Melawan Waktu: Realitas Hidup Komuter Kota Penyangga demi Kerja di Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar terbit, banyak warga dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah bergerak menuju Jakarta.
Mereka menempuh jarak puluhan kilometer, berdesakan di KRL Commuter Line, Transjakarta, bus, hingga ojek daring, demi satu tujuan, yakni bekerja di Ibu Kota.
Fenomena bekerja di Jakarta, tetapi tinggal di kota penyangga bukan lagi sekadar pilihan sementara, melainkan realitas hidup yang dijalani jutaan
komuter
setiap hari. Rutinitas panjang ini menuntut pengorbanan waktu, tenaga, dan kualitas hidup.
Bagi banyak pekerja, tinggal di Jakarta bukan perkara mudah. Harga sewa hunian yang terus melambung, biaya hidup yang tinggi, serta keterbatasan ruang tinggal memaksa mereka mencari alternatif di luar Ibu Kota.
Kota-kota penyangga kemudian menjadi solusi kompromi: jarak yang lebih jauh ditukar dengan biaya hidup yang relatif lebih terjangkau.
Namun, kompromi ini datang dengan harga lain: waktu tidur terpangkas, kelelahan kronis, dan ketidakpastian perjalanan.
Amelia Putri (24), Marketing di wilayah Sudirman, Jakarta Pusat, telah menjalani hidup sebagai komuter sejak awal 2023.
Ia memilih tetap tinggal di Bogor, Jawa Barat, bersama orangtuanya dengan konsekuensi perjalanan pulang-pergi yang panjang hampir setiap hari.
“Biasanya berangkat subuh, naik KRL dari Stasiun Bogor, lalu sambung ojek
online
ke kantor,” ujar Amelia kepada
Kompas.com
, Jumat (19/12/2025).
Jika perjalanan lancar, waktu tempuh sekitar dua jam sekali jalan. Namun, gangguan KRL, antrean panjang, dan kepadatan penumpang sering membuat durasi perjalanan membengkak. Tak jarang, Amelia baru tiba kembali di rumah pukul 21.00 WIB.
Keputusan Amelia bukan tanpa pertimbangan. Harga kos di sekitar Sudirman dan Setiabudi dinilainya sudah tak rasional bagi pekerja muda dengan penghasilan awal karier.
“Untuk kos yang layak bisa di atas Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per bulan, belum makan dan kebutuhan lain. Kalau di Bogor, saya bisa menekan pengeluaran,” kata dia.
Pilihan rasional itu dibayar mahal dengan tenaga dan waktu. Rutinitas berdesakan di KRL menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan.
Amelia mengaku sering berdiri sepanjang perjalanan, berdesakan, dan sesak napas pada jam sibuk.
“Capek fisik dan mental. Tapi lama-lama seperti dinormalisasi. Saya mikirnya Jakarta itu tempat cari uang, Bogor itu rumah,” ujar Amelia.
Hal serupa juga dirasakan Syifa Ramadhani (25), SEO Specialist yang bekerja di Setiabudi, Jakarta Selatan.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan dari Depok, Jawa Barat, menggunakan kombinasi KRL dan MRT.
“Berangkat pagi-pagi sekali supaya tidak terlalu padat, tapi tetap saja sering penuh,” kata Syifa.
Waktu tempuh satu setengah hingga dua jam sekali jalan membuat energi Syifa terkuras, bahkan sebelum hari kerja benar-benar dimulai.
“Kalau pulang malam, rasanya sudah tidak punya energi untuk apa-apa. Hidup cuma kerja dan perjalanan,” ujar dia.
Meski sempat terpikir untuk ngekos di Jakarta, hitung-hitungan biaya membuat Syifa mengurungkan niat.
“Selama transportasi publik masih bisa diandalkan, saya pilih tetap jadi komuter,” kata Syifa.
Cerita Amelia dan Syifa bukanlah kasus individual. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi bahwa Jakarta sangat bergantung pada tenaga kerja dari luar batas administratifnya.
Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta, Nurul Hasanudin, menjelaskan bahwa berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024, DKI Jakarta termasuk provinsi dengan persentase pekerja “movers” atau pekerja yang tinggal dan bekerja di wilayah berbeda, berada di atas rata-rata nasional.
“Jakarta terus menjadi magnet ekonomi nasional, tetapi daya tarik itu tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan menyediakan hunian terjangkau bagi pekerja,” ujar Nurul saat dihubungi.
Secara nasional, proporsi pekerja komuter pada 2024 mencapai 5,2 persen, dan fenomena ini paling masif terjadi di kawasan metropolitan dengan akses transportasi relatif baik, seperti di Jabodetabek.
Distribusi komuter menunjukkan ketimpangan spasial yang kuat. Sekitar 90 persen pekerja komuter berada di wilayah barat Indonesia, dan hampir tiga perempatnya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah komuter terbesar.
BPS mencatat Bogor menjadi daerah pengirim komuter terbesar, dengan 584.041 orang yang bekerja atau bersekolah di luar wilayahnya. Sementara Jakarta Selatan menjadi tujuan komuter terbanyak, menerima 882.332 orang dari luar wilayah setiap hari.
Menurut BPS, keputusan menjadi komuter tidak bisa dilepaskan dari persoalan struktural hunian.
Ketika harga lahan dan biaya hidup di pusat kota meningkat, pekerja terdorong mencari hunian lebih terjangkau meski harus menukar jarak dan waktu tempuh harian.
“Peningkatan kualitas transportasi justru mendorong mobilitas temporer menjadi pilihan dibanding migrasi permanen,” kata Nurul.
Artinya, alih-alih pindah ke Jakarta, pekerja memilih pulang-pergi dari kota penyangga. Kompromi ini termanifestasi dalam rutinitas melelahkan yang dinormalisasi demi mempertahankan pekerjaan.
BPS juga mencatat bahwa pekerja komuter didominasi usia produktif dengan pendidikan SMA ke atas.
Mobilitas ini bukan hanya dialami pekerja informal, tetapi juga kelas pekerja terdidik yang secara ekonomi belum mampu menanggung biaya hidup di pusat kota.
Pengamat transportasi Deddy Herlambang menilai, persoalan komuter tidak berhenti pada ketersediaan KRL atau MRT. Tantangan terbesar justru ada pada
first mile
dan
last mile
.
First mile
merupakan perpindahan saat dari titik awal berangkat menuju simpul angkutan umum massal terdekat, bisa stasiun, terminal, atau halte. Sementara itu,
last mile
merupakan perpindahan dari simpul angkutan umum massal menuju titik terakhir tujuan, bisa kantor, sekolah, dan sebagainya.
“Moda paratransit seperti ojek
online
, taksi, atau bajaj dari stasiun ke tujuan itu mahal,” ujar Deddy saat dihubungi
Kompas.com
.
Meski Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI relatif aktif mengembangkan transportasi massal, dukungan dari pemerintah daerah penyangga masih minim, terutama dalam penyediaan
feeder
di sekitar simpul stasiun.
Dari sisi kapasitas, ketersediaan angkutan massal masih jauh dari cukup. Pergerakan orang di Jabodetabek mencapai lebih dari 100 juta pergerakan per hari, sementara KRL dan Transjakarta masing-masing hanya menyediakan sekitar 1 juta kursi per hari.
“Pengguna angkutan massal baru sekitar 10 persen. Target RITJ (Rencana Induk Transportasi Jabodetabek) 60 persen, masih sangat jauh,” kata Deddy.
Ia menekankan perlunya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah agar solusi transportasi tidak berjalan parsial.
Di balik efisiensi ekonomi, ada dampak laten yang jarang tercatat dalam statistik makro kesehatan mental dan fisik pekerja.
Psikolog klinis Ratih Ibrahim menjelaskan bahwa perjalanan panjang dan rutinitas berat memang berpotensi memicu stres kronis dan kelelahan. Namun, respons setiap individu bisa berbeda.
“Realita hidup itu tidak selalu sejalan dengan apa yang ideal. Pilihannya sering kali ‘
you take it or leave it
’,” ujar Ratih saat dihubungi.
Menurut dia, banyak pekerja bertahan karena keputusan tersebut diambil dengan kesadaran penuh dan pertimbangan matang.
“Kalau dipilih dan diterima, itu tidak menjadi drama hidup. Tidak ada romantisasi penderitaan,” kata dia.
Ratih melihat munculnya
growth mindset
dan mekanisme adaptasi pada pekerja komuter, mulai dari membawa bekal, menyiapkan sepatu ganti, hingga mengatur ulang ekspektasi hidup.
“Masalah justru jadi tantangan untuk dicari solusinya, disesuaikan dengan konteks hidup masing-masing,” ujarnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menekankan bahwa fenomena komuter bukanlah kekhasan Jakarta semata. Kota-kota besar dunia, di antaranya Paris, Amsterdam, Berlin, hingga Chicago mengalami pola serupa.
“Kota inti menjadi pusat ekonomi, sementara kawasan suburban menjadi tempat tinggal,” ujar Rakhmat.
Namun, perbedaan mencolok terletak pada kualitas infrastruktur dan distribusi pembangunan.
Di banyak kota Eropa, jarak jauh ditopang kereta cepat dan nyaman, sehingga mobilitas tidak selalu identik dengan stres.
“Di Indonesia, terutama Jakarta, waktu tempuh lama dan infrastruktur belum memadai meningkatkan stres dan tekanan psikologis,” kata Rakhmat.
Dampak sosialnya pun signifikan. Waktu pekerja habis di jalan, menyisakan ruang interaksi yang sangat terbatas dengan keluarga dan lingkungan.
“Mereka pulang malam, berangkat subuh. Ruang bersosialisasi nyaris hilang,” ujar Rakhmat.
Dalam jangka panjang, identitas sosial baru pun terbentuk: komuter sebagai kelas pekerja yang hidup di antara rel kereta, jalan tol, dan tenggat waktu.
BPS mengingatkan bahwa arus komuter besar membawa dua sisi. Di satu sisi, ia mendorong pertumbuhan ekonomi sektor transportasi, jasa makan-minum, dan perdagangan.
Di sisi lain, ia menimbulkan kemacetan, tekanan parkir, serta tantangan layanan transportasi publik, termasuk bagi lansia dan penyandang disabilitas.
“Pertumbuhan kawasan perkotaan menciptakan peluang, tapi juga kompleksitas tantangan,” kata Nurul Hasanudin.
Fenomena komuter Jabodetabek–Jakarta pada akhirnya bukan sekadar pilihan individual, melainkan refleksi kebijakan tata ruang, perumahan, dan transportasi yang belum sepenuhnya berpihak pada pekerja.
Bagi Amelia dan Syifa, rutinitas melawan waktu akan terus berulang esok hari. Subuh yang sama, KRL yang sama, dan jalan pulang yang panjang. Jakarta memberi penghidupan, tetapi rumah tetap berada jauh di pinggiran.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Melawan Waktu: Realitas Hidup Komuter Kota Penyangga demi Kerja di Jakarta Megapolitan 22 Desember 2025
/data/photo/2025/12/22/6948dd02dd198.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/21/6947ff79c01bb.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2020/12/18/5fdc44cd8efd9.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)



/data/photo/2025/07/17/6878d8a36ade8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694920e8441b5.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69490c970a84a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/03/6908c04434e88.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/6948f0fb6b178.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/69491139c7fe2.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)