Menelusuri Praktik Pembayaran di Gerai Roti O, Hanya Bisa Non-tunai?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gerai Roti O kini tengah menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi usai beredar video yang menyebutkan bahwa transaksi seorang nenek ditolak salah satu gerai Roti O karena membayar menggunakan uang tunai.
Peristiwa tersebut memunculkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah gerai
Roti O
masih menyediakan opsi
pembayaran tunai
atau telah sepenuhnya beralih ke sistem non-tunai.
Untuk memastikan hal tersebut,
Kompas.com
melakukan penelusuran langsung terkait penerapan metode pembayaran di lapangan.
Penelusuran dilakukan di tiga gerai Roti O yang berada di kawasan stasiun, yakni Stasiun Bojonggede, Stasiun Pondok Cina, dan Stasiun Pasar Minggu.
Sepanjang penelusuran,
Kompas.com
mencoba bertransaksi secara langsung menggunakan uang tunai di tengah klaim bahwa pembayaran di sejumlah gerai Roti O hanya dapat dilakukan secara non-tunai.
Pasalnya, bagi sebagian orang, metode pembayaran berupa QRIS, kartu debit, atau dompet digital telah menjadi bagian dari keseharian. Namun, bagi sebagian lainnya, uang tunai masih menjadi alat transaksi paling sederhana dan dapat diandalkan.
Penelusuran
Kompas.com
dimulai dari gerai Roti O yang berada di Stasiun Bojonggede. Gerai ini secara kasat mata tidak menampilkan informasi mencolok soal metode pembayaran.
Untuk menguji penerapannya,
Kompas.com
mencoba membeli menu Roti O Coffee Bund seharga Rp 14.000 menggunakan uang tunai.
Salah seorang staf yang melayani sigap menjawab sambil menjelaskan mekanisme pembayaran yang berlaku di gerai tersebut.
Ia menyebut pembayaran tunai masih memungkinkan dalam kondisi tertentu, terutama jika pelanggan tidak memiliki akses ke metode non-tunai.
”
Cash
bisa kak asal uangnya pas, bisa dibayar ke aku ya,” kata staf tersebut.
Kompas.com kemudian menyerahkan uang pecahan Rp 20.000 disertai penjelasan bahwa tidak memiliki uang pas maupun akses ke QRIS. Bahkan,
Kompas.com
menawarkan agar uang kembalian tidak perlu diberikan.
Namun, tawaran tersebut ditolak oleh staf yang berjaga. Ia tetap menerima uang tunai dan terlebih dahulu memeriksa laci kasir untuk memastikan ketersediaan uang kembalian.
Setelah memastikan uang kembalian tersedia, transaksi diproses dan
Kompas.com
menerima kembalian sebesar Rp 6.000.
“Kita selalu melayani pelanggan kak, kalau tidak ada QRIS, dapat melalui uang tunai,” ujar staf tersebut.
Dari pengalaman tersebut, terlihat bahwa pembayaran tunai di gerai Roti O Stasiun Bojonggede masih memungkinkan meski dengan syarat tertentu.
Ketersediaan uang kembalian tidak selalu ada, sehingga pelanggan diharapkan membawa uang pas jika memilih metode pembayaran tunai.
Pendekatan yang sedikit berbeda ditemui di gerai Roti O Stasiun Pondok Cina. Saat ditanya mengenai kemungkinan pembayaran tunai, staf langsung menyampaikan kebijakan yang berlaku.
“Kita hanya menerima pembayaran QRIS atau debit Kak, untuk
cash
tidak bisa,” kata dia.
Meski demikian, terdapat alternatif personal yang disampaikan staf tersebut.
“Kalau mau pembayaran
cash
bisa, tetapi harus uang pas, nanti kakak bayar ke aku,” tambahnya.
Saat ditanya apakah ada pelanggan yang akhirnya batal membeli karena tidak bisa melakukan pembayaran non-tunai, ia mengaku hal itu jarang terjadi.
“Engga sih kak, kalau tidak bisa QRIS, pelanggan entah minta tolong teman atau lewat uang tunai,” ungkap dia.
Sementara itu, di gerai Roti O Stasiun Pasar Minggu, kebijakan non-tunai diterapkan lebih kaku. Tidak ada opsi pembayaran tunai yang ditawarkan, termasuk dengan uang pas.
“Tidak bisa (tunai), sesuai SOP (Stabdar Operasional Prosedur) Kak. Hanya menerima pembayaran
cashless
, melalui QRIS ataupun debit,” kata dia.
Ia kembali menegaskan bahwa kebijakan yang berlaku di gerai tersebut merupakan bagian dari SOP yang harus dipatuhi seluruh staf.
“Untuk tunai belum bisa ya Kak,” imbuh dia.
Manajemen ritel Roti O telah memberikan keterangan terkait kebijakan pembayaran non-tunai yang diterapkan di sejumlah gerainya.
Pihak manajemen menjelaskan bahwa kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi pilihan pembayaran pelanggan, melainkan sebagai bagian dari strategi layanan yang terintegrasi dengan sistem promosi.
Menurut manajemen, transaksi melalui aplikasi dan metode non-tunai dirancang untuk memberikan kemudahan sekaligus keuntungan tambahan bagi konsumen.
“Penggunaan aplikasi dan transaksi non-tunai di
outlet
kami bertujuan untuk memberikan kemudahan serta memberikan berbagai promo dan potongan harga bagi pelanggan setia kami,” kata manajemen Roti O melalui akun Instagram resminya,” Minggu (21/12/2025).
Selain itu, manajemen Roti O menyatakan telah melakukan evaluasi internal menyusul polemik yang muncul di salah satu gerai mereka.
Evaluasi tersebut dilakukan untuk memastikan pelayanan kepada pelanggan ke depan dapat berjalan lebih baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman serupa.
“Kami mohon maaf atas kejadian yang beredar dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan,” ujar manajemen Roti O.
Untuk meminta tanggapan lebih lanjut,
Kompas.com
telah mencoba menghubungi manajemen Roti O melalui layanan
call center
, namun hingga kini belum mendapat respons.
Penelusuran
Kompas.com
berlanjut ke gerai makanan lain di luar kawasan transportasi publik untuk mencari tahu apakah pola serupa juga diterapkan.
Hasilnya menunjukkan bahwa praktik
cashless only
tidak hanya terjadi di gerai Roti O.
Di salah satu gerai toko kopi, staf sejak awal langsung mengarahkan transaksi ke metode non-tunai.
“Untuk pembayarannya mau menggunakan QRIS atau Debit kak?” tanya salah seorang staf.
Saat
Kompas.com
menyampaikan bahwa transaksi akan dilakukan menggunakan uang tunai dan menanyakan kemungkinan pengecualian, staf tersebut tetap menyampaikan kebijakan yang sama.
”
Cash
tidak bisa kak,” jawab dia.
Upaya menawarkan pembayaran dengan uang pas pun tidak mengubah kebijakan. Staf tersebut menyebut adanya kekhawatiran terkait saldo.
“Enggak bisa Kak maaf. Saya nya juga takut enggak ada saldo,” kata dia.
Ia menjelaskan bahwa sistem pembayaran non-tunai di gerai tersebut sudah diterapkan sejak lama dan bukan merupakan kebijakan baru.
“Udah lama ya Kak
cashless only
,” ungkapnya.
“Iya, sudah lama, hanya QRIS dan debit,” imbuhnya.
Situasi serupa juga ditemui di gerai camilan di Stasiun MRT Lebak Bulus. Tanpa penjelasan panjang, salah seorang staf langsung menolak pembayaran tunai.
“Enggak bisa
cash
Kak, mohon maaf hanya
pembayaran non tunai
, terima kasih,” katanya.
Praktik pembayaran non-tunai yang ditemui
Kompas.com
di sejumlah gerai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
cashless only
kian menjadi norma baru di ruang publik, baik di kawasan transportasi maupun di luar area tersebut.
Bagi konsumen yang terbiasa menggunakan QRIS atau kartu debit, sistem ini dinilai efisien dan praktis. Namun, di sisi lain, terdapat kelompok masyarakat yang justru menghadapi kesulitan.
Kelompok lanjut usia menjadi pihak yang paling terdampak karena tidak terbiasa menggunakan teknologi pembayaran digital.
Pengalaman tersebut dialami Vina, seorang warga yang menceritakan kejadian saat orangtuanya berwisata tanpa pendamping.
Sejak awal, Vina sengaja tidak membekali orangtuanya dengan aplikasi pembayaran digital karena khawatir terjadi kesalahan penggunaan.
“Beberapa hari lalu orangtua saya pergi ke Taman Mini. Dari awal memang saya tidak mengizinkan menggunakan
mobile banking
atau aplikasi pembayaran digital karena beliau cukup pelupa dan khawatir salah pencet atau salah kirim,” kata Vina saat dihubungi, Selasa (24/12/2025).
Ia menceritakan, masalah muncul ketika seluruh transaksi di lokasi wisata tersebut hanya bisa dilakukan secara non-tunai.
Dalam kondisi tidak siap dan memahami sistem QRIS, orangtua Vina terpaksa meminta bantuan dari jarak jauh.
“Tidak lama kemudian, beliau mengirimkan barcode QRIS dan bilang kalau di lokasi tersebut tidak menerima pembayaran tunai sama sekali. Semua transaksi harus lewat QRIS,” kata Vina.
Bagi Vina, persoalan ini bukan soal menolak kemajuan teknologi. Ia menilai, sistem pembayaran seharusnya tetap memberikan ruang bagi kelompok yang belum siap beradaptasi, khususnya lansia.
“Menurut saya, sistem seperti ini perlu dibenahi. Bukan menolak teknologi, tapi seharusnya masih ada opsi pembayaran tunai,” kata dia.
Pengalaman serupa juga dialami Indah, warga lain, yang menceritakan bagaimana orangtuanya hampir membatalkan pembelian makanan di stasiun karena tidak memiliki akses ke pembayaran non-tunai.
Seperti banyak lansia lainnya, orangtua Indah masih mengandalkan uang tunai dalam aktivitas sehari-hari.
“Waktu itu orangtua saya mau jajan di salah satu gerai makanan di stasiun, cuma saya lupa apa ya, tapi yang jelas ternyata pembayarannya cuma bisa pakai QRIS,” ungkap dia.
Dalam ingatannya, kejadian itu terjadi beberapa minggu lalu, kala orangtuanya kebingungan saat hendak membayar pesanan.
“Pas mau bayar, kasirnya bilang enggak terima
cash
. Sedangkan Orangtua saya cuma bawa uang tunai dan enggak punya QRIS, akhirnya bingung,” kata dia.
Di tengah antrean, kata Indah, kondisi tersebut menempatkan orangtuanya pada posisi yang tidak nyaman.
Ada rasa sungkan karena memperlambat barisan, sekaligus kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa.
“Lebih ke bingung dan enggak enak. Karena kan biasanya ada antrian juga ya mas, orangtua saya juga mungkin merasa malu di belakang jadi nunggu. Kalau saya enggak cek wa, kemungkinan besar enggak jadi beli,” ujar dia.
Menurut Indah, kebiasaan orangtuanya menggunakan uang tunai bukan tanpa alasan. Selain faktor usia, keterbatasan pemahaman teknologi membuat pembayaran digital bukan pilihan yang mudah.
Dalam situasi tersebut, Indah akhirnya harus membantu dari jarak jauh agar transaksi tetap bisa dilakukan.
“Iya itu akhirnya saya diminta transfer dan dikirimin
barcode
QRIS dari gerainya. Jadi memang harus dibantu dari jauh,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Ida Ruwaida menilai QRIS merupakan bagian dari transformasi ekonomi digital yang memang memudahkan pelaku usaha dan konsumen, terutama di wilayah urban.
Meski demikian, ia menilai QRIS tidak semestinya dijadikan satu-satunya alat pembayaran.
“QRIS selayaknya tidak diberlakukan sebagai alat pembayaran tunggal, khususnya pada pelaku usaha mikro kecil, apalagi yang belum melek digital,” kata Ida saat dihubungi, Selasa.
Ia menekankan bahwa dalam setiap perkembangan teknologi selalu ada kesenjangan antara kelompok yang siap dan yang belum siap, termasuk kelompok lanjut usia.
Menurut dia, pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa ruang bagi pembayaran tunai tetap disediakan sebagai bentuk inklusivitas.
“Kelompok lanjut usia yang belum atau tidak terampil dengan perangkat digital tetap perlu difasilitasi,” ujarnya.
Ida menilai, kebijakan pembayaran non-tunai seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan kondisi sosial masyarakat, bukan sekadar mengikuti arus digitalisasi.
Opsi pembayaran yang beragam dinilai lebih adil agar tidak menciptakan kelompok yang tersisih dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.
Bank Indonesia (BI) menegaskan, penggunaan mata uang tunai sebagai alat transaksi pembayaran masih sangat penting di Indonesia.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan, BI memang mendorong masyarakat membayar secara nontunai karena faktor kecepatan, keamanan, kemudahan, mudah, dan handal. Penggunaan nontunai juga dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari uang palsu.
“Namun demikian, keragaman demografi dan tantangan geografis serta teknologi Indonesia maka uang tunai masih sangat diperlukan dan dipergunakan dalam transaksi di berbagai wilayah,” kata Denny saat dihubungi
Kompas.com
, Minggu (21/12/2025).
Dalam keterangannya, Denny juga menyinggung ketentuan mengenai larangan penolakan itu tertuang dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pasal ini disinggung warganet atau netizen yang mengkritik kebijakan Roti O hanya menyediakan transaksi nontunai.
Dalam Pasal itu setiap orang dilarang menolak menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Larangan dikecualikan jika terdapat pihak terkait merasa ragu dengan keaslian rupiah yang digunakan.
Denny mengatakan, penggunaan rupiah sebagai alat transaksi pembayaran bisa dilakukan secara tunai maupun nontunai, sesuai kesepakatan pihak terkait.
“Penggunaan rupiah untuk alat transaksi sistem pembayaran dapat menggunakan instrumen pembayaran tunai atau nontunai sesuai kenyamanan dan kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi,” ujar Denny.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menelusuri Praktik Pembayaran di Gerai Roti O, Hanya Bisa Non-tunai? Megapolitan 24 Desember 2025
/data/photo/2025/12/24/694b8e167e96b.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/10/24/68fb04ed9b592.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/07/31/688aa90eb819a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69495cb1d2439.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b85a38e684.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/24/694b7a2a42d7f.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)