Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mpe Goyong, Maestro Tehyan Terakhir yang Setia Bertahan di Sudut Kota Tangerang Megapolitan 19 Desember 2025

Mpe Goyong, Maestro Tehyan Terakhir yang Setia Bertahan di Sudut Kota Tangerang
Tim Redaksi

TANGERANG, KOMPAS.com
— Di salah satu sudut Kota Tangerang, tepatnya di kawasan Sewan Kongsi, Neglasari, sebuah rumah sederhana menjadi saksi ketekunan seorang maestro
musik tradisional
dalam merawat warisan budaya yang kian tergerus zaman.
Dari tempat inilah, suara
tehyan
—alat musik gesek khas Betawi—terus dijaga agar tidak lenyap ditelan modernitas.
Rumah itu tampak bersahaja. Dari luar, papan nama yang mulai kusam bertuliskan
Industri Kecil Tehyan Mpe Goyong
menambah kesan tenang, nyaris hening.
Atap seng bertumpu pada rangka besi yang warnanya memudar dimakan usia. Tak ada kesan museum megah—yang ada justru rumah pribadi, tempat tradisi dirawat secara perlahan dan setia.
Di halaman rumah, karung-karung putih bertumpuk tak beraturan, berisi barang-barang bekas hasil memulung di sekitar lingkungan.
Di sanalah seorang lelaki tua duduk bersila, membungkuk penuh konsentrasi. Jemarinya bergerak pelan, meraut dan membentuk potongan kayu.
Lelaki itu adalah Mpe Goyong, seniman yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada seni tehyan dan menjadikannya sebagai jalan pengabdian terhadap tradisi Betawi.
Tak tergesa, tak banyak suara—hanya gesekan alat dan serpihan kayu yang jatuh satu per satu. Di sekitarnya, alat-alat sederhana diletakkan seadanya, seolah setiap benda telah hafal posisinya masing-masing.
Mpe Goyong menyambut ramah saat
Kompas.com
bertandang ke rumahnya.
Lahir dengan nama Oen Sin Yang pada 74 tahun silam, ia merupakan seniman keturunan Tionghoa yang kini dikenal sebagai satu-satunya figur yang masih aktif memainkan sekaligus membuat tehyan.
Dengan kemeja lusuh dan celana pendek sederhana, Goyong menjelaskan bahwa tehyan merupakan alat musik tradisional khas Betawi.
Instrumen ini lazim dimainkan oleh keturunan Tionghoa dalam berbagai perhelatan
budaya Betawi
, seperti
gambang kromong
dan pertunjukan ondel-ondel.
Gambang kromong sendiri dikenal sebagai hasil pertemuan budaya Tionghoa dan Betawi yang menyatu secara harmonis, serta telah tumbuh dan berkembang sejak abad ke-18.
Tehyan dibuat dari bahan kayu dengan tabung resonansi yang memanfaatkan batok kelapa, dan dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur.
Kecintaan Mpe Goyong terhadap tehyan tidak datang secara tiba-tiba. Musik telah mengalir dalam hidupnya sejak kecil, diwariskan langsung dari orang tuanya yang lekat dengan kesenian Betawi.
Sang ayah, Oen Oen Hoek, merupakan maestro gambang kromong yang cukup disegani pada masanya.
Sejak usia belia, Goyong kerap menyaksikan sang ayah memainkan musik, hingga akhirnya terdorong untuk mencoba sendiri dan perlahan menguasainya.
“Turun-temurun dulu orang tua punya gamang Kromong, dia untuk digunakannya bersamaan dengan ondel-ondel,” kata Goyong.
Meski tumbuh di lingkungan seniman, Goyong mengaku tidak langsung percaya diri tampil di depan umum. Ia justru dikenal sebagai anak yang pemalu dan enggan menjadi pusat perhatian.
“Dulu (saya) pemalu, hanya mau tampil kalau ada anak buah orangtua yang sakit, tapi jadi kebiasaan tampil sampai sekarang,” ujar dia.
Keadaan memaksanya menggantikan peran orang-orang terdekat yang tak bisa tampil. Dari keterpaksaan itulah, keberanian perlahan tumbuh. Panggung yang awalnya dihindari justru menjadi ruang pengabdian seumur hidup.
Kepiawaian Mpe Goyong di dunia musik tradisional telah mendapat pengakuan luas. Beragam piagam dan tanda jasa terpajang di dinding rumahnya sebagai bukti apresiasi atas dedikasinya.
Penghargaan terbaru diraihnya pada 2023, ketika Mpe Goyong menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori Maestro Seni dan Tradisi.
“Bukan saya sombong, tapi penghargaan saya banyak, saya pajang semua di tembok, lihat aja,” kata dia.
Selain itu, kiprahnya juga sempat menembus layar lebar. Ia pernah tampil dalam film
Simphony
bersama sejumlah artis asal Tiongkok.
Tak hanya mahir memainkan tehyan, Goyong juga memiliki keahlian meracik dan membuat alat musik tersebut. Hasil karyanya diminati banyak orang dan dihargai mulai sekitar Rp 400.000 per unit.
Keberadaan Mpe Goyong perlahan memberi identitas baru bagi lingkungan tempat tinggalnya. Kampung yang semula bernama Lebak Sari kini dikenal sebagai Kampung Tehyan.
“Jadi, ini namanya kampung Tehian karena ada saya pemainnya makanya dijadikan kampung Tehian baru dua tahun lalu,” kata dia.
Penamaan itu menjadi pengakuan simbolik atas peran Goyong dalam menjaga denyut kebudayaan di wilayah tersebut.
Melestarikan tehyan di tengah perubahan zaman bukan perkara mudah. Goyong menyadari betul tantangan yang dihadapi, terutama minimnya minat generasi muda. Namun, ia juga melihat secercah harapan.
“Ada juga yang beli anak muda buat belajar, zaman sekarang bisa pakai note balok, kalau saya mah jaman dulu otodidak,” katanya.
Perbedaan generasi membawa cara belajar yang berbeda. Jika dulu semua dilakukan lewat pengamatan dan pendengaran, kini musik bisa dipelajari melalui notasi.
Meski begitu, esensi tehyan tetap sama: rasa dan ketekunan.
Budayawan BetawiYahya Andi Saputra menekankan pentingnya menjaga tehyan sekaligus para maestro yang masih setia melestarikannya.
Menurut Yahya, keberadaan seniman seperti Mpe Goyong bukan hanya soal keahlian memainkan musik, tetapi juga tentang mempertahankan sejarah dan identitas budaya Betawi.
“Sejauh ini Tehyan sendiri masih terjaga dan kondisinya tidak menghawatirkan,” ujar Yahya saat dihubungi, Kamis (18/12/2025).
Ia menegaskan, tehyan merupakan bagian penting dari gambang kromong, sehingga setiap pertunjukan wajib melibatkannya.
“Karena tehyan kan salah satu alat musik dalam seni musik gambang kromong. Jadi tiap gambang kromong dimainkan, tehyan wajib diikutkan,” ujar dia.
Yahya juga mencatat adanya minat dari generasi muda terhadap tehyan dan gambang kromong, meski masih terbatas.
“Sekilas lintas saya bahwa generasi muda masih punya ketertarikan untuk tahu tehyan. Contohnya banyak generasi muda meminati kesenian gambang kromong, bahkan ada SMK yang khusus punya jurusan seni musik,” kata dia.
Namun, tantangan tetap ada. Minimnya kesempatan pentas membuat regenerasi musik tradisional menjadi sulit.
“Makin jarangnya seni musik gambang ditanggap (diminta untuk pentas), mungkin dapat dikatakan tantangannya. Semakin sering tampil, menjadi jaminan dalam regenerasi,” kata dia.
Di sisi lain, Yahya menekankan pentingnya penghargaan dan dukungan bagi seniman seperti Mpe Goyong.
“Seniman seperti Mpe Goyong dan sejenisnya harus dirawat, diapresiasi, dan dijaga kebutuhannya,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.