Menelisik Prosesi Kremasi Hewan di Rainbow Bridge House Memorial
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com –
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesejahteraan hewan, praktik kremasi hewan peliharaan perlahan menjadi pilihan banyak pemilik.
Tidak sekadar pelepasan, bagi sebagian orang kremasi menjadi cara memuliakan kepergian sahabat berbulu yang setia menemani kehidupan mereka.
Di Rawakalong, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor,
Rainbow Bridge House
Memorial menjadi salah satu tempat yang menyediakan layanan tersebut dengan proses yang rapi, transparan, dan sangat personal.
Pendiri sekaligus pengelolanya,
Joan Pascaline
Majabubun, telah menjalankan layanan ini bertahun-tahun.
Berdiri sejak 3 Februari 2021, Rainbow Bridge House Memorial bukan hanya menyediakan jasa kremasi, tetapi juga mengiringi setiap pemilik melewati proses emosional ketika melepas hewan kesayangan mereka.
Bagi Joan, transparansi adalah hal yang tidak bisa ditawar. Semua dimulai dari pemilihan layanan.
Sebelum proses dimulai, Joan selalu memastikan bahwa pemilik memahami alur layanan yang akan mereka pilih, apakah hewan akan dijemput atau dibawa langsung ke tempat kremasi.
Ia kemudian menjelaskan bagaimana alur kremasi berjalan dari tahap pertama sampai akhir.
Hal yang kemudian dilakukan adalah penimbangan, proses penimbangan dilakukan untuk menentukan biaya secara presisi tanpa sistem range yang menurut Joan sering merugikan pemilik.
Karena itu, ia menerapkan sistem per kilogram.
“Jadi gua pakai 0-5 kilo. Nah, setelah itu, per kilonya, ada angkanya sendiri. Kalau di gua tuh, Rp 370.000 itu 0-5 kilo. Kalau dia 6 kilo, tambah 25 ribu. Jadi lu bayar tuh sesuai dengan ukuran,” jelas Joan.
Setelah penimbangan selesai, tahap berikutnya adalah dokumentasi awal.
Joan mengambil foto hewan untuk data internal dan untuk memastikan bahwa setiap proses dapat dipertanggungjawabkan.
“Udah ditimbang, terus kita foto. Nanti fotonya lu bisa minta sama admin,” kata dia.
Setelah tahap awal selesai, barulah hewan dibawa ke tempat pemandian dan pengeringan sebelum dilakukan kremasi.
Tentunya, para hewan tersebut akan terlebih dahulu didoakan dalam prosesinya.
Joan memastikan bahwa setiap tahapan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, termasuk proses penghancuran abu sebelum dimasukkan ke guci.
“Kita foto, selesai kita foto, kita kremasi. Selesai kremasi, masuk guci. Jadi kita halusin, terus kita masukin guci,” kata Joan.
Tidak semua pemilik memilih untuk membawa pulang abu hewan mereka.
Ada juga yang memilih melarungkannya ke laut karena merasa itu lebih pas sebagai bentuk perpisahan.
“Setelah masukin guci, terserah nih, mau pulang, atau mau dilarung. Gitu. Guci pun, goa enggak mau terlalu membebanin orang,” kata Joan.
Untuk pemilik yang ingin menghemat biaya, Joan menyediakan opsi penggunaan guci gabungan.
Bagi Joan, momen perpisahan tidak perlu menjadi beban tambahan.
“Jadi kalau misalnya, Kak, udah deh, larung aja. Tapi enggak usah pakai guci, biar hemat biaya. Gak apa-apa, goa ada guci gabungan,” kata dia.
Prosesi larung dilakukan secara berkala dan terjadwal. Selain bentuk penghormatan, larung juga menjadi simbol melepas hewan ke alam.
Joan memilih lokasi laut karena menurutnya, air adalah elemen yang memberi rasa lapang bagi pemilik yang ditinggalkan.
“Gua kan larung kan setahun 4 kali. Per 3 bulan. November, Februari, Mei, Agustus. Setiap 4 bulan itu, tanggal terakhir,” ujarnya.
Joan biasanya memilih lokasi yang relatif dekat dengan daratan namun tetap memiliki air yang bersih.
Ia ingin memastikan pengalaman pemilik terasa layak dan menenteramkan.
“Jadi kita tuh adanya di antara Pulau Bidadari, Onrus, Cipir. Nah, kita ngelarungnya di situ. Kalau buat goa, sebagai pemilik, lega. Karena kan, airnya jernih,” ujar dia.
Baginya, kualitas lingkungan tempat larung sangat penting.
Ia tidak ingin abu hewan yang dicintai dibuang sembarangan.
“Maksudnya kan, itu kesayangan lo ya? Terus, dia buang di air butek, sedih sekali,” kata dia.
Joan dikenal sangat ketat menjaga integritas kremasi. Ia pernah mendengar cerita tempat lain yang melarang pemilik melihat prosesnya.
Bagi Joan, keterbukaan penting untuk memastikan bahwa abu yang diterima benar-benar milik hewan mereka.
“Kalau gua kan, itu ada tray. Kenapa pake tray? Supaya semua tulangnya ada di situ. Jadi, nanti udahannya tuh semuanya terkumpul. Jadi, kalau sudah di tray, otomatis tidak ada yang hilang,” katanya.
Setiap bagian tubuh hewan, sekecil apa pun, dianggap penting.
Joan meyakini bahwa pemilik perlu menerima seluruh sisa kremasi tanpa kehilangan satu pun bagian.
“Jadi gua tidak mau ada bagian dari dia yang gak disitu, semuanya disitu. Dan itu juga yang goa berlakukan ke semuanya,” ucap dia.
Proses kremasi tidak memiliki waktu pasti, karena tergantung ukuran dan struktur tulang hewan.
Pada hewan berukuran sedang, durasi biasanya mengikuti standar tertentu yang sudah ia hitung berdasarkan pengalaman.
“Biasanya per 10 kilo itu 1 jam.”
Namun, beberapa ras memiliki tulang lebih padat sehingga membutuhkan waktu lebih lama.
Joan kerap memberi contoh kasus anjing Rottweiler yang memakan waktu enam jam.
“Tapi ada anjing-anjing yang memang karena tulangnya besar. Jadinya bisa lebih lama. Jadi kayak si Remo nih, dia kan 49 kilo. Dia hampir 6 jam,” ujarnya.
Sementara itu, hewan-hewan kecil seperti reptil atau invertebrata justru selesai dalam waktu yang sangat singkat.
“Sekejap, (
kremasi hewan
luwing)” ucapnya.
Joan menekankan pentingnya memastikan abu benar-benar kering agar tidak timbul masalah di kemudian hari, terutama jamur.
“Sedangkan goa maunya tuh kalau kremasi, kering. Kenapa? Kalau gak kering, nanti berjamur,” kata dia.
Pemilik bisa menyaksikan atau tidak, semua terserah mereka. Bagi pemilik yang ingin melihat prosesnya, Joan selalu siap.
Bagi Joan, kehadiran pemilik saat kremasi adalah hak penuh.
Ia tidak pernah melarang siapa pun untuk menyaksikan seluruh proses.
Namun, ada juga pemilik yang hanya ingin dokumentasi tertentu.
“Tapi kan dokumentasi kita tetap ada. Jadi kadang-kadang ‘Kak, jangan kirim waktu api nyalanya ya ke aku ya’. Gak apa-apa juga. Gak gue kirim. Tapi gue punya data,” kata Joan.
Dokumentasi tersebut bagi Joan lebih dari sekadar formalitas.
Itu adalah bukti bahwa proses dilakukan secara benar dan penuh tanggung jawab.
“Karena kalau gak kayak gitu, memang berkas itu selain perlu buat bukti, tanggung jawab moral juga sih,” katanya.
Pemilik yang datang langsung juga mendapatkan ruang khusus untuk mendampingi hewan mereka hingga proses selesai.
“Jadi itu di meja fotobooth, kayak gue bilang gitu. Lo mau tongkrongin sampai anak lo selesai kremasi, juga ayo aja. Bebas. Lo mau lihat? Lihatlah. Makanya gue siapin bangku di sini,” katanya.
Sebagai tempat perpisahan, suasana di Rainbow Bridge sering kali penuh emosi.
Tidak sedikit pemilik yang datang dalam keadaan limbung dan merasa kehilangan kontrol atas diri mereka.
Joan sudah sangat akrab dengan suasana seperti itu.
“Oh, meraung-raung di sini, jangan tanya. Nangis. Ada yang nangis-nangis gak terima karena merasa bukan kesalahan dia,” ujar dia.
Dalam situasi seperti itu, Joan biasanya mencoba menenangkan dan memberi sudut pandang yang lebih lapang tentang kehilangan.
“Apapun yang kejadian hidup kita itu udah ada tulisannya. Lo mau nyalain siapa? Tulisannya udah begitu lo mau nyalain siapa? Ya kan? Yaudah, jalanin aja,” katanya.
Ada juga pemilik yang meninggalkan seluruh barang kesayangan hewannya. “Kadang-kadang nih orang nih kremasi semua barang-barangnya di-drop disini. Terserah kak, mau dikasih ke siapa,” kata dia.
Barang-barang itu kemudian Joan kumpulkan dan salurkan ke shelter.
Uniknya, di ruang penyimpanan Rainbow Bridge terdapat sejumlah guci dan paket yang belum pernah diambil pemiliknya.
Joan menyimpannya dengan hati-hati sembari menunggu pemilik menghubungi kembali.
Ia menunjukkannya satu per satu. “Ini, yang tas ini cuma belum diambil,” ucapnya.
Beberapa bahkan sudah bertahun-tahun tidak dijemput, tanpa kabar apa pun dari pemiliknya. “Itu isinya guci, yang dari tahun 2021 entah lupa anaknya disini atau gimana,” kata Joan.
Kontak pemilik kadang hilang begitu saja.
Joan tetap mencoba menghubungi sebelum memutuskan langkah berikutnya.
“Ini udah gak nongol sama sekali. Kita WA centang 1, potongnya udah gak ada,” katanya.
Baginya, jika akhirnya ia harus menanggung biaya penyimpanan atau proses lanjutan, ia selalu menganggapnya sebagai amal.
“Kalaupun memang harus biaya gue, kalau gue sih, kayak gitu-gituan tuh gue percaya kalo bukan manusia yang bayar, nanti Tuhan yang bayar,” ujarnya.
Tidak hanya kucing dan anjing, Rainbow Bridge tidak hanya menerima anjing dan kucing.
Joan pernah menerima berbagai jenis hewan dari pemilik yang ingin memberikan perpisahan layak.
“Ayam, gurame, ular, iguana, burung, kura-kura,” kata dia.
Termasuk seekor gurame yang dipelihara pemiliknya selama dua dekade.
“Oh, dia pelihara guramenya 20 tahun, cuy. Dari sekolah sampe nikah, sampe punya anak,” katanya.
“Cuman gak gue kecapin aja.” Ia tertawa kecil ketika menceritakan itu.
Masih banyak orang yang menganggap kremasi hewan sama seperti kremasi manusia. Joan kerap menjelaskan bahwa konsepnya berbeda.
“Mereka tuh selalu mikirnya gini, yang gak tau ya, mikirnya tuh kremasi hewan tuh kayak kremasi manusia yang harus pakai peti,” ujar dia.
Ia menolak peti karena alasan lingkungan. Penggunaan kayu dan pelitur menurutnya hanya akan membuat proses pembakaran lebih kotor.
“Kalau gue gak mau. Karena, saat lo pakai peti, gas buangnya itu otomatis ada peliturnya, ada kayunya, dan itu ngotorin lingkungan, ngotorin udara. Itu gue gak mau,” jelasnya.
Sebagai gantinya, ia menggunakan gas rumahan yang menurutnya lebih aman.
“Makanya gue pakai gas tuh, gas yang rumahan. Jadi, asapnya itu cuma sama kayak lo barbequean, gitu aja. Cuman gak wangi, karena gue gak pake kecap,” kata dia.
Ia pernah ditawari metode alternatif seperti dissolusi cairan. Namun ia menolak.
Karena itu, ia tetap bertahan dengan cara tradisional.
“Gua akan stay dengan tradisional way yang ovennya goa bikin sendiri juga,” katanya.
Bagi Joan, kremasi bukan hanya pekerjaan, tetapi juga ruang cinta dan empati.
Ia melihat sendiri bagaimana hewan mampu mengubah hidup seseorang. “Hewan itu bisa mengubah lo. Hewan itu bener-bener bisa mengubah lo,” kata dia.
Karena itu, ia tidak pernah menertawakan atau meremehkan keterikatan pemilik pada hewan peliharaannya.
“Kalau memang pelihara hewan itu bisa membuat jadi tenang, kenapa enggak?” ujarnya.
Menurut Joan, kremasi menawarkan bentuk perpisahan yang lebih intim.
Pemilik bisa membawa pulang abu yang telah diberi label nama dan foto hewan tersebut.
“Kalau ini kan, lo bayar sekali, lo bawa pulang. Sengaja gue bikin ada namanya, ada fotonya. Lebih personal,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menelisik Prosesi Kremasi Hewan di Rainbow Bridge House Memorial Megapolitan 10 Desember 2025
/data/photo/2025/12/10/69390440bd0b3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/6938199f5f1ad.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/69383723e0567.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/69380f016b0ca.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)