Menelisik “Kota Paris” di Bogor, Jejak Permukiman Kolonial yang Tak Lagi Asri
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com
– Di sudut Kota Bogor, tersembunyi sebuah kawasan yang jarang diketahui banyak orang. Tempat itu dikenal dengan nama “Kota Paris”.
Nama yang terdengar megah itu ternyata menyimpan
sejarah
panjang, mengingat
Kota Paris
di
Bogor
ada sejak era kolonial Belanda.
Kawasan ini bukan sembarang permukiman.
De Staate van Parijs
, begitu sebutannya, adalah permukiman elite pertama di Bogor.
Pembangunan kawasan ini dimulai pada 1918, saat pemerintahan kolonial Belanda masih memegang kendali.
Thomas Karsten, arsitek Hindia Belanda, dipercaya merancang tata ruang dan bangunan di Kota Paris.
Rumah-rumah yang dibangun mengikuti gaya indies yang berpadu dengan sentuhan Eropa, menyesuaikan diri dengan iklim tropis setempat.
Awalnya, hanya ada 46-48 rumah di kawasan ini, terdiri dari rumah tunggal maupun pasangan.
Setiap bangunan menghadirkan kesan anggun dan elegan, dikelilingi ruang terbuka hijau serta pohon-pohon besar yang menyejukkan mata.
Namun, waktu tak selalu ramah pada sejarah. Satu per satu rumah lawas itu mulai hilang, berganti wajah baru sesuai selera penghuni yang datang kemudian.
Ruang hijau yang dulu lebat kini tergantikan oleh permukiman padat, meninggalkan hanya jejak-jejak kenangan masa lalu.
Kota Paris di Bogor
kini seperti saksi bisu perubahan zaman—dari permukiman elite berarsitektur Eropa, menjadi kawasan yang padat, namun tetap menyimpan cerita tentang masa kolonial yang pernah ada.
Sejarawan sekaligus pemerhati Kota Bogor, Taufik Hassuna menyebut Kota Paris dirancang sebagai permukiman kelas atas untuk pegawai sipil dan militer.
Lahirnya Kota Paris juga tidak terlepas dari kebijakan kolonial yang membagi ruang hidup berdasarkan ras.
“Kelahiran Kota Paris tak lepas dari kebijakan segregasi rasial Wijkenstelsel. Kebijakan ini membagi zona etnis di Buitenzorg: Eropa di sisi barat Jalan Raya Pos (kini Ahmad Yani-Juanda), Tionghoa di Handlestraat (kini Suryakencana), dan pribumi di pinggiran kota,” ujar dia, Jumat (5/12/2025).
Sementara, Neni (70), ketua RT setempat sekaligus warga yang telah menetap sejak 1954, menuturkan asal-usul penamaan Kota Paris diberikan karena keasrian dan kenyamanan kawasan yang hampir menyerupai suasana Paris di Eropa.
“Karena dulu 100 lebih tahun yang lalu, ini kan kawasan elite. Kawasan elite orang Belanda, jadi Belanda semuanya, pribumi itu belum ada. Dan lantas karena asri, enak, teduh dulu ya jadilah sebutannya Kota Paris,” kata Neni saat ditemui di kediamannya.
Menurut Neni, kawasan ini dulu memang dihuni warga Belanda dan menjadi simbol prestise.
“Kita orang pribumi, baru tahun 50-an. Orangtua saya baru pindah ke sini tahun 54. Itu pun masih ada dalam orang Belanda ya,” kata dia.
Perumahan yang terletak di kawasan Jalan Semboja-Pasar Mawar ini memiliki rumah yang dibangun dengan tujuan mencerminkan status sosial dan gaya hidup kelas atas pada masa kolonial.
Pohon-pohon besar, jalanan yang teduh, dan rumah-rumah bergaya Eropa menjadi ciri khas kawasan ini.
Warga Belanda yang tinggal di sini menghabiskan hari-hari mereka dengan aktivitas santai di taman, bermain kano layaknya Rhine Paris di Sungai Cidepit, dan menikmati suasana yang jauh dari kepadatan kota Bogor pada masa itu.
Bagi para pribumi yang baru datang setelah 1950-an, mereka hidup berdampingan dengan warga Belanda.
“Saya lahir tahun 1955 dan masih bersampingan dengan orang-orang Belanda pada saat itu. Ada sebagian orang kita juga,” ujar Neni.
Bangunan-bangunan di Kota Paris dirancang agar nyaman dan estetis, memadukan gaya Eropa dengan kebutuhan iklim tropis.
Rumah-rumah ini memiliki halaman luas, ventilasi tinggi, dan cerobong asap yang menambah kesan anggun.
Suasana ini membuat Kota Paris berbeda dari permukiman lain di Bogor, sekaligus menjadi saksi sejarah arsitektur kolonial Belanda.
Seiring waktu, banyak rumah yang direnovasi atau diganti oleh pemilik baru. Namun beberapa rumah asli masih bertahan, menyimpan jejak identitas kawasan yang unik.
Keberadaan rumah-rumah ini menjadi penting bagi warga yang ingin mempertahankan warisan budaya dan estetika kawasan.
“Dulu bangunan dari arsitektur yang ala-ala Eropa sehingga disebut juga sebagai Kota Paris dan perumahan itu masih ada cerobong asapnya gitu. Sekarang sih udah dibongkar,” kata Neni.
Beberapa keluarga lama tetap mempertahankan rumah mereka, meski sebagian pindah.
“Ada yang diteruskan generasi, anak-anaknya gitu. Kayak saya,” imbuh dia.
Dengan sejarah yang panjang, wajar bila muncul wacana menjadikan Kota Paris sebagai cagar budaya.
Ide ini sempat muncul sebelum pandemi Covid-19, tetapi rencana itu belum terealisasi.
Menjadi cagar budaya akan membantu melindungi rumah-rumah bersejarah, menjaga keasrian kawasan, dan menghadirkan edukasi budaya bagi masyarakat luas.
Jika dibandingkan dengan Suryakencana yang banyak rumah bergaya Tionghoa, atau Empang yang menonjolkan Arab, Kota Paris memiliki keunikan tersendiri.
“Dulu waktu sebelum Covid-19 begitu ya. Dulu isunya begitu akan dijadikan cagar budaya tapi adanya Covid-19 dengan segala macam adanya yaudah, cuma isunya, sempat mau dijadikan lah,” ujar Neni.
Meski banyak perubahan, warga setempat menyadari pentingnya menjaga identitas Kota Paris.
Kesadaran ini mendorong terbentuknya asosiasi yang berupaya mengembalikan suasana asri dan teduh seperti masa lalu.
Mereka berfokus pada kebersihan, penghijauan, dan pelestarian rumah-rumah bersejarah.
Langkah-langkah ini juga ditujukan agar kawasan tetap menarik bagi pengunjung, sekaligus menumbuhkan rasa memiliki bagi generasi muda.
“Kita ada satu asosiasi untuk back to zaman dulu lagi. Jadi keasriannya, kebersihannya gitu. Kita punya satu misi ke situ” kata Neni.
Upaya ini mencakup penghijauan, pengaturan jalan setapak, dan menjaga keserasian bangunan dengan identitas lama.
“Kita memang merasa juga perlu mengembalikan Kota Paris seperti yang dulu lagi. Kebersihannya, kenyamanannya, makanya kita penghijauan di mana-mana gitu,” tambah dia.
Bagi Neni dan warga lama lainnya, Kota Paris bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga ruang kenangan masa kecil.
Ia masih mengingat pohon-pohon besar, dan aliran sungai yang membuat hidup terasa lebih lambat dan damai.
Meski kepadatan penduduk meningkat, beberapa momen tetap mampu menghadirkan nostalgia.
“Nah, kalau misalnya lagi sepi gitu, kalau udah hujan, terasa sekali itu suasananya seperti kembali ke zaman dulu. Ketika momen tertentu itu masih berasa,” kata Neni.
Rasa kangen ini mendorong warga untuk menjaga suasana kawasan agar tetap teduh, nyaman, dan asri.
“Kalau kecil tuh ya enak aja gitu ya. Apa namanya, enggak keras seperti sekarang. Pasti kangen seperti itu. Kalau jalan-jalan taman-taman tuh menyusuri. Ada pohon damar,” ujarnl dia.
Perubahan zaman membawa tantangan bagi identitas Kota Paris.
Banyak rumah lawas dirombak, ruang terbuka hijau menyusut, dan kepadatan penduduk meningkat. Tanpa upaya warga, karakter khas kawasan ini bisa hilang.
Neni menekankan pentingnya kesadaran kolektif untuk mempertahankan citra kawasan.
“Karena itu trademarknya itu Kota Paris tuh nggak ada lagi kan di Kota Bogor kita usaha kan supaya image Kota Paris yang dulu tuh dikembalikan lagi. Para sesepuh, para generasi yang saya itu gitu,” ujarnya.
Neni dan warga setempat berkomitmen menjaga Kota Paris agar tetap asri dan nyaman.
Mereka ingin kawasan ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya yang dapat dinikmati generasi mendatang.
“Misi-misi kita tetap
back to
Kota Paris tahun 60-an lagi. Bukan kampanye, tapi semuanya usulan gitu,” kata Neni.
Bagi sebagian warga lainnya, Kota Paris bukan sekadar alamat rumah, tetapi memori yang menempel pada masa muda dan pengalaman hidup mereka.
Iwan (bukan nama sebenarnya), salah satu warga sekitar, menuturkan bagaimana kawasan ini terlihat ketika ia pertama kali menapakkan kaki di sana.
“Saya tinggal di sini sejak tahun 2000an awal, tapi enggak di perumahannya. Waktu itu masih muda banget. Lingkungannya masih sepi, rumah-rumah besar semua, pohon damar di mana-mana adem, enggak bising sama sekali,” kata Iwan.
Atin (47), warga lainnya juga memiliki pandangan serupa. Mata dia, lingkungan kala itu tak sepadat seperti sekarang.
“Saya pindah ke sini sekitar tahun 2005, waktu itu ingkungannya masih enak, asri, pohon-pohon gede masih ada beberapa,” kata Atin.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menelisik "Kota Paris" di Bogor, Jejak Permukiman Kolonial yang Tak Lagi Asri Megapolitan 8 Desember 2025
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5430000/original/050997400_1764649358-1.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)



/data/photo/2025/11/27/692864f357188.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/6928648ec4154.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936a60b3d4ec.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/69369bdbe4b27.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/693686e4db14a.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/69361774bf162.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/6936474ccaf11.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/08/693655c440559.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)