GELORA.CO — Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan polemik tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa diselesaikan hanya melalui gelar perkara di kepolisian.
Menurut Mahfud, penentuan asli atau palsu suatu ijazah merupakan kewenangan mutlak pengadilan melalui pembuktian hukum yang fair dan terbuka.
Mahfud menjelaskan, gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri atas laporan kelompok aktivis ulama.
Hasilnya, laporan tidak dilanjutkan karena ijazah yang dipersoalkan dinilai “identik”.
Namun, keputusan itu tidak serta-merta menutup perkara.
“Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.
Mahfud menilai, gelar perkara khusus yang kini dilakukan di Polda Metro Jaya sah-sah saja, tetapi apa pun hasilnya, perkara tetap dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Kapolrinya Saja Membangkang Putusan MK
Penilaian akhir, kata Mahfud, harus dilakukan dalam proses persidangan dengan pembuktian yang dapat diuji semua pihak.
Mahfud memaparkan dua jalur penyelesaian yang lebih adil.
Pertama, setelah pelimpahan perkara, jaksa memiliki kewenangan menilai kelengkapan alat bukti.
Jika dinilai belum cukup, jaksa dapat mengembalikan berkas (P19) dan meminta penyidik melengkapi, bahkan menghentikan perkara bila tak terpenuhi.
Kedua, jika jaksa memilih melimpahkan perkara ke pengadilan, maka hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.
“Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.
Mahfud juga mengkritisi pemahaman keliru soal beban pembuktian.
Menurutnya, dalam hukum pidana, beban pembuktian tidak selalu sepihak.
Jika seseorang dituduh memalsukan atau memfitnah, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen itu harus ditunjukkan.
“Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.
Terkait pasal-pasal yang dikenakan, Mahfud menyoroti penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 UU ITE.
Ia menegaskan, unsur pidana—termasuk pencemaran nama baik, hasutan, ujaran kebencian, hingga keonaran—harus dibuktikan secara ketat.
“Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.
Mahfud mengingatkan agar penegakan hukum tidak dipaksakan karena berisiko melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum.
Ia menilai perkara ini bukan sekadar menyangkut individu, melainkan masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Soal peran Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud berpandangan sudah cukup.
UGM telah menyatakan Jokowi adalah alumninya dan ijazah tersebut dikeluarkan oleh UGM.
“UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.
Mahfud menutup dengan menekankan pentingnya proses persidangan yang jujur dan berani.
Jika terbukti salah, pihak yang menuduh harus siap menanggung konsekuensi hukum.
Sebaliknya, negara juga wajib membuktikan tuduhan secara sah dan meyakinkan.
“Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.











