Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kopi Jangkar, Ikon Oleh-oleh Singkawang yang Tetap Bertahan Sejak 1986 Megapolitan 20 Agustus 2025

Kopi Jangkar, Ikon Oleh-oleh Singkawang yang Tetap Bertahan Sejak 1986
Tim Redaksi
KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com –
Aroma kopi bubuk langsung menyapa begitu pintu kayu Toko Sumber Cahaya di Jalan Hasan Saad No. 2, Singkawang, dibuka.
Toko kecil di samping Pasar Ikan Singkawang ini sejak 1986 menjadi saksi lahirnya salah satu ikon kuliner, Kopi Jangkar.
Begitu masuk ke dalam, mesin giling tua masih berputar di pojok ruangan, sementara ember-ember besar penuh bubuk kopi memenuhi sudut ruangan berukuran sekitar 6 meter.
Rak kayu tua yang dipadati plastik kopi, aroma pekat yang menempel di dinding, hingga baju para karyawan menambah nuansa klasik yang sulit dipisahkan dari tempat ini.
Setiap hari sejak pukul 06.30 WIB, aktivitas penggilingan dimulai.
Biji kopi yang sudah disangrai dituang ke mesin besar, digiling hingga halus, lalu ditakar dengan timbangan manual sebelum dikemas ke dalam plastik bening berlogo jangkar kuning dan disegel dengan mesin pres sederhana.
Menurut Roki (19), karyawan asli Singkawang, kapasitas produksi harian bisa mencapai 100 kilogram bubuk kopi.
“Kadang ada pesanan sampai ratusan kilo, bukan cuma dari Singkawang, tapi juga Ngabang, Pemangkat, bahkan Jawa,” ujar Roki kepada Kompas.com, Rabu (20/8/2025).
Ia menambahkan, banyak pelanggan membeli Kopi Jangkar sebagai oleh-oleh.
“Yang paling khas itu Kopi Eka, tapi ada juga Arabica. Hari Minggu sama Kamis biasanya paling ramai, banyak yang ambil buat stok warung atau oleh-oleh,” katanya.
Kopi Jangkar menawarkan harga bervariasi, tergantung kualitas dan campurannya. Mulai dari Rp30.000 per kilogram untuk bubuk campuran jagung, hingga Rp190.000 per kilogram untuk kopi Arabica murni.
“Kalau yang Rp30 ribu itu campuran, 100 persen jagung. Kalau makin mahal, makin sedikit campurannya, bahkan ada yang murni kopi. Kalau Arabica itu bijinya besar-besar, rasanya juga agak asam,” jelas Roki.
Yudi (29), karyawan lain, menuturkan usaha ini telah berjalan hampir empat dekade sejak dimulai orang tuanya pada 1986.
“Awalnya orang tua yang mulai. Dari dulu sampai sekarang kami tetap pertahankan caranya. Kopi Jangkar ini sudah dikenal banyak orang, jadi harus dijaga kualitasnya,” kata Yudi.
Menurutnya, meski kedai kopi modern kian marak, Toko Sumber Cahaya tetap setia dengan cara tradisional.
“Orang cari rasa otentik. Banyak juga yang pulang kampung atau ke luar kota, mereka pasti bawa Kopi Jangkar buat oleh-oleh,” ujarnya.
Di tengah hiruk-pikuk pelanggan yang datang silih berganti, mesin tua terus berputar, menggiling biji kopi menjadi bubuk pekat.
Toko Sumber Cahaya seolah tidak pernah kehilangan denyut, menjaga cita rasa Kopi Jangkar yang telah menjadi bagian dari Singkawang selama hampir empat dekade.
Ekspedisi wilayah perbatasan ini merupakan kerja sama redaksi Kompas.com dengan Badan Nasional Pembangunan Perbatasan (BNPP).
Selain di PLBN Aruk, ekspedisi serupa juga dilaksanakan di PLBN Motaain dan PLBN Motamasin.
Anda dapat mengikuti kisah perjalanan kami beserta liputan perayaan ulang tahun Indonesia di topik pilihan
HUT ke-80 RI 2025
.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.