Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kisah Mamiek Jauhkan Warga Ciracas dari Judol dan Rentenir Lewat Koperasi Megapolitan 11 Desember 2025

Kisah Mamiek Jauhkan Warga Ciracas dari Judol dan Rentenir Lewat Koperasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di tengah derasnya arus pinjaman
online
(pinjol) dan praktik rentenir, fenomena ini bukan lagi hal asing bagi warga ekonomi menengah ke bawah.
Setiap hari, banyak keluarga menghadapi tekanan finansial yang membuat mereka terpaksa meminjam uang dengan bunga tinggi, kadang tanpa tahu pasti kapan bisa melunasinya.
Akibatnya, utang yang kecil bisa berkembang menjadi beban yang berat, menimbulkan stres dan konflik di rumah tangga.
Di tengah kondisi itu, hadirnya alternatif aman untuk mengakses modal usaha menjadi sangat penting.
Koperasi Flamboyan lahir dengan misi tersebut. Bukan sekadar koperasi biasa, tetapi wadah yang memungkinkan warga, terutama ibu rumah tangga, mendapatkan modal legal dengan bunga rendah, agar mereka tidak perlu berurusan dengan
pinjol
atau rentenir.
Koperasi ini menjadi benteng ekonomi dan perlindungan sosial, menawarkan kepastian dan keamanan bagi anggota yang ingin memulai usaha, sekaligus menghindari jerat utang yang menyesakkan.
Suyatmi, atau yang akrab disapa Mamiek, adalah sosok yang menginisiasi kelompok ini.
Dari seorang ibu rumah tangga biasa, ia memimpin perjuangan membangun kelompok yang kemudian menjadi Koperasi Flamboyan.
Semua berawal dari kegiatan sederhana belajar membuat kue bersama, berbagi ilmu, dan melihat peluang untuk memperkuat ekonomi warga di lingkungannya.
Pada 1992, Mamiek bergabung dalam kelompok yang dibentuk oleh LSM Pusat Pengembang Sumber Daya Wanita (PPSW).
Kelompok ini berisi ibu-ibu rumah tangga dari sejumlah RT dan RW di Ciracas, yang ingin mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Awalnya, kegiatan kelompok tidak fokus pada usaha ekonomi, melainkan sekadar pertemuan belajar dan berbagi pengalaman.
“Jadi kelompok Pelamboyan itu dari tahun 1992. Yang memang awalnya sebenarnya Koperasi Flamboyan itu tidak langsung jadi koperasi, tetapi berbentuk kelompok dulu,” ujar Mamiek ketua Badan Pengawas saat ditemui di Koperasi Flamboyan, Rabu (3/12/2025).
Setiap pertemuan, anggota kelompok belajar membuat kue sederhana. PPSW menghadirkan instruktur untuk memandu proses, mulai dari bahan hingga teknik memasak.
Ibu-ibu tidak langsung mendapatkan target penjualan. Kegiatan ini lebih untuk mengenalkan keterampilan dan memberi pengalaman langsung.
“Pertemuan ini membentuk kelompok wanita, belum tahu arahnya kemana dan kegiatannya apa. Setelah itu ibu-ibu itu, ada yang jawab mau kerja dapat duit, terus dikasih kegiatan, itu pertama pertemuan,” kata dia.
Setelah beberapa bulan belajar membuat kue, kelompok mendapat peluang untuk mempraktikkan keterampilan itu dengan modal dari PPSW.
Ibu-ibu diberi modal untuk membuat kue, lalu mereka diperkenankan mengonsumsi atau mencoba hasilnya. Hal ini menjadi awal pengenalan pada konsep usaha dan manajemen sederhana.
“Dari PPSW menghadirkan untuk memberikan ilmu membuat kue, juga bilang bahwa ilmu ini silahkan ibu pakai, nanti kalau umpama ada biaya, ada bahan bisa diterapkan,” ujar dia.
Seiring waktu, Mamiek mulai menyadari kebutuhan warga sekitar akan modal yang terjangkau. Ia melihat banyak tetangganya terpaksa meminjam uang dari rentenir, yang memicu utang berkepanjangan dan tekanan finansial.
Dari situ, perempuan yang dikenal sebagai Mamiek menyadari bahwa tetangganya terjebak utang pada rentenir dengan bunga tinggi tidaklah sedikit, ia pun merasa prihatin.
“Saya kalau siang itu ko dia (tetangga) sama orang (tak dikenal) itu dia bawa buku terus di kasih secarik kertas kecil,
‘itu apa’
. Saya tanya, katanya itu untuk pinjam uang untuk modal (jualan) ini,” jelas dia.
Dia kemudian mengajak kelompoknya untuk melakukan kegiatan yang dapat membantu masyarakat sekitar terutama yang memiliki usaha.
Dengan semangat untuk memberikan manfaat lebih dia mencoba menawarkan kegiatan baru agar kelompok tetap berjalan dan dapat melakukan aktivitas yang lebih berguna.
“Setelah ada beberapa orang, jadi saya bilang ke PPSW, saya kepengin meminjamkan modal sama orang-orang yang usaha kecil ini tetapi saya enggak punya uang,” ujar dia.
Berdasarkan niat untuk membantu Mamiek kemudian meminta lembaga swadaya masyarakat yang membimbing kelompoknya untuk mengajarkan mereka membentuk koperasi simpan pinjam.

‘Yaudah Bu Mamiek kumpulin lagi’.
 Dapat lagi yang mau tuh 20 orang. Nah, 20 pulang orang setelah berjalan selama setengah tahun tinggal enam orang,” kata dia.
Seiring berjalannya waktu, Mamiek mulai belajar seluk-beluk pengelolaan koperasi dari pendamping PPSW.
Awalnya 20 ibu-ibu ikut, kemudian berkurang menjadi enam. Lalu, sistem ini menjadi fondasi Koperasi Flamboyan.
Anggota dapat meminjam modal secara resmi, dengan pencatatan yang jelas dan pengembalian terukur.
“Setelah itu dibentuklah koperasi itu terus mulai pakai buku, ada namanya, nanti ada simpanan pokok, ada simpanan wajib ada simpanan sukarela, simpan khusus dan lain-lain,” ujar dia.
Meski awalnya sendiri Mamiek tak cara mengelola sebuah lembaga koperasi.
“Saya enggak tahu umpama kooperasi atau prakoperasi itu saya enggak tahu mengelolanya, enggak tahu caranya. Saya bilang gitu,” ujar dia.
Ia bilang, meski belum menguasai teknis, tekadnya kuat untuk memberikan manfaat nyata bagi warga.
“Saya hanya kepengen membantu moda sama orang-orang itu tetapi bukan dari saya Istilahnya dari bersama, dari perkumpulan kelompok kita,” kata Mamiek.
Seiring berjalannya waktu, Mamiek mulai melihat peluang untuk memperluas jangkauan koperasi yang dibentuknya.
Ia menyadari, tidak cukup hanya membantu anggota awal, tetapi perlu ada sistem yang menjangkau warga dari berbagai RT di sekitar wilayahnya.
Dengan tujuan agar semakin banyak warga yang terbantu dan memiliki akses modal usaha, Mamiek mulai menyusun strategi distribusi serta pembinaan kelompok baru.
Selain itu, dia memperhatikan kebutuhan warga untuk tetap bisa berpartisipasi meski kemampuan finansial berbeda-beda.
Ia mulai menetapkan sistem simpanan yang terjangkau agar anggota tetap bisa menabung dan meminjam dengan nyaman tanpa terbebani.
“Simpanan waktu itu, simpanan pokok Rp 2.000, simpanan wajib kalau enggak salah Rp 300 satu minggu, terus sebulan Rp 1.200,” kata dia.
Lebih dari sekadar simpanan, Mamiek juga mengambil kesempatan dari program subsidi beras yang diberikan oleh PPSW.
Hal ini memungkinkan koperasi menjangkau lebih banyak warga, tidak hanya anggota resmi.
Ia mulai membagikan beras subsidi agar warga yang membutuhkan bisa mendapat manfaat langsung dan mengenal koperasi sebagai lembaga yang dapat diandalkan.
Pada saat krisis moneter di tahun 1996, Mamiek menyebut Flamboyan sebagai salah satu kelompok yang diakui PPSW untuk menyalurkan bantuan subsidi beras.
Kepercayaan ini memberinya kesempatan untuk mengembangkan koperasi lebih jauh dan memberikan dampak lebih luas kepada warga yang memerlukan.
“Itu dulu saya ingat banget, harganya Rp 2000 satu liter, berasnya bagus, pokoknya layak banget konsumsi,” ujar dia.
“Terus, di sini PPSW kan hanya menyarankan, jadi kalau tiap satu karung itu hanya bisa dijual kembalikan ke PPSW uangnya waktu itu seribu setiap seliter,” sambung dia.
Dari situ, kata Mamiek, ia melihat bagaimana hal ini membuat koperasi Flamboyan semakin dikenal dan dipercaya di lingkungan sekitar.
“Terus saya berpikiran gini, untuk memperbanyak orang yang kami bantu memperluas kelompok kita bisa dikenal saya bagi setiap RT itu 5 kantong, yang bukan sebagai anggota,” kata dia.
Setelah warga melihat manfaat koperasi dan distribusi beras ini, antusiasme untuk bergabung juga meningkat.
Banyak warga dari RT lain yang ingin ikut serta, sehingga Mamiek mulai membentuk kelompok baru untuk menjangkau lebih banyak orang.
“Nah, setelah adanya subsidi beras ini dari RT-RT lain itu ngeliat ini dari koperasi mana sih gitu. Koperasi ada di deket Mustika Ratu, boleh nggak saya jadi anggota gitu,” kata dia.
“Setelah itu di sana, di RT 1 itu ada kelompoknya namanya Anggrek, setelah itu karena memang waktu dulu juga masih ada subsidi kita berikan setelah sana kelompoknya juga mulai lumayan,”katanya.
Mamiek juga menetapkan bahwa setiap kelompok baru setidaknya harus memiliki 20 anggota agar koperasi bisa berjalan efektif.
“Saya menyarankannya gini,
‘ini kan pra koperasi ya Bu, jadi setiap kelompok paling tidak ada 20 orang, itu baru dinamakan pra kooperasi’
,” ujarnya.
Perlahan, jaringan koperasi pun bertambah. Mamiek membentuk unit-unit baru di wilayah lain untuk memperluas dampak koperasi.
“Nah terus lama-lama bertambah di kelompok itu, kelompok itu lancar tuh, jadi saya punya Mustika, di sana punya Anggrek nah setelah Anggrek itu maksud saya kan RT-RT lain juga bisa bentuk,” kata dia.
Kemudian, singkat cerita sudah ada 12 unit koperasi, meski belum berbadan hukum, namun sudah memiliki kas untuk memberikan pinjaman awal kepada anggota.
“Sampai waktu itu memang 12 unit nah itu belum kita belum punya badan hukum tetapi kita sudah punya uang dan sudah bisa meminjamkan pinjaman awal itu Rp 15.000,” kata dia.
Meski awalnya, anggota malu untuk meminjam karena takut dilihat orang lain, tetapi seiring berjalannya waktu, kepercayaan terhadap koperasi tumbuh.
“Rp15.000 mau minjam aja orang-orang pada malu-malu kalau minjam di sini emang kenapa Bu dilihat teman-teman, orang-orang loh enggak apa-apa Bu, ini kan pinjaman resmi,” kata dia.
Setelah koperasi berjalan lancar dan jangkauannya semakin luas, Mamiek mulai berpikir agar koperasi memiliki legalitas yang jelas.
Hal ini penting untuk memperkuat keberadaan koperasi di mata masyarakat dan mempermudah pengelolaan serta pengawasan keuangan.
Proses berbadan hukum tentu tidak mudah, tetapi menjadi langkah penting untuk memastikan koperasi tetap bertahan dan berkembang.
“Kita bisa bikin badan hukum tahun 99 itu yang prosesnya tidak gampang ternyata kita harus balik-balik ke Sudin” ungkapnya.
Dengan adanya badan hukum, Mamiek merasa koperasi lebih kuat dan diakui secara resmi, sehingga warga sekitar lebih percaya untuk menjadi anggota dan memanfaatkan layanan simpan pinjam.
Legalitas ini juga membuat koperasi dikenal lebih luas di masyarakat dan lingkungan sekitar, meningkatkan kredibilitasnya.
“Nah setelah kooperasi ini berbadan hukum itu tadi alasan saya yaitu saya biar lebih kuat koperasi ini disahkan dan juga dikenal lingkungan,” tutur dia.
Badan hukum ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan koperasi Flamboyan.
Dengan pengelolaan yang lebih terstruktur dan diakui secara resmi, koperasi tidak hanya membantu anggota awal tetapi juga mampu menjangkau lebih banyak warga yang membutuhkan akses modal usaha.
Seiring perjalanan waktu, Koperasi Flamboyan berhasil menarik perhatian lebih banyak warga. Anggota yang awalnya hanya puluhan orang kini berkembang menjadi ratusan, tersebar di beberapa unit di berbagai RT.
Hal ini menandakan kepercayaan warga terhadap koperasi semakin kuat, terutama dalam memberikan akses modal yang aman dan terjangkau.
“Kemarin itu sempat di tahun 2020 sebelum COVID sampai melejit karena ada harian itu sampai 4.000 terus sekarang karena harian bermasalah baru-baru ini jadi saya cut,” kata dia.
Meski jumlahnya sempat melonjak drastis, Mamiek menekankan pentingnya pengelolaan anggota dan keuangan yang tertib agar koperasi tetap berjalan efektif.
Ia menyebut sempat Koperasi Flamboyan sempat beranggotakan 700 orang.
Namun, kata dia, tetap ada evaluasi rutin guna memastikan setiap pengurus memahami kondisi keuangan dan perkembangan anggota.
“Sekarang sekitar 600 atau 700 (anggota) karena setiap bulan kita tetap melakukan evaluasi untuk pengurus-pengurusnya,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.