Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kisah Lita Kubur Mimpi Jadi Pramugari, Terpaksa Bertahan Hidup Jadi Manusia Silver Megapolitan 12 Desember 2025

Kisah Lita Kubur Mimpi Jadi Pramugari, Terpaksa Bertahan Hidup Jadi Manusia Silver
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Profesi pramugari kerap kali menjadi cita-cita banyak perempuan muda di Indonesia.
Melayani penumpang di atas pesawat dengan penampilan menarik merupakan mimpi perempuan asal Tanjung Priok, Jakarta Utara, bernama Lita (20) sejak kecil.
Memiliki postur tubuh yang tinggi dan semampai, membuat Lita yakin bila dirinya bisa menjadi
pramugari
sukses dan mengubah nasib keluarga.
Namun sayangnya,
keterbatasan ekonomi
membuat Lita tak bisa bersekolah dan terpaksa mengubur cita-citanya menjadi seorang pramugari.
Bukan hanya keterbatasan biaya, tak menetapnya tempat tinggal orangtua Lita juga jadi penyebab ia sulit mengenyam bangku pendidikan.
“Mamah pindah ke kampung, ke Jakarta, bolak-balik jadi terhambat sekolahnya,” kata Lita saat diwawancarai Kompas.com di tempat tinggalnya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (11/12/2025).
Sampai akhirnya di usia 17 tahun, ia terjebak pergaulan bebas dan membuatnya hamil di luar nikah.
Sejak itu pula, Lita semakin mengubur dalam cita-citanya sebagai seorang pramugari.
Kini, ibu muda itu mengaku begitu menyesal karena tidak melanjutkan sekolah untuk mengejar cita-citanya waktu itu.
“Saya jujur aja kalau belum punya anak, saya pengin sekolah, pengin mengejar cita-cita lagi gitu jadi pramugari,” tutur Lita sambil merenung.
Namun, karena sudah berkeluarga, fokusnya tak lagi mengejar cita-cita sebagai pramugari, melainkan mencari
pekerjaan
yang bisa memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sebab, penghasilan suaminya sebagai juru parkir kerap kali tak memenuhi kebutuhan keluarga di rumah, sehingga Lita harus ikut banting tulang.
Lita mengaku, meski tak memiliki ijazah dirinya pernah bekerja sebagai penjaga toko dan konveksi.
Namun, mata pencaharian Lita hilang ketika masuknya Pandemi Covid-19 ke Indonesia dan menyebabkan PHK terjadi secara besar-besaran.
Menjadi salah satu korban PHK membuat Lita sempat kebingungan karena tak bisa lagi membantu suaminya untuk mencari nafkah.
Di sisi lain, ia membutuhkan uang untuk membiayai kehidupan ibu dan anaknya, belum lagi membayar sewa kontrakan.
Pendapatan suaminya seringkali hanya cukup untuk makan.
Di tengah kebingungan, Lita melihat tetangganya bernama Hendrik memilih untuk menjadi
manusia silver
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Pas dia nyilver, kita tanya emang dapatnya gede, dia bilang iya gede coba aja,” ucap Lita.
Merasa penasaran, akhirnya Lita mulai mencoba melemuri wajah, leher, kaki, dan tangannya dengan cat berwarna silver dan beraksi di lampu merah Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.
Dalam percobaan pertama menjadi manusia silver, ia mengaku mendapat banyak uang, sehingga masih lebih meski sudah digunakan untuk membeli makan.
Sejak itu pula, Lita memantapkan diri untuk menggeluti profesi sebagai manusia silver demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga hingga saat ini.
Bukan hanya Lita, profesi sebagai manusia silver juga kini menjadi andalan kakak, ponakan, hingga tetangganya yang lain untuk mengais rezeki.
Ia bilang, jika ditotal ada sekitar 14 orang manusia silver yang tinggal satu lingkungannya.
“Di sini kalau lagi banyak mah bisa 13 – 14 orang, tapi kan enggak setiap hari semua, kayak anak-anak kecilnya kan sekolah semua, jadi menyilvernya itu cuma Sabtu dan Minggu buat jajan lebih,” ujar dia.
Di depan pintu-pintu kontrakan semi permanen persis di samping rel kereta api Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, belasan manusia silver bersolek setiap paginya sebelum pergi mencari rezeki.
Cat sablon berwarna silver yang dicampur minyak sayur mereka lumuri ke rambut, wajah, leher, tangan, dan kaki.
Wajah Lita yang begitu manis langsung tak bisa dikenali setelah tertutup cat berbahan kimia itu.
Setelah selesai mengecat tubuh, para manusia silver itu beramai-ramai menyusuri pinggir rel kereta api untuk mencari tumpangan kontainer yang mau mengantarkannya ke depan lampu merah Eporium Pluit Mal, Penjaringan, Jakarta Utara, tempat mereka mengais rezeki.
Dengan bermodalkan ember berwarna putih yang ia sodorkan kepada para pengendara, mereka berharap ada sedikit rezeki yang bisa didapatkan setiap harinya.
Lita mengaku, menjalani profesi sebagai manusia silver bukan keinginan dirinya dan keluarga.
Namun, karena sedikitnya peluang pekerjaan dan adanya desakan ekonomi membuat mereka mau tidak mau menjalani pekerjaan ini.
“Kalau ada kerjaan lain juga saya enggak mau, siapa sih yang mau dicat-cat kayak orang gila begini,” ungkap Lita.
Meski begitu, ia tetap merasa bersyukur karena bisa berpenghasilan meski hanya sebagai manusia silver.
Dalam satu hari, Lita bisa mendapatkan uang sekitar Rp 50.000 – Rp 120.000 per hari.
Uang itu ia gunakan untuk membeli makan dan membantu suaminya untuk membayar kontrakan, serta membeli kebutuhan anak.
“Kalau dibilang cukup enggak cukup dicukup-cukupin mau gimana lagi. Kontrakan aja Rp 350.000, udah tiga tahun tinggal di sini,” tutur Lita.
Orangtua Lita bernama Sadiah (63) mengaku begitu sedih karena putri dan cucunya yang masih berusia 12 tahun harus menjadi manusia silver.
“Aduh bukan sedih lagi, kalau ada kerjaan yang layak mah mendingan yang lain, siapa orangtua yang enggak mau lihat anaknya senang kan enggak ada,” kata Sadiah.
Di setiap malam, Sadiah memanjatkan doa agar nasib putri dan cucunya bisa berubah dengan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik supaya tidak bekerja di jalanan sebagai manusia silver.
Namun, di tengah usianya yang tak lagi muda, Sadiah tak bisa berbuat banyak, sebab ia juga menggantungkan hidupnya di Lita.
“Kalau saya mampu, saya enggak mau anak-anak di jalanan, dicat gitu badannya enggak ada cuma karena keterpaksaan daripada enggak makan,” tutur dia.
Meski harus menahan sedih ketika melepas putrinya bekerja sebagai manusia silver, Sadiah tetap merasa bersyukur.
“Tapi, Alhamdulillah enggak ada yang maling, nyolong, daripada kriminal mending jadi manusia silver enggak apa-apa lah,” jelas dia.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai fenomena manusia silver ini erat kaitannya dengan masalah ekonomi.
“Secara ekonomi menunjukkan bahwa fenomena ini berkaitan dengan isu ekonomi seperti kondisi lapangan pekerjaan, kemiskinan, orang butuh pekerjaan, butuh kehidupan, butuh penghasilan, nah ini harus dipahami,” jelas dia.
Sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab untuk mengatasi kemunculan para manusia silver dengan melakukan berbagai upaya.
Misalnya, dengan melakukan pembinaan, menyediakan lapangan pekerjaan, pelatihan keterampilan, agar mereka tidak lagi menjadi manusia silver.
Rakhmat menyarankan, agar Dinas Sosial lebih aktif dalam melakukan pendekatan berbasis ekonomi agar manusia silver mau mengikuti pembinaan dan mencari pekerjaan lain.
Sosiolog itu juga mengingatkan bahwa penertiban yang berkali-kali dilakukan bukan merupakan solusi efektif untuk para manusia silver.
“Penertiban menurut saya enggak bisa karena ini kreativitas, sama seperti badut, ondel-ondel, odong-odong, orang udah berjuang hidup, negara tidak bisa membubarkan, menertibkan secara semena-mena,” ujar dia.
Jika penertiban dilakukan semena-mena maka akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks di mana pemerintah dapat dinilai melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan lain-lain, sehingga negara harus berhati-hati.
Akar masalah persoalan manusia silver adalah ekonomi, maka pemerintah bisa fokus melakukan perbaikan di bidang itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.