Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mata Elang dan Privatisasi Kekerasan di Jalanan Megapolitan 15 Desember 2025

Mata Elang dan Privatisasi Kekerasan di Jalanan
Polisi Militer TNI Angkatan Darat
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
ISTILAH
“Mata Elang” kini tidak lagi sekadar julukan bagi ketajaman visual, melainkan telah menjadi sinyal teror di ruang publik.
Di sudut-sudut jalan kota besar, kelompok penagih utang (
debt collector
) ini beroperasi dengan modus operandi yang kian canggih: berbekal aplikasi pelacak pelat nomor yang terhubung basis data debitur secara
real-time.
Namun, fenomena ini bukan sekadar urusan kredit macet; ini adalah manifestasi dari transformasi penagihan utang menjadi aksi kepolisian swasta (
private policing
) yang koersif dan berbahaya.
Secara yuridis, keberadaan jasa penagihan pihak ketiga memang diakui legalitasnya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35 Tahun 2018 memperbolehkan perusahaan pembiayaan bekerja sama dengan pihak lain untuk fungsi penagihan, asalkan berbadan hukum dan bersertifikasi.
Namun, ada jurang menganga (gap) antara norma hukum (
das sollen
) dan realitas jalanan (
das sein
). Regulasi mensyaratkan penagihan dilakukan tanpa ancaman, kekerasan, atau tindakan yang mempermalukan.
Faktanya, yang terjadi adalah intersepsi paksa di jalan raya, perampasan kunci kontak, hingga intimidasi fisik.
Tindakan mencegat dan merampas kendaraan di jalan raya jelas merupakan anomali dalam negara hukum.
Ketika seorang penagih utang mengambil paksa barang milik debitur dengan kekerasan atau ancaman, tindakan tersebut telah bergeser dari ranah perdata ke ranah pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan secara tegas melarang praktik ini.
Yurisprudensi pun telah ada; pengadilan negeri pernah memvonis
debt collector
dengan hukuman penjara karena terbukti melakukan perampasan motor di jalan dengan dalih penunggakan.
Di Medan, misalnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada empat
debt collector
yang merampas mobil korban di Jalan Stadion, tepatnya di depan Kantor Polsek Medan Kota (
Antaranews.com
, 5 November 2025).
Dari kacamata kriminologi, fenomena
Mata Elang
menunjukkan gejala erosi otoritas negara. Ketika negara kewalahan memonopoli penggunaan upaya paksa, ruang kosong tersebut diisi oleh aktor non-negara.
Akibatnya, muncul “pengadilan jalanan”: penagih menghukum debitur dengan perampasan sepihak, dan masyarakat merespons balik dengan vigilantisme atau main hakim sendiri.
Insiden berdarah di Kalibata beberapa waktu lalu, adalah bukti nyata bagaimana konflik privat ini dapat bereskalasi menjadi gangguan keamanan publik yang fatal.
Dua Mata Elang tewas dikeroyok saat hendak mengambil paksa motor di jalan. Enam polisi yang melakukan pengeroyokan sudah ditangkap dan dijadikan tersangka.
Untuk mengakhiri normalisasi premanisme berkedok penagihan ini, diperlukan solusi yang menyentuh akar masalah.
Pertama, penegakan hukum harus bersifat represif dan tanpa kompromi. Kepolisian tidak boleh sekadar menunggu laporan viral.
Setiap aksi perampasan paksa di jalan raya harus diproses sebagai tindak pidana murni—baik itu pemerasan maupun pencurian dengan kekerasan—demi memberikan efek jera.
Perlindungan hukum harus hadir nyata, di mana korban didorong untuk melapor dan laporan tersebut diproses hingga tuntas.
Kedua, regulator perlu mempertegas aturan main. Tidak cukup hanya dengan POJK; diperlukan payung hukum setingkat Undang-Undang yang mengatur profesi penagihan secara spesifik.
Aturan ini harus memuat larangan mutlak terhadap eksekusi jaminan fidusia di jalan raya tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan pendampingan aparat resmi.
Ketiga, akuntabilitas korporasi. Perusahaan pembiayaan tidak bisa lepas tangan dengan dalih
outsourcing.
Jika pihak ketiga yang mereka sewa melakukan kekerasan, perusahaan pemberi kuasa harus turut dimintai pertanggungjawaban hukum.
Membiarkan “Mata Elang” beroperasi dengan cara-cara premanisme sama halnya dengan membiarkan hukum rimba berlaku di jalanan kita.
Sudah saatnya negara mengambil alih kembali otoritasnya dan memastikan bahwa eksekusi jaminan dikembalikan ke jalur hukum yang bermartabat, bukan diselesaikan lewat adu otot di aspal panas.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.