Dari headphone lalu tour guide bercerita tentang filosofi Jembatan Semanggi. Dibangun pada 1961–1962 atas usulan Ir. Soetami dan disetujui Presiden Soekarno, jembatan ini dirancang menyerupai daun semanggi. Bentuknya melambangkan persatuan suku-suku bangsa di Indonesia. Bahkan, motif daun semanggi itu digambarkan di dinding-dinding jembatan, detail yang sering luput dari pandangan saat kita melintas terburu-buru.
Di sepanjang Sudirman, gedung-gedung tinggi berdiri seperti etalase ambisi kota. Ada Two Sudirman yang masih dibangun di kawasan Benhil, kelak menjadi gedung tertinggi kedua di Indonesia dengan tinggi 331 meter. Namanya bukan karena menara kembar, melainkan karena lokasinya di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 2. Ada Menara Astra, dengan siluet pendirinya, William Soeryadjaya, yang bisa dilihat di kaca-kaca gedung menghadap jalan. Ada pula Autograph Tower di kawasan Thamrin Nine, gedung tertinggi di Indonesia dan belahan selatan khatulistiwa, setinggi sekitar 385 meter, dengan fasilitas ayunan tertinggi dan lantai kaca yang langsung menghadap Jalan Sudirman.
Yang paling membekas bagiku adalah saat bus melaju pelan di dekat Patung Jenderal Sudirman. Jaraknya tak sampai satu meter. Dari atas bus, aku bisa mengamati detail wajah dan seragamnya dengan jelas. Sebuah pengalaman yang tak mungkin kudapat dari trotoar atau balik kaca mobil.
Di telinga, suara pemandu mengalir pelan, bercerita bahwa tongkat yang digenggam Sudirman bukan sekadar simbol kepemimpinan, melainkan penopang tubuhnya yang rapuh karena sakit. Ia memimpin perang dalam kondisi paru-paru yang terus melemah, dan wafat di usia yang sangat muda, bukan karena kalah di medan tempur, melainkan karena tubuhnya yang tak lagi sanggup menanggung perjuangan panjang.
Cerita itu berlanjut pada fakta yang membuat kami saling pandang. Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI, saat usianya baru 24 tahun. Tour guide lalu melempar candaan, “Sekarang kita di usia 24 tahun sudah jadi apa?” Tawa pun pecah di atas bus.
Peserta malam itu semakin ramai. Aku bertemu rombongan dari Banyuwangi, Malang, Pekanbaru, Surabaya, hingga Palembang. Biasanya turis asing, terutama dari Malaysia juga sering ikut. Empat puluh lima menit berlalu tanpa terasa. Bus kembali ke Ratu Plaza menandakan berakhirnya tur malam itu.
Untuk ikut Open Top Tour of Jakarta, tiket harus dipesan lewat aplikasi TJ:Transjakarta atau Tije mulai H-7 keberangkatan. Jumlahnya terbatas, hanya sekitar 30 tiket per trip, dan dibuka tengah malam, siap-siap war tiket. Saat ini tarif tiketnya Rp50 ribu dalam masa uji coba, masih terasa ramah di kantong untuk pengalaman yang mengesankan. Sementara untuk wisatawan asing, tersedia opsi on the spot dengan harga lebih tinggi.

/data/photo/2025/09/22/68d10906d7636.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693e00769bd3a.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2022/12/23/63a5824c08a99.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693b71a8b93dd.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)





