Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Menjadi Korban Bisnis Perusahaan Leasing, Ini Pengakuan Seorang Mata Elang Megapolitan 23 Desember 2025

Menjadi Korban Bisnis Perusahaan Leasing, Ini Pengakuan Seorang Mata Elang
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com
– Menjalani pekerjaan sebagai
debt collector
atau yang dikenal sebagai
mata elang
(matel) bukan perkara mudah.
Pekerjaan ini dinilai sarat risiko, mulai dari konflik di lapangan hingga ancaman kekerasan saat menagih tunggakan kredit kendaraan milik nasabah
leasing
.
Keributan kerap terjadi ketika mata elang menjalankan tugas penagihan. Tak jarang, situasi berujung baku hantam hingga pengeroyokan oleh warga sekitar. Risiko tersebut menjadi bagian dari keseharian para mata elang di lapangan.
Seperti dialami Alex (35, bukan nama sebenarnya), pria asal Indonesia Timur yang telah 16 tahun menekuni pekerjaan sebagai mata elang. Ia mengaku memilih pekerjaan ini karena sulit mendapatkan pekerjaan lain, meski telah berupaya keras mencarinya.
“Kami juga mencari pekerjaan dari sana ke sini enggak ada, akhirnya mau tidak mau kita harus di sini (sebagai mata elang),” tutur Alex ketika diwawancarai Kompas.com, Senin (22/12/2025).
Untuk menjadi mata elang, Alex mengatakan seseorang tidak bisa serta-merta turun ke lapangan. Ia harus mengikuti Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI) yang diterbitkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Dalam proses sertifikasi tersebut, calon mata elang wajib menjalani tes daring yang ketat untuk menguji pemahaman terkait prosedur penagihan utang yang sesuai aturan.
Materi ujian mencakup tata cara penagihan, mulai dari menyapa debitur saat menghentikan kendaraan di jalan, berinteraksi secara sopan, menyampaikan tujuan penagihan, hingga menjaga perilaku selama berhadapan dengan nasabah.
Sertifikat profesi atau SPPI inilah yang menjadi modal utama agar mata elang dapat direkrut oleh perusahaan debt collector berbadan hukum yang bekerja sama dengan berbagai leasing.
Tanpa SPPI, perusahaan tersebut tidak dapat merekomendasikan mata elang untuk bekerja secara
freelance
di bawah naungan
leasing
.
Keberadaan sertifikasi ini bertujuan memberi jaminan kepada pihak leasing bahwa mata elang yang dipekerjakan akan menjalankan tugas sesuai standar operasional prosedur (SOP), yakni bersikap sopan, tidak arogan, dan tidak menggunakan kekerasan.
Dengan dasar itu, mata elang yang legal dan memiliki SPPI dituntut bekerja lebih hati-hati agar tidak memicu keributan saat melakukan penagihan.
Namun, menurut Alex, konflik di lapangan kerap bukan dipicu oleh debitur, melainkan pihak lain yang ikut campur dan memprovokasi situasi.
“Tapi, yang sering terjadi menimbulkan keributan itu, biasanya bukan karena kami bertengkar sama debitur, tapi ada pihak lain yang ikut campur di situ atau kompor-komporin nasabah tersebut,” ujar Alex.
Provokator inilah yang kerap membuat suasana memanas dan mengundang kerumunan warga.
Tak jarang, mata elang justru menjadi sasaran amukan massa karena dianggap hendak merampas kendaraan milik debitur. Dalam kondisi terpojok, sebagian mata elang merasa tidak memiliki pilihan lain.
“Sering terjadi kami dikerumuni dan enggak ada pilihan lain lagi, selain melawan karena kalau tidak melawan kami bisa diteriaki maling atau disikat habis,” ucap dia.
Alex menilai, banyak oknum yang mengatasnamakan mata elang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pencurian kendaraan bermotor. Hal itu berdampak pada stigma negatif yang melekat pada mata elang resmi saat menjalankan tugas di lapangan.
Akibatnya, tidak sedikit warga yang langsung menghakimi debt collector ketika terjadi perselisihan di jalan.
Saat mata elang terlibat benturan dengan debitur atau warga dan berujung berurusan dengan polisi, mereka kerap harus menanggung konsekuensinya sendiri.
Menurut Alex, pihak
leasing
sering kali enggan ikut campur ketika mata elang ditahan polisi akibat keributan di lapangan.
“Kalau sejauh ini tergantung
leasing
-nya, beberapa
leasing
memang jarang sekali ikut turun. Biasanya, kalau pihak leasing ikut turun ada komunikasi bagus dan kepercayaan atau sudah saling kenal dan punya kedekatan dengan mata elangnya,” ungkap Alex.
Jika tidak memiliki kedekatan dengan pihak
leasing
, mata elang kerap tidak mendapatkan bantuan hukum.
Di sisi lain, perusahaan
leasing
atau perusahaan debt collector masih bisa memberikan pembelaan jika mata elang tidak terbukti melakukan tindak pidana, misalnya dengan memberikan jaminan agar yang bersangkutan dibebaskan, meski peluangnya kecil.
“Tapi, kalau ada unsur pidana di situ, ya, berarti proses hukum. Karena kan pihak
leasing
dan PT sudah punya SOP yang harus dijalankan tanpa melakukan kekerasan,” tutur Alex.
Kriminolog Haniva Hasna menilai, mata elang kerap menjadi korban dari sistem bisnis pembiayaan yang dijalankan perusahaan leasing.
“Dalam kacamata kriminologi iya (menjadi korban). Dalam batas tertentu mereka juga korban sistem,” ungkap Haniva.
Ia menjelaskan, mata elang bekerja di bawah tekanan target, upah yang relatif kecil, serta ancaman dari atasan. Dalam situasi tersebut, kekerasan kerap dijadikan alat kerja.
Meski demikian, Haniva menegaskan, posisi sebagai korban sistem tidak menghapus tanggung jawab pidana.
“Tapi penting digarisbawahi adalah, menjadi korban sistem tidak menghapus tanggungjawab pidana,” ungkap dia.
Menurut Haniva, persoalan utama praktik mata elang bukan terletak pada individu di lapangan, melainkan pada struktur perusahaan pembiayaan.
Namun, penegakan hukum selama ini lebih sering menyasar para eksekutor kecil tanpa menyentuh perusahaan leasing yang memanfaatkan jasanya.
Padahal, sanksi terhadap korporasi dinilai jauh lebih efektif untuk memutus praktik kekerasan.
“Sanksi struktural pada korporasi jauh lebih efektif. Eksekutor lapangan, mudah diganti dan tidak punya daya tawar,” jelas Haniva.
Perusahaan
leasing
, kata dia, memiliki kendali sistem, kepentingan ekonomi, dan seharusnya mampu mencegah praktik penagihan dengan kekerasan.
Sanksi yang dapat dijatuhkan antara lain pencabutan izin usaha, denda besar, serta sanksi administratif berat.
“Fenomena mata elang bukan sekadar kriminal jalanan, melainkan cerminan kegagalan struktural dalam pengawasan korporasi. Selama yang dihukum hanya pelaku lapangan, praktik ini akan terus hidup,” ucap dia.
Jika praktik penagihan dengan kekerasan terus dibiarkan, Haniva menilai dampak sosial jangka panjangnya akan sangat serius.
Dampak tersebut meliputi erosi kepercayaan terhadap hukum, normalisasi kekerasan sebagai alat penyelesaian konflik, serta meningkatnya potensi main hakim sendiri di masyarakat.
“Masyarakat belajar bahwa, ‘Yang kuat akan menang, yang lemah harus mengalah’,” jelas Haniva.
Kondisi ini dinilai berbahaya bagi tatanan hukum dalam jangka panjang. Karena itu, pemerintah didorong untuk turun tangan secara serius, tidak sekadar menindak mata elang di lapangan.
Pembenahan sistem dinilai perlu dilakukan dengan menertibkan dan mengawasi perusahaan leasing secara ketat, melarang penggunaan
debt collector
informal, serta menjatuhkan sanksi administratif berat hingga pencabutan izin usaha.
Selain itu, pemerintah diminta memastikan penagihan utang dilakukan melalui mekanisme hukum resmi agar tidak lagi memicu kekerasan di ruang publik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.