Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Ketika Kedekatan Ayah dan Anak Mengoyak Luka Mereka yang Fatherless Megapolitan 29 Desember 2025

Ketika Kedekatan Ayah dan Anak Mengoyak Luka Mereka yang Fatherless
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com
– Kedekatan antara ayah dan anak kerap menjadi pemandangan hangat yang memantik senyum siapa pun yang menyaksikannya.
Interaksi sederhana, seperti menggandeng tangan, menggendong, atau berbincang ringan, sering kali memancarkan kasih sayang yang kuat dari seorang ayah kepada buah hatinya.
Kasih sayang seorang ayah memang begitu terasa ketika ia terlibat langsung dalam kehidupan anak.
Namun, bagi sebagian orang, momen kebersamaan ayah dan anak di ruang publik justru dapat menjadi pengalaman yang menyakitkan, terutama bagi mereka yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah atau mengalami kondisi
fatherless
.
Fatherless merupakan kondisi ketika seorang ayah tidak terlibat dalam pengasuhan, pendidikan, dan pendampingan anak dalam proses tumbuh kembangnya.
Kondisi ini dapat terjadi karena berbagai sebab, mulai dari perceraian orangtua, ayah meninggal dunia, hingga ayah yang memilih tidak mengambil peran aktif dalam kehidupan anak karena kesibukan atau faktor lainnya.
Perempuan bernama Friska (18) menjadi salah satu individu yang mengalami kondisi
fatherless
sejak enam tahun lalu. Ia kehilangan sosok ayah setelah orangtua laki-lakinya meninggal dunia akibat penyakit komplikasi.
Sejak kepergian ayahnya, Friska mengaku kerap merasa perih setiap kali menyaksikan kedekatan ayah dan anak di ruang publik. Momen yang bagi sebagian orang terasa biasa, justru menjadi pengingat luka kehilangan yang belum sepenuhnya pulih.
“Iri banget, setiap saya lihat ada interaksi kecil bapak dan anak, saya ngerasa sedih karena saya enggak bisa ngerasain di posisi itu,” ucap Friska saat diwawancarai
Kompas.com
di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (24/12/2025).
Luka kehilangan tersebut masih terasa jelas hingga kini. Friska harus menyaksikan sosok yang menjadi cinta pertamanya terbujur kaku setelah kalah melawan penyakit. Pengalaman itu meninggalkan duka mendalam yang sulit terhapus.
Sebagai anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan, Friska memiliki kedekatan khusus dengan ayahnya sejak kecil. Ikatan emosional yang kuat itulah yang membuat kepergian sang ayah menjadi pukulan berat dalam hidupnya.
Kematian ayah membuat Friska harus menjalani kehidupan bersama ibu dan kakak laki-lakinya. Ia mengaku ibunya berjuang keras untuk menghidupi keluarga sekaligus berusaha menggantikan peran ayah dalam membesarkan anak-anaknya.
Hal serupa dilakukan kakak laki-laki Friska, Eki (25), yang mencoba mengambil alih tanggung jawab ayah setelah sang ayah meninggal dunia.
Ia bekerja keras demi membantu perekonomian keluarga dan berupaya menjadi figur pelindung bagi adiknya, meski Friska menyadari peran tersebut tak sepenuhnya bisa menggantikan ayah.
Friska merasa bersyukur masih memiliki ibu dan kakak yang peduli dan penuh perhatian. Namun, bagi dirinya, tidak ada satu pun yang benar-benar mampu menggantikan sosok ayah dalam hidupnya.
Kondisi itu membuat Friska kerap merasa sendiri dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama ketika menghadapi masalah yang dahulu biasa ia ceritakan kepada ayahnya.
“Dukanya adalah besar tidak di dampingi seorang ayah membuat saya ngerasa sendirian,” ujar dia.
Hingga saat ini, kenangan tentang ayah masih kerap mencabik perasaannya. Setiap kali mengingat kepergian sang ayah, Friska mengaku sering kehilangan semangat untuk menjalani hari-harinya.
Perasaan serupa juga dirasakan Anaya (25), yang telah kehilangan ayah sejak ia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Ayah Anaya meninggal karena penyakit komplikasi, dan empat tahun kemudian, sang ibu juga wafat akibat kecelakaan.
Sejak saat itu, Anaya harus menjalani hidup dengan status yatim piatu. Ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan harus menentukan arah hidupnya sendiri tanpa kehadiran dan bimbingan orangtua.
Meski dikelilingi oleh empat saudara kandung dan tante-tantenya, Anaya mengaku kehadiran mereka tetap tidak mampu menggantikan sosok ayah dan ibu dalam hidupnya.
Hingga kini, Anaya masih sering merasa hancur dan diliputi rasa iri ketika melihat kebersamaan anak dengan orangtuanya, khususnya ayah.
“Irinya kok ada, ya, teman kerja yang masih diantar sama bapaknya, masih dikasih ongkos sama bapaknya,” tutur Anaya.
Rasa perih itu semakin terasa ketika Anaya menyaksikan rekan-rekannya menikah dengan didampingi ayah mereka. Ia menyadari bahwa kelak, pada momen pernikahannya sendiri, kedua orangtuanya tidak akan bisa hadir.
Ketiadaan sosok ayah turut memengaruhi proses tumbuh kembang Anaya. Ia mengaku tidak memiliki figur tempat mengadu dan berkeluh kesah, terutama terkait persoalan hidup yang membutuhkan sosok pelindung.
Dampaknya, Anaya merasa canggung dan tidak terbiasa ketika didekati oleh laki-laki di luar lingkup keluarganya.
“Dampaknya suka aneh kalau ada laki-laki yang mendekat ajak kenalan gitu, karna sosok laki laki itu kan kodratnya mengayomi perempuan, sedangkan saya enggak pernah menemukan sosok itu dari kecil,” ujar Anaya.
Meski demikian, Anaya mengaku kini telah terbiasa hidup tanpa kehadiran sosok ayah. Baginya, menjalani hidup secara mandiri sudah menjadi bagian dari keseharian yang tak lagi terasa asing.
Kemandirian juga menjadi bagian dari hidup Ester (bukan nama sebenarnya, 35), yang tumbuh tanpa kehadiran kedua orangtua setelah mereka bercerai dan meninggalkan Ester bersama tiga kakaknya.
Sejak orangtuanya berpisah pada tahun 1995, Ester diasuh oleh kakek dan neneknya yang telah lanjut usia.
Meski bersyukur atas pengasuhan tersebut, Ester mengaku banyak momen penting yang harus ia lalui tanpa kehadiran figur orangtua, termasuk saat mengambil rapor sekolah.
Kesibukan kakek dan nenek membuat Ester kerap mengambil rapor sendiri. Sementara kedua orangtuanya benar-benar tidak menunjukkan perhatian terhadap pendidikan dan tumbuh kembangnya.
Padahal, Ester merupakan anak yang cerdas dan berprestasi. Ia kerap meraih nilai baik dan memenangkan berbagai perlombaan di sekolah.
Hal itulah yang membuat perempuan keturunan Madura tersebut merasa perih setiap kali melihat rapor teman-temannya diambil oleh orangtua mereka.
“Waktu SD saya banyak juara, banyak dapat piala, tapi enggak satu pun rapor saya diambilin orangtua, enggak satu pun pas saya juara pulangnya dijemput orangtua. Sementara anak-anak lain kan dijemput orangtuanya padahal yang juara satu kan saya, di situ suka merasa sedih,” tutur Ester.
Sebanyak apa pun piala yang ia raih sering kali terasa hampa karena tidak adanya ucapan selamat dari orangtua. Apresiasi justru datang dari para guru yang mendampingi Ester mengikuti perlombaan di luar sekolah.
Begitu pula saat mengambil rapor seorang diri, Ester mengaku harus menyimpan rapat-rapat hasil belajarnya karena tak ada orangtua yang bisa ia tunjukkan sebagai bentuk kebanggaan.
Meski dipenuhi pengalaman pahit semasa kecil, Ester tidak membiarkan masa lalunya membuat ia terpuruk. Ia justru menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran hidup yang berharga.
“Tapi, dari situ ternyata di kemudian hari kita belajar, ada atau tidak ada
support
atau apresiasi, tetap harus fokus melakukan yang terbaik,” kata dia.
Pengalaman tersebut membentuk Ester menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Ia juga belajar menjadi lebih ikhlas, karena sejak kecil telah terbiasa berhadapan dengan ketidakpastian.
“Cuma kadang suka nangis kalau ada anak kecil disayang orangtua, jadi keingetan diri sendiri,” ujar dia.
Di sisi lain, pengalaman tumbuh tanpa kehadiran ayah dan ibu juga membuat Ester menyimpan ketakutan tersendiri terhadap pernikahan, sebuah kekhawatiran yang berakar dari luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.