Lahan Bekas Longsor Bisa Dimanfaatkan, tapi Risiko Tetap Mengintai
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com
– Lahan bekas permukiman yang terdampak longsor kerap dipandang sebagai “ruang kosong” yang menunggu pemanfaatan baru.
Namun di balik tanah yang tampak tenang, tersimpan jejak bencana yang menuntut kehati-hatian, perencanaan matang, dan pemahaman menyeluruh tentang karakter tanah serta lanskapnya.
Di Kampung Sirnasari, RT 07 RW 04, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, longsor yang terjadi pada 2023 lalu memaksa puluhan keluarga direlokasi.
Meski begitu, warga sekitar melihat
lahan bekas longsor
sebagai peluang yang sayang jika dibiarkan kosong. Dari kesadaran itu, mereka membentuk kelompok Tani Muda (KTM) Sirnasari untuk memanfaatkan lahan sebagai area pertanian dan peternakan.
Namun,
pemanfaatan lahan
bekas longsor tidak boleh dilakukan sembarangan. Tanpa strategi pemulihan yang tepat, aktivitas produktif justru bisa menimbulkan risiko baru bagi warga sekitar.
Pengamat lingkungan, Mahawan Karuniasa, menyebutkan riwayat longsor menjadi penanda bahwa wilayah tersebut memiliki kerentanan tertentu yang tidak bisa diabaikan.
Kerentanan ini mencakup kondisi tanah, sistem air, kemiringan lereng, hingga stabilitas bentang alam secara keseluruhan.
Dalam banyak kasus, longsor merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor, mulai dari curah hujan, beban tanah, hingga gangguan terhadap vegetasi alami.
“Pemanfaatan boleh dilakukan, tetapi hati-hati tentu saja. Dan dalam konteks rehabilitasi dan pengurangan risiko bencana,” kata Mahawan saat dihubungi, Kamis (25/12/2025).
Menurut dia, setiap aktivitas di lahan bekas longsor perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas lereng, aliran air, dan struktur tanah.
Tanpa perencanaan matang, pemanfaatan justru dapat mempercepat degradasi lingkungan yang sudah rapuh.
Mahawan menambahkan, aktivitas pertanian, kolam ikan, dan peternakan kerap menjadi pilihan warga dalam memanfaatkan lahan bekas longsor. Kegiatan ini relatif aman, asalkan dilakukan dalam skala kecil dan dengan pengelolaan yang cermat.
“Jadi, aktivitas pertanian, juga kolam ikan dan peternakan aman jika berskala kecil, tidak mengubah lereng secara signifikan, serta dilengkapi dengan pengelolaan tata air dan konservasi tanah,” jelasnya.
Masalah muncul ketika aktivitas berkembang tanpa kendali. Intensitas tinggi, perubahan kontur tanah, atau penambahan beban di lereng dapat memicu ketidakstabilan baru.
“Aktivitas yang intensif atau melampaui skala tertentu meningkatkan potensi ketidakstabilan lereng kembali,” ujar Mahawan.
Dalam jangka pendek, lahan bekas longsor hampir selalu berisiko mengalami erosi. Struktur yang rusak membuat tanah mudah tergerus, terutama saat hujan deras atau ekstrem.
“Tempatnya berlereng, tanahnya terkelupas, dengan adanya hujan, apalagi hujan ekstrim, tentu minimal erosi,” katanya.
Erosi tidak hanya merusak lahan, tetapi juga dapat menjadi pemicu bencana lanjutan, termasuk longsor susulan.
Pendekatan yang paling realistis adalah pemanfaatan terbatas dan terkendali, bukan menghentikan aktivitas sepenuhnya. Tujuannya memastikan pemanfaatan tidak melebihi daya dukung lahan.
“Oleh karena itu dalam jangka pendek, penerapannya memang pemanfaatan terbatas, terkendali,” ujar Mahawan.
Dengan pengelolaan tepat, lahan bekas longsor tetap bermanfaat bagi warga tanpa mengorbankan keselamatan jangka panjang.
“Dengan menjaga tutupan vegetasi itu nomor satu, kemudian stabilitas tanah, dan fungsi resapan. Sehingga risiko bisa ditekan, sekaligus memberikan manfaat sosial,” tambahnya.
Penanaman pohon sering dianggap sebagai solusi utama mencegah longsor. Namun, Mahawan menegaskan pendekatan ini memerlukan kehati-hatian.
“Penanaman pohon memang membantu memperkuat struktur tanah dan mengatur air. Namun ini harus hati-hati. Yang pertama, pohon bukan solusi tunggal,” katanya.
Karakter tanah berbeda menyebabkan penyebab longsor juga bervariasi. Tidak semua lahan bekas longsor dapat diperlakukan dengan cara yang sama.
“Jadi tidak serta-merta semua tanah longsor harus diperlakukan dengan cara yang sama,” jelasnya.
Pemanfaatan lahan bekas longsor juga mencerminkan adaptasi warga terhadap perubahan lingkungan dan keterbatasan ruang. Namun, adaptasi ini tidak selalu ideal.
“Memang ini bisa dilihat dari bentuk adaptasi warga terhadap perubahan lingkungan yang ada,” kata Mahawan.
Dalam banyak kasus, pemanfaatan kembali lahan bekas longsor merupakan respons atas tekanan kebutuhan ruang dan ekonomi.
“Bekas longsor dipakai kembali itu kan juga bentuk dari tekanan keterbatasan ruang,” ujarnya.
Adaptasi seharusnya bertujuan mengurangi risiko, bukan menimbulkannya di masa depan.
“Namun tentu saja jika itu sudah dilakukan dalam konteks adaptasi, ya memang disitulah. Karena memang adaptasi itu konsepnya adalah mengurangi risiko,” tambahnya.
Mahawan menekankan literasi lingkungan dan kebencanaan menjadi kunci pengambilan keputusan yang tepat.
Salah memilih tanaman atau tidak memahami karakter tanah dapat memperbesar risiko, bahkan penambahan vegetasi tertentu bisa meningkatkan potensi bahaya.
“Semakin dikasih tanaman, pohon yang berat, itu juga semakin risiko makin tinggi ada. Ada yang sebaliknya, karena semakin banyak tumbuhan di atasnya, tanahnya semakin kuat juga,” jelasnya.
Di Kampung Sirnasari, pemanfaatan lahan bekas longsor lahir dari inisiatif warga, bukan proyek instan. Sebelum longsor, kampung ini dihuni sekitar 81 keluarga. Setelah longsor, seluruh warga direlokasi, meninggalkan lahan kosong.
Ketua RW setempat, Dwi Anggraeni, menjelaskan gagasan memanfaatkan lahan muncul dari kesadaran warga sendiri.
“Jadi memang kita inisiatif ya, tadinya pula sudah ada kelompok gitu kan. Terus kebetulan kan di sini ada lahan dulu bekas longsor, daripada nggak dipergunakan, lebih baik kita pergunakan lah buat anak-anak lagi,” ujar Dwi saat ditemui, Rabu.
Seiring waktu, lahan dimanfaatkan untuk pertanian, peternakan, dan ruang belajar bagi generasi muda.
Kegiatan ini mendapat dukungan pemerintah, termasuk bibit tanaman dan sembilan ekor kambing dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP).
“
Alhamdulillah
kan kambing dari sembilan yang kita dikasihnya, sekarang sudah berkembang biak,” kata Dwi.
Kini, area bekas permukiman dihuni kolam ikan berair tenang berwarna kehijauan, kandang domba sederhana, serta area tanam dengan rak-rak
polybag
yang menunjang kegiatan produktif warga.
Papan nama KTD Sirnasari menjadi penanda bahwa lahan bekas longsor kini memiliki fungsi baru.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Lahan Bekas Longsor Bisa Dimanfaatkan, tapi Risiko Tetap Mengintai Megapolitan 26 Desember 2025
/data/photo/2025/06/18/6851f4877591b.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/22/694964dfe401a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/10/06/68e360a501962.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/26/694e1c26a5107.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/26/694e112a9e3e6.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/02/11/67aab099302e7.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)