Mudik dan Tanggung Jawab Negara
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
MUDIK
selalu jadi kisah pulang yang tak sederhana. Ia bukan sekadar perjalanan menuju kampung halaman. Ia adalah ritual sosial, spiritual, bahkan politikal.
Saat jalanan macet, stasiun padat, terminal riuh, dan bandara penuh, kita melihat satu hal yang sama: kerinduan akan rumah.
Di balik itu, ada satu pertanyaan besar yang terus terngiang: apakah negara sudah benar-benar hadir dalam
mudik
warganya?
Setiap tahun, negara berbangga diri atas penyelenggaraan mudik. Infrastruktur diperbaiki, koordinasi ditingkatkan, layanan digalakkan.
Namun, apakah tanggung jawab negara hanya sebatas mengatur lalu lintas dan memperlancar perjalanan? Apakah negara cukup puas sekadar mengatur jalannya perantau kembali ke rumah?
Mudik
adalah cermin paling jujur dari kesenjangan pembangunan. Ratusan ribu hingga jutaan warga kota kembali ke desa-desa, ke kampung-kampung, menyeberangi laut, menembus hutan, mendaki gunung, hanya untuk satu alasan: pulang.
Mengapa mereka harus pergi jauh dari kampungnya untuk bekerja? Mengapa desa ditinggalkan dan kota disesaki?
Karena desa tak diberi hidup. Karena pekerjaan, pelayanan, dan fasilitas tak merata. Karena negara lupa membangun dari pinggiran.
Maka urbanisasi menjadi keniscayaan dan mudik menjadi momen rekonsiliasi sosial tahunan antara kota yang menindas dan desa yang ditinggalkan.
Setiap kali orang pulang, ia membawa cerita tentang hidup yang keras di kota, sekaligus membuktikan bahwa kampung halaman belum cukup mampu menopangnya.
Di sinilah tanggung jawab negara seharusnya hadir: bukan hanya mengatur jalannya mudik, tapi mengurai akar mengapa orang harus mudik.
Mudik adalah jeda dari
ketimpangan
. Sejenak orang-orang lelah dalam rutinitas kota bisa menghirup udara sawah, bertemu orangtua, menengok makam leluhur, menyentuh tanah yang pernah dibangun dari peluh kakek-nenek mereka.
Jeda ini rapuh. Ia hanya berlangsung seminggu atau dua. Setelah itu, mereka harus kembali ke kota, ke kantor, ke pabrik, ke ruang-ruang kerja yang sering kali tidak manusiawi.
Di sinilah paradoks itu terjadi. Negara sibuk memfasilitasi mudik, tapi tak pernah sungguh-sungguh menjawab mengapa orang harus merantau. Pemerataan pembangunan masih sebatas jargon.
Desa-desa tetap tertinggal. Akses pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan internet yang layak masih jadi kemewahan. Maka mudik hanyalah ritus nostalgia, bukan perayaan kemandirian desa.
Namun, kehadiran negara tidak boleh hanya musiman. Ia harus hadir sebelum dan sesudah mudik. Ia harus hadir saat petani gagal panen.
Ia harus hadir saat anak-anak di desa butuh sekolah. Ia harus hadir saat warga tidak bisa mengakses layanan publik karena birokrasi yang ruwet.
Kehadiran negara tidak boleh kosmetik. Ia tidak boleh hadir hanya demi pencitraan. Ia harus menjelma dalam kebijakan yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar tampilan permukaan.
Negara tak boleh hanya jadi manajer lalu lintas, tapi harus jadi penyelesai ketimpangan.
Mudik juga mengungkap ketidaksiapan kita dalam menata mobilitas rakyat. Tahun ini, pemerintah memprediksi lebih dari 146,48 juta orang akan mudik, jumlah tertinggi sepanjang sejarah.
Artinya, separuh penduduk Indonesia akan berpindah dalam waktu bersamaan. Ini bukan sekadar angka, ini adalah logistik sosial dalam skala raksasa.
Lihatlah, transportasi publik belum optimal. Banyak warga tetap mengandalkan kendaraan pribadi. Jalur-jalur alternatif tidak benar-benar siap.
Moda transportasi terpadu belum menyatu. Stasiun dan terminal sering kali tak layak. Negara masih kalah dari semangat rakyat untuk pulang.
Alih-alih memaksa rakyat agar disiplin, negara seharusnya memperbaiki sistem. Karena masalah mudik bukan semata karena perilaku pemudik, tapi karena desain transportasi publik kita yang belum adil dan manusiawi.
Lalu, bagaimana dengan para pekerja informal yang tidak punya jaminan cuti? Para buruh lepas yang harus memilih antara pulang atau kehilangan penghasilan?
Bagaimana dengan pemudik dari kelas bawah yang menabung selama setahun hanya untuk bisa melihat orangtuanya? Apakah negara hadir untuk mereka?
Sayangnya, sering kali tidak. Subsidi mudik lebih banyak menyentuh aspek simbolik. Mudik gratis digelar untuk pencitraan. Sementara yang sesungguhnya butuh bantuan sering kali luput dari radar kebijakan.
Padahal, tanggung jawab negara bukan hanya pada yang bersuara, tapi terutama pada yang tak terdengar.
Mudik adalah ruang solidaritas yang luar biasa. Orang berbagi tumpangan, memberi makan di posko, menolong kendaraan mogok, membagi air di jalanan, bahkan aparat dan relawan bekerja tanpa kenal lelah.
Solidaritas rakyat tak boleh dijadikan dalih bagi negara untuk lepas tangan.
Justru karena rakyat telah membangun solidaritas, negara harus memperkuatnya, bukan membebani. Negara tidak boleh membiarkan kebaikan kolektif menjadi pengganti kebijakan publik. Ia harus menjadi mitra dalam keadilan sosial.
Di kampung, orang merasakan kembali identitasnya. Di rumah, orang kembali menjadi anak. Di tanah kelahiran, orang merasa utuh.
Maka mudik adalah momen mengikat ulang tali sosial yang kerap tercerai oleh sistem yang menekan manusia menjadi sekadar alat produksi.
Di sinilah letak tanggung jawab negara yang paling mendasar: menjaga keutuhan sosial rakyatnya.
Negara tidak hanya mengurus jalan dan jembatan. Negara harus memastikan bahwa rakyatnya tetap punya tempat pulang—secara fisik dan batin.
Negara juga harus memahami bahwa mudik tidak netral. Ia adalah gejala politik dari pembangunan yang tidak merata.
Ia menandakan bahwa puluhan tahun kebijakan ekonomi kita telah menyuburkan pertumbuhan di kota-kota besar sambil melupakan daerah.
Jika Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan tumbuh, maka daerah-daerah pengirim tenaga kerja tetap stagnan.
Padahal, negara berjanji membangun dari pinggiran. Tapi dalam realitasnya, pinggiran masih terus bergantung pada kiriman uang dari perantau.
Dana desa memang meningkat, tapi pengelolaan sering kali tersandera birokrasi dan elite lokal. Kesejahteraan di desa masih bersifat simbolik, belum sistemik.
Apakah mudik bisa dikurangi? Tidak. Selama ketimpangan belum diatasi, mudik akan tetap menjadi momen pelarian sekaligus perlawanan.
Pelarian dari kerasnya kota, perlawanan atas ketidakadilan pembangunan. Rakyat pulang bukan karena negara memanggil, tapi karena kenangan dan kasih sayang yang menuntun.
Tugas negara bukan mencegah mudik, tapi membangun kondisi di mana orang tak harus pergi dari rumah untuk hidup layak. Di situlah ukuran keberhasilan pembangunan: ketika orang bisa tinggal di kampung dan tetap hidup sejahtera.
Mudik tidak bisa dilihat sebagai beban, tapi harus dimaknai sebagai cermin kebijakan. Jika negara ingin mudik menjadi ringan dan bermakna, maka negara harus memulai dengan memperbaiki akar persoalan. Mulai dari infrastruktur desa, layanan dasar, konektivitas digital, hingga akses permodalan.
Negara harus membalik orientasi: bukan lagi membangun kota agar menyerap desa, tetapi membangun desa agar tak harus tergantung pada kota. Itulah keadilan spasial. Itulah semangat desentralisasi yang sejati.
Akhirnya, mudik bukan soal peristiwa tahunan, tapi soal keberpihakan. Apakah negara berpihak pada kenyamanan elite, atau pada keadilan sosial? Apakah negara hanya mengatur keramaian, atau menyentuh kerinduan yang lebih dalam?
Di tengah gegap gempita mudik, negara harus menunduk dan bertanya: sudahkah aku benar-benar hadir? Bukan hanya di jalan tol dan posko, tapi di dapur rakyat, di ladang-ladang sepi, di sekolah yang nyaris roboh, di klinik yang kekurangan tenaga.
Karena tanggung jawab negara tidak hanya hadir di momen seremonial. Ia hadir dalam keberanian merombak ketimpangan. Ia hadir dalam komitmen melayani mereka yang jauh dari panggung kekuasaan.
Mudik adalah pulang. Tapi negara, jangan hanya menunggu rakyat kembali. Jadilah rumah yang tak pernah pergi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Mudik dan Tanggung Jawab Negara News 31 Maret 2025
/data/photo/2025/10/05/68e23b03bc0d0.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5179144/original/019953700_1743496940-WhatsApp_Image_2025-03-31_at_4.13.26_PM.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/03/25/67e2bc1e6c338.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/06/69342da64f7be.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2023/06/30/649e60ba08ed5.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69341f9033588.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/09/6896da5e4748b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)