Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kisah Ester, Anak Parentless yang Melawan Luka Masa Kecil dengan Prestasi Megapolitan 29 Desember 2025

Kisah Ester, Anak Parentless yang Melawan Luka Masa Kecil dengan Prestasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Pelukan hangat seorang ayah tak lagi bisa dirasakan Ester (bukan nama sebenarnya, 35) sejak ia berusia lima tahun.
Pada 1995, Ester dan ketiga kakaknya ditinggalkan oleh kedua orangtuanya yang memutuskan bercerai. Sejak saat itu, mereka harus melanjutkan hidup bersama kakek dan neneknya.
Bagi Ester, kakek dan neneknya mampu menggantikan peran ayah dan ibu dalam mengasuh serta mendidiknya.
Meski begitu, tumbuh tanpa kehadiran kedua orangtua bukanlah hal yang mudah baginya. Tak jarang, Ester justru menjadi sasaran perundungan karena tumbuh tanpa sosok ayah dan ibu.
“Dulu ada orangtua temen yang
bully
saya, karena ketidakadaan ayah dan ibu, itu sangat menyakitkan. Bikin
down
banget,” ujar Ester ketika diwawancarai
Kompas.com
di wilayah Jakarta Selatan, Rabu (24/12/2025).
Bahkan, Ester juga di-
bully
teman-temannya karena kedua orangtuanya tak ada dan tak pernah hadir dalam berbagai aktivitas di sekolah, termasuk mengambil rapor.
Wanita berdarah Madura, Jawa Timur, itu sering kali harus mengambil rapor sendiri lantaran kakek dan neneknya sibuk mengurus banyak hal.
Mendapat
bully
-an hanya karena hidup tanpa sosok orangtua membuat Ester menyimpan rasa dendam. Namun, ia memilih menyalurkannya ke arah positif dengan berprestasi.
Hinaan yang ia terima, terutama dari orangtua teman-temannya, justru menjadi pemicu semangat untuk terus belajar dan membuktikan bahwa dirinya mampu berprestasi meski tanpa dukungan ayah dan ibu.
“Saya belajar dan latihan banget-banget sampai bisa juara siswa teladan se-kabupaten, sementara anak dia enggak bisa capai,” ungkap Ester.
Kebiasaan rajin belajar terus dipertahankannya hingga ia kerap mendapatkan rangking di kelas.
Ia juga aktif mengikuti berbagai lomba, baik di dalam maupun di luar sekolah, agar bisa terus berprestasi dan tak diremehkan.
“Saya enggak mau diremehkan gara-gara sesuatu yang bukan salah saya. Kan kita anak-anak cuma menerima nasib, kalau orangtua pergi itu bukan salah kita. Jadi, saya pikir, saya mau jadi orang keren aja di sekolah. Kalau kita keren dan serba bisa, teman-teman akan percaya, guru-guru akan percaya, akan ada banyak kesempatan,” jelas Ester.
Momen mengambil rapor sering kali membuat Ester merasa begitu sedih meski dirinya merupakan sosok yang berprestasi dan sering mendapat ranking,
Ia selalu iri ketika orangtua murid datang ke sekolah mengambil rapor anaknya dengan bangga. Sementara itu, Ester harus menerima hasil jerih payahnya selama satu semester seorang diri.
“Waktu SD saya banyak juara, banyak dapat piala, tapi enggak ada satu pun rapot saya yang diambilin orangtua, enggak ada satu pun pas saya juara dapat apa pulangnya dijemput orangtua. Anak-anak lain kan dijemput orangtuanya, padahal yang juara satu saya, di situ merasa sedih,” ungkap Ester.
Piala sebesar apa pun yang ia raih terasa kurang bermakna karena tidak ada ucapan selamat dari orangtuanya. Ucapan selamat hanya ia dapatkan dari guru pendamping setiap kali menjuarai lomba.
Begitu pula saat menerima rapor dengan nilai yang baik, Ester memilih menutupnya rapat-rapat dan langsung pulang ke rumah. Dalam hatinya, ia selalu berharap bisa menunjukkan hasil rapor tersebut kepada kedua orangtuanya.
Setelah bertumbuh dewasa, wanita yang bekerja sebagai karyawan swasta itu tidak lagi mau berharap kepada kedua orangtuanya.
“Akhirnya sadar, enggak usah terlalu berharap lagi sama yang tidak bisa diharapkan. Toh ada atau tidak orangtua kita bisa bersinar,” tegas dia.
Meski pahit, Ester menjadikan pengalaman berjuang hidup tanpa orangtua hingga mendapat hinaan menjadi suatu pembelajaran berharga.
Kini, ia selalu berusaha fokus dan melakukan yang terbaik untuk hal-hal yang sedang dikerjakan, meski ada atau tidaknya dukungan dan apresiasi dari orang-orang sekitar.
Tak adanya sosok orangtua tak lagi membuat Ester merasa terpuruk. Ia tetap bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik lagi.
Kini, Ester mengaku terus tumbuh menjadi sosok yang kuat dan percaya diri dalam menghadapi dunia dan berbagai rintangan hidup.
Sejak duduk di bangku sekolah, ia merasa harus tumbuh dewasa lebih cepat dan menentukan tujuan hidupnya sendiri karena tidak ada arahan dari orangtua.
“Karena kita tahu kalau pulang ke rumah cuma ada kakak-kakak yang juga sama-sama masih berjuang dan masa depannya belum pasti semua,” tutur Ester.
Selain menjadi pribadi yang lebih kuat, Ester juga mengaku lebih ikhlas menjalani hidup karena sejak kecil terbiasa menghadapi ketidakpastian.
Meski begitu, hatinya tetap terasa perih setiap kali melihat anak-anak yang mendapatkan kasih sayang penuh dari orangtuanya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan.
Pengalaman pahit perceraian orangtuanya membuat Ester menyimpan rasa takut untuk menikah.
“Sama takut banget menikah dan berkeluarga, takut banget,” jelas dia.
Ester berpesan, untuk para ayah atau calon ayah di luar sana agar tidak pernah meninggalkan buah hatinya dalam kondisi apa pun.
“Kalau belum siap punya anak, mending banget jangan punya anak,” ungkap Ester.
Ia bilang, satu kali seorang ayah membuat anak sedih dan terluka, maka akan membekas selamanya dan sulit disembuhkan seperti apa yang ia alami saat ini.
Selama ini, peran ayah dalam keluarga kerap dinilai cukup dengan bekerja dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Sementara pengasuhan anak sepenuhnya dibebankan kepada ibu.
Padahal, ayah juga memiliki peran penting dalam mendampingi dan mengawasi tumbuh kembang anak.
Anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah berisiko mengalami kecemasan dan kurang percaya diri.
“Anak yang tumbuh tanpa sosok ayah mungkin rentan mengalami kecemasan, tumbuh dengan kepercayaan diri yang kurang optimal, serta sulit membina hubungan atau relasi,” kata Psikolog dari Rumah Sakit (RS) Pondok Indah Bintaro Jaya, Jane Cindy Linardi, saat dihubungi
Kompas.com
, Senin.
Menurut Jane, ayah seharusnya terlibat aktif dalam kehidupan anak sejak bayi hingga dewasa, mulai dari menemani bermain, mengantar sekolah, memberi makan, hingga mengambil rapor dan lain sebagainya.
Sebagai upaya meningkatkan peran ayah, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meluncurkan Gerakan Ayah Mengambil Rapor ke Sekolah.
Program tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kemendukbangga/BKKBN Nomor 14 Tahun 2025 tentang Gerakan Anak ke Sekolah yang ditandatangani Kepala BKKBN, Wihaji, pada 1 Desember 2025.
Dalam surat edaran itu, BKKBN menyatakan bahwa Gerakan Ayah Mengambil Rapor ke Sekolah bertujuan untuk memperkuat perannya dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak dini.
Sebagian ayah di berbagai daerah pun mengikuti gerakan tersebut, bahkan banyak dari mereka yang sengaja cuti bekerja demi bisa mengambil rapor anaknya di sekolah.
Jane menilai, Gerakan Ayah Mengambil Rapor ke Sekolah merupakan langkah yang baik untuk memperkuat perannya.
“Gerakan tersebut merupakan langkah awal yang baik, agar ayah dapat lebih sadar dan mengetahui perkembangan belajar anak, kekuatan anak di sekolah, serta apa yang perlu ditingkatkan dari kemampuan anak,” tutur Jane.
Namun, mengambil rapor ke sekolah saja tetap tidak cukup untuk membuat anak merasakan kehadiran ayah dalam hidupnya.
Jane menyarankan agar para ayah tetap bisa meluangkan waktu untuk anak-anaknya meski hanya 20 menit setiap pulang bekerja.
Jika ada waktu luang di hari libur, ayah juga bisa mengajak buah hatinya pergi ke luar rumah berdua untuk melakukan berbagai aktivitas yang disukai.
Dengan begitu, anak akan merasa bahwa ayahnya benar-benar hadir dalam hidup dan membuat mereka semakin percaya diri dalam melakukan sesuatu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.