Lebih dari Sekadar Mengamen, Sosiolog Nilai Pengamen Biola Tampilkan Kreativitas Tinggi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai kehadiran pengamen biola menghadirkan corak baru dalam dinamika ruang publik di Ibu Kota.
Di tengah stereotip
pengamen
jalanan yang kerap dianggap mengganggu, memaksa, atau menjadi beban bagi ketertiban umum,
pengamen biola
justru tampil sebagai simbol kreativitas dan seni yang jarang dijumpai di persimpangan jalan.
“Saya sebagai sosiolog, sebagai warga kota, itu lebih
respect
ya. Karena dia menampilkan sesuatu yang berbeda, unik dan kreatif. Enggak semua orang bisa main biola. Ada
skill
yang mereka jual. Dan itu jauh lebih manusiawi ketimbang mengemis atau memaksa,” kata Rakhmat kepada
Kompas.com
, Kamis (11/12/2025).
Menurut dia, pengamen biola menunjukkan dua hal sekaligus, yakni kreativitas masyarakat perkotaan dan upaya bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi.
“(Pengamen biola) ini punya kemampuan yang berbeda, punya
skill
yang berbeda. Mereka menampilkan sesuatu yang memang berbeda, unik, dan kreatif untuk mendapatkan uang. Bagi saya, justru ini harus dihargai,” ujarnya.
“Yang mengganggu itu yang memaksa, ngetok-ngetok pintu mobil, narik-narik. Tapi yang
perform
, memainkan lagu enak, dan tidak mengganggu, ini menjadi bagian dari seni kota. Lebih manusiawi,” kata Rakhmat.
Ia menilai pelarangan total terhadap pengamen biola dapat menghilangkan kreativitas yang justru memperkaya budaya jalanan Jakarta.
“Kalau bisa ditata, difasilitasi, dan diberdayakan, itu jauh lebih baik. Mereka bisa lebih profesional dan terlindungi,” ucapnya.
Rakhmat mencontohkan sejumlah pengamen di kota besar lain yang kini memiliki titik khusus, jadwal, atau dikelola dalam komunitas dengan baik.
“
Cashless
pun sekarang sudah ada. Artinya mereka bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman,” ujarnya.
Rakhmat menilai, pilihan memainkan biola di ruang publik bukan sekadar aktivitas untuk bertahan hidup, tetapi juga sebuah bentuk seni urban.
“Kalau pengamen gitar atau yang nyanyi itu biasa. Ondel-ondel, badut, manusia silver itu semua sudah umum. Tapi biola? Itu berbeda. Orang enggak semua bisa,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa fenomena ini tumbuh seiring meningkatnya orang yang mencari “ruang bertahan” di kota, terutama ketika pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat dan lapangan kerja formal semakin sulit diakses.
“Mereka mungkin enggak punya pendidikan atau keahlian profesional. Tapi mereka punya kemampuan tertentu, dan mereka jual itu. Dibanding memaksa atau mengemis, ini jauh lebih manusiawi,” kata dia.
Dalam pengamatannya, kelompok pengamen biola bahkan mulai membentuk formasi musik kecil di beberapa titik lampu merah.
“Ada yang main drum kecil, ada yang nyanyi, ada yang main biola. Itu
art the street
. Seni jalanan,” ujar dia.
Bagi Rakhmat, fenomena ini mencerminkan dinamika kota yang semakin padat dan penuh tekanan.
Seni jalanan menjadi ruang ekspresi yang tumbuh dari kebutuhan ekonomi sekaligus dorongan kreativitas.
Siang itu, Kamis (11/12/2025) pukul 14.30 WIB, deru knalpot dan klakson memenuhi persimpangan Jalan Teuku Cik Ditiro, Cikini, Jakarta Pusat.
Di tengah kepadatan kendaraan, suara biola terdengar lirih, memecah kebisingan yang seakan tak pernah berhenti.
Kompas.com
mengamati seorang pengamen laki-laki berjaket hitam, topi kuning, dan celana pudar berdiri di tengah jalur kendaraan.
Kedua tangannya luwes menggerakkan biola yang tampak sudah lama menjadi sahabat hidupnya. Gelas plastik hitam di pangkal biola menjadi wadah untuk menampung recehan dari pengguna jalan.
Setiap kali lampu merah, ia melangkah cepat menuju barisan pengendara. Langkahnya lincah, tapi selalu berhati-hati agar tak terserempet motor yang melaju perlahan. Melodi pop yang dimainkan terdengar berulang, seirama dengan durasi lampu merah.
Ketika lampu kembali hijau, ia mundur ke tepi zebra cross, mengusap keringat, memeriksa senar, lalu bersiap kembali memasuki jalur ketika lampu merah berikutnya menyala.
Pedagang kaki lima di trotoar sudah mengenalnya. Mereka hafal ritme aktivitasnya: kapan datang, kapan penghasilan bagus, dan kapan razia Satpol PP mulai merayap dari ujung jalan.
Risiko terserempet kendaraan tampak nyata, tetapi ia tetap bermain, seakan seluruh hidupnya bertumpu pada empat senar yang dipeluk erat itu.
Di sela jeda lampu merah, pengamen itu memperkenalkan diri. Namanya Deni (22), berasal dari Citayam, Depok.
“Awalnya saya pakai gitar kecil. Terus saya lihat teman pakai biola, saya minjem-minjem. Seminggu udah bisa,” kata Deni sambil tersenyum kecil.
Bagi Deni, biola bukan hanya alat musik, tetapi penyelamat hidup. Ia mulai belajar biola pada 2018, bermodal instrumen murah yang ia beli sendiri setelah merasa cepat menguasainya.
Menurut dia, kemampuan bermain melodi gitar memudahkan proses belajar biola.
“Biola itu nggak ada
grip
-nya, jadi
feeling
. Main
feeling
,” ujarnya.
Deni sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia lima tahun. Uang yang didapat dari hasil mengamen digunakan untuk keperluan keluarga.
“Buat kebutuhan anak sama istri, Kak. Itu aja,” katanya.
Setiap hari, ia bisa mengantongi pendapatan antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Pendapatan itu langsung ia serahkan kepada keluarganya.
“Tergantung Allah, Kak. Pernah dapat Rp 200.000, tapi jarang,” kata dia.
“Hari ini dapat Rp 100.000, buat istri dulu. Besok kalau dapat Rp 50.000 atau Rp 100.000, buat mamah,” uca Deni.
Selama mengamen, Deni sudah lima kali ditangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
“Pertama (ditangkap) 21 hari, karena enggak ada yang ngurusin. Biasanya 2–3 hari kalau diurus,” katanya.
Razia terjadi di banyak titik: Lenteng Agung, Pasar Minggu, Menteng, hingga saat ulang tahun Jakarta. Jika razia gabungan datang dengan mobil operasional, ia tak bisa lari.
Tak hanya razia, persaingan sesama pengamen biola atau pengamen lainnya juga menjadi tantangan tersendiri bagi Deni.
“Persaingan banyak, Kak. Tapi saya buat keluarga aja. Rezeki mah udah ada yang ngatur,” ujarnya.
Selain itu, ada pula komunitas pengamen biola di Senopati setiap akhir pekan. Deni jarang hadir, tapi mengingat nama seniornya, Bang John, yang berambut panjang.
“Di sana bahas nada, belajar-belajar. Enggak ada setor-setoran,” kata dia.
Deni biasanya mengamen sejak pukul 12.00 WIB hingga malam lalu pindah ke kolong Sekini (Sekip – Kuningan), area yang bercampur dengan pengamen lain dan manusia silver.
“Sukanya ada, dukanya banyak,” katanya pelan.
Laras (38), penjual minuman dan gorengan di trotoar dekat lampu merah Teuku Cik Ditiro, sudah 11 tahun berjualan di lokasi itu. Ia menyaksikan perubahan jenis pengamen dari tahun ke tahun.
“Dulu mah pengamen biasa. Yang biola baru ramai beberapa tahun ini. Saya mah enggak masalah, selama mereka sopan dan enggak maksa,” kata Laras.
Menurut dia, suara biola membuat suasana kadang lebih hidup.
“Kalau lagunya enak, pembeli malah suka nengok. Enggak bising kayak pengamen lain,” kata dia.
Namun, ia juga menyaksikan kerasnya hidup pengamen.
“Sering banget mereka dikejar Satpol PP. Ada yang biolanya hampir jatoh karena panik. Kasihan. Mereka nyari makan,” ujar Laras.
“Kalau gabungan, langsung diangkut. Susah lari, bawa alat musik,” kata dia.
Menurut Laras, jumlah pengamen meningkat dalam setahun terakhir. Banyak yang muda, tetapi tidak semuanya bertahan lama.
“Yang tahan cuma beberapa. Lainnya muncul hilang lagi,” tutur dia.
Relasi pedagang dan pengamen cenderung baik.
“Beberapa pengamen suka beli air minum di sini. Kalau lagi enggak ada uang, bilang dulu. Nanti dibayar. Saya ngerti lah,” ujar Laras.
Satpol PP Jakarta Pusat menegaskan bahwa pengamen tetap masuk dalam objek penertiban sesuai Perda Ketertiban Umum DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007.
Kepala Satpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean, menyampaikan bahwa aturan tersebut berlaku jelas.
Ia mengutip Pasal 40 Huruf a, dilarang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Huruf b, dilarang menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
Selanjutnya Huruf c, dilarang membeli atau memberikan uang/barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
“Untuk itu kita akan memberikan pemahaman dan penghalauan kepada mereka yang melanggar ketertiban umum. Bahwa mereka punya tempat untuk mengekspresikan keahliannya,” kata Purnama kepada
Kompas.com
, Kamis.
Penertiban dilakukan secara rutin, terutama di ruas-ruas jalan protokol, di antaranya Cikini, Menteng, dan Sudirman. Razia gabungan dengan mobil operasional dilakukan ketika situasi dianggap sudah mengganggu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Lebih dari Sekadar Mengamen, Sosiolog Nilai Pengamen Biola Tampilkan Kreativitas Tinggi Megapolitan 12 Desember 2025

/data/photo/2025/12/09/69378233851aa.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/11/693aab6015da0.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/11/11/69131db88ccc7.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/6937e0c897555.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/13/693c4a178181d.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693be03f5aeb8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)