,” tuturnya.
Ruko kecil baru muncul pada awal tahun 2000-an. Sebelumnya, semua berdagang beralaskan tanah, terpal, dan karung.
Kini, dagangannya masih sama teko tembaga, radio tua, piring kristal, patung kayu, dan bingkai besar.
Pembelinya mulai dari kolektor hingga interior designer.
“Barang antik itu kalau enggak laku makan tempat. Tapi ya sudah, namanya rezeki. Saya sudah tiga puluh tahun lebih di sini,” ucapnya.
Di tengah hiruk pikuk pasar, Reza Pradipta (27), seorang karyawan di bidang desain interior, terlihat memeriksa jam dinding kayu tua.
Ia mengakui bahwa pasar ini punya keunikan tersendiri.
“Saya lagi cari dekorasi rumah vintage. Klien saya suka industrial-rustic. Dua minggu sekali saya ke sini,” ujarnya.
Menurut Reza, harga barang di pasar ini jauh lebih terjangkau dibanding toko besar.
Namun keunggulan utamanya bukan soal harga.
“Barang bekas itu punya cerita. Teksturnya beda, usianya kelihatan. Kalau beli baru, tampilannya terlalu bersih. Klien saya justru nyari kesan berumur,” ujarnya.
Reza mengaku pernah kecewa saat membeli radio tua yang tidak bisa menyala.
Namun baginya, risiko itu bagian dari pengalaman berburu.
“Yang bikin pasar ini bertahan ya sensasi hunting-nya. Lorong sempit, lapak penuh, terpal warna-warni. Itu bagian dari pesonanya,” katanya.
Ia berharap pemerintah menata pasar ini tanpa menghilangkan keasliannya.
“Tata sedikit biar nyaman, tapi jangan hilangkan atmosfer klasiknya,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.