Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Menjelajah PLTS Terapung Cirata, Raksasa Energi Surya Senyap di Atas Waduk Megapolitan 18 Desember 2025

Menjelajah PLTS Terapung Cirata, Raksasa Energi Surya Senyap di Atas Waduk
Tim Redaksi

PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Di bawah terik matahari
Waduk Cirata
, Purwakarta, Jawa Barat, hamparan panel surya terapung membentang sejauh mata memandang.
Tanpa suara mesin dan asap cerobong, energi listrik diproduksi secara senyap dari sinar matahari yang dipantulkan permukaan air.
Dari atas perahu motor yang membelah waduk, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata tampak seperti pulau-pulau buatan yang tersusun rapi.
Total terdapat 13 pulau panel surya yang mengapung di atas permukaan air, terdiri dari sekitar 343.000 modul panel berukuran kurang lebih 2,5 meter persegi. Hamparan tersebut membentang hingga lebih dari dua kilometer.
Kompas.com
berkesempatan melihat langsung instalasi PLTS Cirata dari dekat menggunakan
speedboat
, tepatnya di array nomor tiga dan empat.
Modul-modul panel surya itu diletakkan di atas alat pengapung (
floater
) yang terikat dengan jangkar seberat enam ton di dasar waduk.
PLTS Terapung
Cirata tercatat sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kelima di dunia.
Berdiri di atas area seluas sekitar 200 hektar, proyek ini merupakan hasil kolaborasi PLN Nusantara Power dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar.
Outreach and Stakeholder Manager PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi (PMSE), Respati Adi Katmoyo, menjelaskan pemilihan Waduk Cirata bukan tanpa pertimbangan matang.
Menurut dia, pembangunan pembangkit listrik di atas air meminimalkan persoalan klasik pembangunan infrastruktur, terutama terkait pembebasan lahan.
“Kenapa memilih PLTS Terapung Cirata? Pertama, akuisisi lahan sangat mudah. Kita tidak perlu melakukan pembebasan lahan, kita menggunakan lahan waduk yang relatif sangat kosong,” ujar Respati di Kantor PLTS Cirata, Jawa Barat, Rabu (17/12/2025).
“Kami menggunakan kurang lebih sekitar 200 hektar. Kalau itu dibangun di daratan, kita harus pembebasan dan menebang banyak sekali pohon kan,” sambungnya.
Respati menyebut stigma energi baru terbarukan (EBT) sebagai energi mahal mulai terpatahkan lewat PLTS Cirata. Ia mengklaim listrik dari pembangkit ini dijual dengan harga Power Purchase Agreement (PPA) sebesar 5,88 sen dollar AS per kWh.
“Jadi harganya ini sangat kompetitif. Ini sangat sudah sangat mendekati batubara,” kata Respati.
Ia menjelaskan, penurunan harga tersebut didorong oleh tren global harga komponen panel surya yang turun drastis dalam beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya efisiensi teknologi.
“Kalau dulu modul panel itu harganya bisa Rp 7 jutaan. Sekarang bisa cuma Rp 1 jutaan, dan itu nilai efisiensinya naik,” ujarnya.
PLTS Cirata memiliki kapasitas terpasang 192 megawatt peak (MWp) atau 145 megawatt AC (MWac), dengan pasokan listrik langsung disalurkan ke sistem Jawa-Bali.
“Dari yang kami kirim ke PLN, ternyata mampu melistriki kurang lebih sekitar 50.000 rumah tangga,” jelas Respati.
Secara teknis, penempatan panel surya di atas permukaan air memberikan keuntungan ganda. Di satu sisi, panel mengurangi laju evaporasi air waduk, sehingga debit air tetap terjaga.
Hal ini krusial mengingat Waduk Cirata juga menjadi sumber utama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang telah beroperasi sejak 1980-an.
“Jadi dengan ditahannya evaporasi, debit air ini terjaga, tidak mudah berkurang dan PLTA bisa tetap berjalan,” ujar Respati.
Di sisi lain, uap air dari waduk memberikan efek pendinginan alami bagi panel surya. Panel surya memiliki batas toleransi panas, di mana performanya akan menurun jika suhu modul melebihi 60 derajat Celsius.
“Dengan adanya uap air yang ditahan (oleh panel) saat evaporasi, itu ternyata mampu mendinginkan PLTS juga. Dia jadi
cooler
alami. Jadi ada sisi positif untuk PLTS itu sendiri, sebuah win-win lah buat kita,” paparnya.
Selain itu, PLTS Cirata menggunakan teknologi panel bifacial. Panel jenis ini menyerap sinar matahari langsung dari atas, sekaligus memanfaatkan pantulan cahaya dari permukaan air di bagian bawah untuk meningkatkan produksi energi.
Meski berteknologi tinggi, operasional PLTS Cirata tidak lepas dari tantangan. Produksi listrik sangat bergantung pada kondisi cuaca.
“Kenyataannya PLTS itu
intermitten
, naik turun. Ekstremnya, ketika seharusnya peak, sekitar jam 12 siang, harusnya itu titik puncak, tapi karena mendung jadinya malah produksi kita turun jauh,” jelas Respati.
PLTS Cirata saat ini belum dilengkapi
Battery Energy Storage System
(BESS) atau baterai penyimpan energi. Akibatnya, saat cuaca mendung atau hujan, produksi listrik bisa turun drastis.
“Kalau memang sedang intermittent, fluktuasinya sedang turun karena cuaca, ini bisa hanya sekitar 20 persen dari total kapasitas yang diproduksi,” ujarnya.
Tantangan lain datang dari fauna lokal. Warga setempat menyebutnya “songkeat”, atau secara ilmiah dikenal sebagai
rock boring insect.
Serangga ini kerap melubangi floater untuk berlindung dari ikan.
“Hewan itu sebenarnya bukan memakan
floater
, tapi dia ‘ngerong’ (melubangi) untuk bersembunyi dari ikan, takut dimakan. Jadi dia bolongin floater ini,” tutur Respati.
Fenomena tersebut kini tengah diteliti bersama sejumlah perguruan tinggi untuk mencari solusi perawatan floater agar kerusakan dapat diminimalkan.
Alih-alih mengandalkan robot, pengelola PLTS Cirata memilih memberdayakan masyarakat lokal untuk pekerjaan perawatan, seperti membersihkan panel dari debu dan kotoran burung sekaligus memantau kerusakan.
“Sebenarnya banyak yang menawarkan menggunakan robot, jauh lebih murah. Tetapi kami putuskan daripada menggunakan robot, lebih baik kita meng-hire masyarakat lokal,” tegas Respati.
Saat ini, sekitar 100 warga lokal terlibat dalam operasional harian PLTS Cirata. Sebanyak 61 di antaranya merupakan nelayan yang telah dilatih dan memperoleh sertifikasi kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Alhamdulillah
mereka bukan dapat training saja, tetapi mendapatkan sertifikasi. Dan ini beberapa sudah melanglang buana. Yang tadinya cuma nelayan, sekarang bekerja di PLTS-PLTS,” ujarnya.
Respati menyebut PLTS Terapung Cirata baru menjadi langkah awal pengembangan energi surya di Indonesia. Data Kementerian PUPR mencatat terdapat sekitar 192 waduk di Indonesia yang berpotensi dikembangkan menjadi PLTS terapung.
“Apabila kita kembangkan sesuai regulasi, waduk-waduk itu hanya 20 persen saja (dari luas waduk), itu bisa menambah bauran energi renewable hingga 17 gigawatt,” katanya.
Di Cirata sendiri, pemanfaatan area waduk saat ini baru sekitar empat persen. Jika diperluas hingga 20 persen, potensi tambahan kapasitas bisa mencapai 550 megawatt, sehingga total kapasitas mendekati 700 megawatt, hampir menyamai kapasitas PLTA Cirata sebesar 1.008 MW.
Namun, Respati menegaskan pengembangan lanjutan harus dibarengi penggunaan teknologi baterai.
“Ke depan PLN sudah mewanti-wanti, diminta untuk next pengembangan PLTS wajib menggunakan BESS (Battery Energy Storage System),” ujarnya.
Ia optimistis, seiring semakin terjangkaunya teknologi baterai, pemanfaatan BESS akan menjadi solusi utama mengatasi fluktuasi produksi akibat cuaca.
“Jadi memang, nanti masa depan PLTS ini akan memaksimalkan pemanfaatan baterai, supaya kita bisa mengatasi permasalahan naik turun yang ada selama ini,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.