Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Ketika UMR Tak Cukup Hidup Layak, Pekerja Bertahan dari Gaji ke Gaji Megapolitan 18 Desember 2025

Ketika UMR Tak Cukup Hidup Layak, Pekerja Bertahan dari Gaji ke Gaji
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– UMR Jakarta 2025 yang hampir sebesar Rp 5,4 juta terlihat cukup secara nominal. Namun bagi banyak pekerja, angka itu tak cukup untuk hidup layak.
Sebagian besar gaji habis untuk kos, makan, dan transportasi, sehingga mereka harus hidup dari gaji ke gaji.
Di balik angka
UMR Jakarta
2025 itu, banyak pekerja terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dasar.
Putri Lestari (25) memahami betul ritme hidup itu. Perempuan asal Jawa Tengah ini sudah enam tahun merantau ke Jakarta.
Dua tahun terakhir, ia bekerja sebagai admin media sosial di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, dengan gaji sekitar Rp 5,4 juta per bulan setara UMR Jakarta.
“Paling besar itu kos, makan, dan transportasi,” kata Putri saat ditemui di Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Kos Putri Rp 1,5 juta per bulan, transportasi Rp 500.000–700.000 per bulan. Sisa gaji dibagi untuk makan, pulsa, internet, kebutuhan harian, dan tabungan.
Kadang niat menabung, tapi begitu ada kebutuhan tak terduga, tabungan langsung habis.
Menjelang akhir bulan, Putri menekan pengeluaran, mengurangi makan di luar, dan menunda belanja.
“Rasanya gaji itu cepat banget habis, padahal baru pertengahan bulan,” ujarnya.
Hiburan dan rencana masa depan pun dikorbankan, termasuk rencana menikah yang ditunda.
Dilla (23), personal assistant di Jakarta Selatan, bergaji sedikit di atas UMR, sekitar Rp 6 juta.
Ia harus membayar kos Rp 2,2 juta di Kemang dan transportasi Rp 400.000–500.000 per bulan.
“Bisa nabung, tapi mepet banget. Nabungnya pelan-pelan,” kata Dilla.
Menjelang akhir bulan, ia mengurangi jajan, membawa bekal, dan mengandalkan fasilitas kos sebagai “healing” murah.
“Menurut aku, di atas Rp 10 juta baru bisa dibilang layak, apalagi kalau mau menabung lebih banyak,” ujarnya.
Dengan penghasilan saat ini, hiburan dan relasi sosial menjadi korban utama.
Aditya Riski Nugroho (28), sales di Jakarta Pusat, tinggal di Bogor bersama istri dan anaknya. Gajinya sekitar Rp 5 juta.
Pengeluaran terbesar untuk rumah tangga, anak, dan ongkos pulang-pergi Bogor–Jakarta Rp 700.000–1 juta per bulan.
“Bisa nabung itu kalau digabung sama penghasilan istri. Jadi tabungan kami itu tabungan keluarga,” kata Aditya.
Menurut dia, UMR hanya terasa cukup jika dua orang dalam rumah tangga bekerja.
Hiburan nyaris dihapus, liburan jarang, waktu istirahat sering dikorbankan, dan cicilan motor menjadi prioritas.
Pengamat ekonomi M. Rizal Taufikurahman menilai UMR Jakarta terlihat tinggi secara nominal, tapi belum mencerminkan hidup layak.
“Struktur biaya hidup didominasi oleh perumahan dan transportasi yang sulit dikompresi,” kata Rizal.
UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum bertahan hidup, bukan jaminan hidup layak.
Kenaikan UMR sering habis menutup pengeluaran rutin, bukan untuk menambah kesejahteraan.
Konsumsi rumah tangga bersifat defensif, minim tabungan, dan kota tetap mahal tapi tidak sejahtera.
Rista Zwestika, perencana keuangan mengatakan, besaran UMR di Jakarta saat ini pada dasarnya hanya menutup kebutuhan sehari-hari.
Sekitar 30 persen untuk hunian, 25 persen buat makan, dan 10 persen adalah transportasi, sementara sisanya untuk tagihan, kesehatan, tabungan, dan kebutuhan fleksibel.
Di Jakarta, transportasi sering mendekati jutaan per bulan. Pola hidup paycheck-to-paycheck, kerja ganda, dan ketergantungan pada pinjaman konsumtif menjadi umum.
“Jika pengeluaran bulanan Rp 5 juta, dana darurat minimal enam kali untuk lajang, sembilan kali untuk menikah, dan 12 kali untuk menikah punya anak dari pendapatan per bulan,” ujar Rista.
Tekanan biaya hidup juga mendorong pekerja pindah ke wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Bagi sebagian pekerja, itu strategi bertahan, bagi lainnya kompromi hidup di ibu kota tetap dipilih.
“Jadi kondisi upah rendah bisa mendorong keluarnya sebagian pekerja (atau memilih hunian lebih jauh), yang terlihat dari data perpindahan dan tren urban exodus/relokasi ke penyangga,” kata dia.
Putri dan Dilla menekan pengeluaran, menunda rencana masa depan, dan hidup hemat. Aditya dan keluarganya mengandalkan penghasilan ganda untuk bertahan.
Fenomena
hidup dari gajian ke gajian
mencerminkan realita pekerja Jakarta menghadapi biaya hidup tinggi dengan UMR yang belum layak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.