Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mbah Asmini dan Api yang Mengakhiri Kesendiriannya di Rusun Klender Megapolitan 12 Juli 2025

Mbah Asmini dan Api yang Mengakhiri Kesendiriannya di Rusun Klender
Tim Redaksi
 
JAKARTA, KOMPAS.com
– Asmini (73), lansia sebatang kara, menjadi satu-satunya korban tewas dalam kebakaran di Rumah Susun Klender Blok 60, Malaka Sari, Duren Sawit,
Jakarta Timur
, Sabtu (12/7/2025) dini hari.
Korban ditemukan meninggal dunia setelah api membakar empat unit hunian di lantai empat rusun yang dibangun pada masa Presiden ke-2 RI, Soeharto, tersebut.
Dony (37), pemilik bengkel sekaligus penghuni lantai tiga
Rusun Klender
Blok 60, tak menyangka dini hari yang tenang berubah menjadi kepanikan.
Ketika hendak menutup bengkelnya di Jalan Dahlia, matanya menangkap nyala api yang mulai membesar dari rumah
Mbah Asmini
.
Lidah api merambat cepat, diiringi kepulan asap pekat yang mengepul ke langit, memecah ketenangan dini hari itu.
Dari tempatnya berdiri di Jalan Dahlia, Dony melihat korban sempat muncul di ambang pintu. Perempuan yang akrab disapa Ibu atau Mbah Asmini itu tampak membungkuk, seolah ingin mengambil sesuatu di dekat kakinya.
Namun, alih-alih menjauh dari kobaran api, Mbah Asmini justru melangkah kembali masuk ke dalam rumahnya yang sudah mulai diselimuti asap.
“Dia keluar itu kayak mencari sesuatu. Apakah mau ambil ember atau gimana, mau menyiram ke dalam kali ya, atau gimana kan. Cuma pas dia masuk, udah enggak keluar lagi,” kata Dony saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (12/7/2025).
Dony pun berteriak sekuat tenaga, mencoba membangunkan warga yang masih terlelap. Suara lantangnya menggema di antara lorong-lorong rusun, “Kebakaran! Kebakaran!”.
Namun, raungan panik itu rupanya belum cukup untuk menyadarkan mereka dari tidur lelap di tengah malam.
Tak tinggal diam, Dony segera lari ke pinggir jalan dan memberhentikan setiap pengendara yang melintas di Jalan Dahlia.
Satu per satu warga mulai terbangun dan berhamburan keluar rumah, berlari menyelamatkan diri dengan wajah panik.
Suasana rusun yang semula hening seketika berubah riuh oleh teriakan dan langkah tergesa. Di tengah kekacauan itu, Dony bergegas naik ke lantai tiga menuju unit tempat tinggalnya.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil selang air seadanya lalu kembali ke luar, menyemprotkan air ke arah api yang mulai merambat cepat ke bangunan lain di lantai empat.
“Sempat menyiram saya. Cuma sepang saya kecil. Jadi enggak sanggup. Di rumah ada selang, enggak sanggup, akhirnya saya tinggalin,” ucap Dony.
“Ya itu kurang tau juga saya (alasan Mbah Asimini kembali masuk ke rumah). Mungkin ya, disitulah tertimpa sama reruntuhan dan tewas,” tambah Dony.
Pantauan
Kompas.com
, Rusun Klender Blok 60 memiliki bangunan setinggi sekitar 12 hingga 15 meter. Setiap lantai terdiri dari empat unit hunian, sehingga total terdapat 16 unit di Blok 60.
Empat rumah yang terdampak akibat kebakaran ini seluruhnya berada di lantai empat. Tampak dari luar, kondisi lantai empat Blok 60 rusun tersebut mengalami kerusakan paling parah.
Seluruh bagian atap hangus terbakar, menyisakan rangka baja dan kayu yang gosong serta genting yang ambruk.
Jendela-jendela terlihat hangus dan kosong, tidak lagi berdaun maupun berjendela kaca.
Beberapa bekas kobaran api masih terlihat jelas di dinding luar, dengan noda hitam arang membekas hingga ke bagian bawah.
Kabel-kabel listrik terjuntai tak beraturan, sebagian tampak meleleh akibat suhu tinggi saat kebakaran.
Akses tangga untuk keluar dan masuk yang berada di sisi bangunan juga terlihat dipenuhi puing-puing dan abu sisa kebakaran.
Sementara itu, bagian lantai satu, dua, dan tiga, relatif tidak terdampak langsung, namun tetap menunjukkan tanda-tanda kerusakan ringan, seperti cipratan air dan jelaga.
Hingga saat ini, garis polisi masih membentang di sekitar area lantai empat, menandai lokasi kejadian yang tengah diselidiki oleh pihak berwenang.
Bagi warga Rusun Klender Blok 60, terutama yang telah lama menetap, sosok Mbah Asmini bukanlah wajah asing.
Ia adalah bagian dari lanskap sehari-hari rusun, seorang nenek berusia 73 tahun yang menjalani hari-harinya dalam kesunyian, dengan tubuh yang kian ringkih dan langkah yang makin lambat dari waktu ke waktu.
“Sudah nenek-nenek. Jalannya gimana sih. Iya sudah (renta) dan sudah ada penyakitnya juga,” ucap Dony.
Mbah Asmini sudah tinggal di rusun itu selama puluhan tahun. Meski tak tahu pasti sejak kapan, tapi rasanya sudah selama rusun itu berdiri.
Ia tinggal sendirian dua unit yang dijadikan satu pada lantai empat bangunan Blok 60. Mbah Asmini bertahan meski anak-anaknya berkali-kali mengajaknya pindah. Sementara sang suami telah lebih dulu meninggalkannya.
“Anaknya lima, sudah berkeluarga semua, mencar,” kata Dony.
Tetangga lainnya, Andi (57), yang tinggal di lantai satu Blok 60, juga masih lekat dengan gambaran keseharian Mbah Asmini.
Setiap pagi, perempuan tua itu turun dari lantai empat menuju pasar kecil di sekitar rusun. Meski langkahnya pelan, ia tetap berusaha mandiri.
“Dia kalau pagi, turun (dari lantai empat lewat tangga) ke pasar, beli makanan dan minuman. Makan Mie Joglo,” ungkap Andi.
Setelah itu, ia akan duduk di balai warga yang berada di pekarangan rusun, menyantap makanannya dalam diam. Tak banyak kata, tak banyak interaksi. Hanya dirinya, makanan, dan sudut kecil yang selalu sama.
“Nanti kalau sudah kenyang, dia naik lagi ke atas. Tapi ya gitu, timik-timik jalannya,” lanjut Andi.
Selain ke pasar, Mbah Asmini juga masih rutin ke masjid setiap kali azan berkumandang. Meski fisiknya sudah lemah, semangatnya untuk beribadah tidak pernah padam.
Anak-anaknya, kata Andi, sebenarnya beberapa kali mengajak tinggal bersama. Tapi Mbah Asmini selalu menolak.
“Paling betah dua malam. Terus balik lagi. Enggak mau, pengin di sini,” kata Andi.
Soal kebutuhan sehari-hari, tidak banyak yang tahu pasti. Namun, sesekali terlihat anaknya menitipkan makanan atau uang ke tetangga.
Listrik, air, dan gas di unit Mbah Asmini sudah lama tak aktif. Semua aliran diputus karena ia sudah tak mampu mengurusnya.
“Namanya orangtua, sudah pikun, masalah pembayaran-pembayaran sudah pikun. Jadi, diputus,” ujar Andi.
Lalu, bagaimana ia menjalani malam tanpa penerangan?
“Gelap. Rumahnya gelap kalau malam,” jawab Andi.
“Sudah hampir setahun begitu,” tambah Andi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.