Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kampung yang Hampir Tenggelam di Tengah Kawasan Elit Utara Jakarta Megapolitan 26 November 2025

Kampung yang Hampir Tenggelam di Tengah Kawasan Elit Utara Jakarta
Penulis

KOMPAS.com –
Di tengah pesatnya pembangunan kawasan elit Pantai Indah Kapuk (PIK), Kampung Dadap justru berada dalam kondisi bertolak belakang, yakni sebuah permukiman pesisir yang setiap hari berjuang menghadapi rob.
Kawasan seluas 14,5 hektare di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, ini perlahan berubah menjadi wilayah yang selalu tergenang, bahkan hampir tenggelam.
Tekanan lingkungan semakin kuat seiring perubahan arus laut dan reklamasi masif yang berlangsung di sekitarnya.
Situasi tersebut membuat ribuan warga hidup dalam kerentanan harian, dari kerusakan rumah hingga gangguan kesehatan.
Kampung Dadap
berbatasan langsung dengan
PIK
, Kamal (Jakarta Barat), dan Kamal Muara (Jakarta Utara), kawasan yang kini semakin ramai didatangi wisatawan.
Wilayah ini terdiri dari tiga RW, yakni RW 01, RW 02, dan RW 03. Hanya di RW 03 terdapat sekitar 800 keluarga dengan total kurang lebih 1.000 bangunan rumah yang sebagian kecil berukuran kecil dan semi permanen.
Untuk bertahan, hampir semua warga meninggikan bagian depan rumah dengan semen agar air laut tidak langsung masuk.
Namun cara tersebut tidak cukup, sebab wilayah ini berhadapan langsung dengan laut dan menjadi langganan
banjir rob
setiap hari.
“Betul sekali dan setiap hari, bahkan hitungan saya sudah lebih dari tiga bulan begini. Nanti surut, pasang surut, tapi satu bulan ini lebih banyak pasangnya,” ucap Ketua RW 03 Jamal saat diwawancarai
Kompas.com
, Jumat (21/11/2025).
Rob biasanya menggenangi sepanjang Jembatan Cinta hingga ujung Kampung Dadap, sekitar dua kilometer, dengan ketinggian air 30–50 sentimeter.
Air yang masuk berubah keruh menjadi cokelat hingga hitam karena bercampur lumpur dan air selokan.
Kasturi (40), warga Kampung Dadap, mengatakan rob sering datang tiba-tiba terutama malam hari.
“Karena pas Jumat aja air datang langsung besar masuk ke rumah,” kata Kasturi.
Setiap kali rob terjadi, Kasturi mengungsikan anaknya karena khawatir air datang tanpa peringatan. Ia mengaku lelah harus mengeruk lumpur saban hari.
“Masuk airnya ke rumah, jadi ini ditinggiin airnya enggak masuk. Abis capek tiap hari bersihin lumpur. Kalau banjir malam coba jam 03.00 WIB subuh kami ngerukin lumpur.”
Di depan rumahnya, dua bangunan besar dibiarkan hancur dan ditinggalkan pemiliknya karena terus terendam.
“Iya, banyak rumah yang rusak dan ditinggalkan penghuninya, karena banjir terus dan lama-lama rusak,” katanya.
“Reklamasi itu ada aktivitas penimbunan pantai, dia sudah pasti mengubah arus, kemudian membuat jadi banjir pelan-pelan,” ujar Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, Jumat (21/11/2025).
Menurut Susan, meningkatnya intensitas rob menjadi indikasi bahwa ancaman tenggelam bukan sekadar wacana.
“Ini melampaui dari sekadar yang kita bisa bayangkan, tapi setidaknya lihat lima tahun ke depan desa-desa tersebut bisa lebih tinggi terendamnya jadi perlahan tapi pasti tenggelamnya,” tuturnya.
Susan menilai penyelamatan wilayah ini membutuhkan langkah besar, termasuk membangun ketangguhan warga dengan menyediakan rumah panggung.
“Fasilitasi mereka dengan rumah panggung, bisa diuji omonganku dalam lima tahun ke depan sebenarnya (berpotensi tenggelam),” ujar dia.
Ia juga meminta pemerintah menghentikan proyek reklamasi yang masih berjalan dan mempertimbangkan faktor sosial warga yang mayoritas nelayan bila opsi relokasi diambil.
“Ujungnya mereka kesulitan untuk beradaptasi, mereka sulit memantau perahunya,” jelasnya.
Susan menegaskan hunian vertikal bukan solusi.
“Rumah susun tidak bisa menjadi solusi karena kita harus mempertimbangkan banyak hal mulai tradisi, kebiasaan, keahlian, dan lainnya,” ujar dia.
Peneliti BRIN, Budi Heru Santosa, meminta pemerintah turun tangan dan menilai keberadaan Badan Otoritas Pantura Jawa dapat berperan dalam penyelamatan pesisir.
“Pemerintah harus turun tangan, wilayah kerjanya adalah seluruh pantai di Pulau Jawa bagian utara dan Kampung Dadap salah satunya,” tutur Budi.
Ia juga menyarankan pembatasan penggunaan air tanah untuk mencegah penurunan permukaan tanah.
“Dari pihak pemerintah daerah harus menyediakan air, karena tidak mungkin ada pelarangan penggunaan air tanah jika tidak ada air bersih,” ujarnya.
Selain itu, Budi mendorong pembangunan sistem polder terintegrasi dengan kolam retensi dan pompa, serta memastikan tidak ada celah yang memungkinkan rembesan.
“Saya yakin PIK 2 sudah menerapkan polder ini, siapa tahu bisa diintegrasikan polder di Kampung Dadap dengan yang ada di sebelahnya,” tutur Budi.
“Air rob itu kan air asin yang ketika meluap pastinya akan bercampur dengan segala macam. Kalau terkena kulit menimbulkan gatal-gatal,” jelasnya.
Air yang tercampur dengan makanan dapat menyebabkan diare, sedangkan bila terhirup dapat memicu ISPA. Rob juga merendam septic tank sehingga meningkatkan risiko penyakit.
Selain itu, air asin mempercepat kerusakan kendaraan dan barang elektronik. Aktivitas melaut warga yang mayoritas nelayan juga terhenti ketika rob datang, sehingga pendapatan terganggu.
Banjir rob di Kampung Dadap menggambarkan kondisi pesisir yang terus tertekan akibat penurunan tanah, perubahan arus laut, dan reklamasi di sekitarnya.
Dengan ancaman rob harian yang semakin intens, berbagai solusi mulai dari pembatasan air tanah, pembangunan polder, hingga penyediaan hunian adaptif diperlukan untuk melindungi warga dan menjaga keberlanjutan kawasan pesisir tersebut.
(Reporter: Shinta Dwi Ayu | Editor: Faieq Hidayat, Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.