Kaleidoskop 2025: Permukiman Padat, MCK Minim, dan Ketimpangan Layanan di Jakarta Pusat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
— Sepanjang 2025, jantung Kota Jakarta kembali menampilkan wajah kontras Ibu Kota yang tak pernah sepenuhnya selesai.
Di tengah laju pembangunan gedung bertingkat, pusat bisnis, dan proyek infrastruktur, sejumlah permukiman padat di
Jakarta Pusat
masih bergulat dengan persoalan mendasar:
sanitasi buruk
, minim fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK), serta lingkungan yang kian rentan bagi kesehatan dan keselamatan warganya.
Catatan
Kompas.com
sepanjang 2025 menunjukkan persoalan
permukiman kumuh
di Jakarta Pusat bukan sekadar cerita lama yang berulang, melainkan gambaran nyata ketimpangan
layanan dasar
yang masih dialami ribuan warga.
Bau limbah, air sungai yang menghitam, serta toilet yang pembuangannya langsung ke kali menjadi potret keseharian yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Salah satu lokasi yang kerap menjadi sorotan adalah permukiman padat di Jalan Awaludin II dan Kebon Pala III, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Wilayah ini mencakup RT 15, RT 16, dan RT 17 RW 14, kawasan yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai titik hunian kumuh dengan sanitasi buruk dan tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi.
Permukiman tersebut berdiri tepat di bantaran Kali Krukut, tidak jauh dari pertemuannya dengan Kali Ciliwung dan area Stasiun Karet.
Secara geografis, lokasinya berada di pusat kota. Namun, kondisi lingkungannya seolah terlepas dari denyut modernisasi Jakarta.
Akses menuju permukiman hanya berupa gang sempit selebar dua hingga tiga meter. Rumah-rumah berdiri rapat tanpa jarak, sebagian bahkan menempel langsung ke bibir kali.
Tidak sedikit bangunan yang dibangun menjorok di atas aliran air, ditopang tiang-tiang kayu yang tampak rapuh dan sebagian telah keropos.
Pengamatan
Kompas.com
di lokasi menunjukkan bangunan warga berdiri tidak beraturan. Dinding rumah banyak terbuat dari seng, tripleks, dan papan kayu lapuk dengan warna yang memudar.
Beberapa bagian dinding tampak berlubang, sementara atap seng menampakkan bekas karat. Ruang terbuka hampir tidak ditemukan. Sirkulasi udara buruk, membuat gang terasa pengap dan lembap.
Jemuran pakaian bergelantungan di tali-tali yang ditarik dari satu rumah ke rumah lain, menutup sebagian langit dan mempersempit ruang gerak warga.
Di bawah deretan rumah itu, Kali Krukut mengalir lambat. Airnya berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau menyengat. Sampah plastik minuman, sisa makanan, kain bekas, styrofoam, hingga potongan kayu mengapung di permukaan air.
Di beberapa titik, sedimentasi terlihat jelas, menandakan penyempitan aliran akibat tumpukan sampah dan bangunan yang berdiri terlalu dekat dengan bibir kali.
Pada bagian bawah rumah-rumah yang menjorok ke kali, dinding terlihat bolong dan dipenuhi lumut serta kerak hitam.
Sejumlah pipa kecil dari rumah warga tampak langsung membuang air cucian, sisa mandi, hingga limbah kakus ke aliran sungai.
Tidak terlihat adanya instalasi pengolahan air limbah atau
septic tank
yang memadai. Limbah domestik bercampur dengan sampah padat, menciptakan genangan air hitam yang stagnan di beberapa titik.
Di salah satu sudut sungai, anak-anak terlihat duduk di tepian kali yang dipenuhi sampah, tanpa alas kaki.
Mereka memainkan botol plastik yang dialirkan dari arah hulu, seolah menjadikan aliran limbah sebagai arena bermain. Aktivitas itu berlangsung hanya beberapa meter dari genangan air yang berbau menyengat.
Di sisi lain, sepeda motor diparkir di teras rumah yang sebagian lantainya menjorok tepat di atas aliran kali. Balok penopang teras tampak rapuh dan terlihat ditambal berulang kali, memperlihatkan risiko keselamatan yang mengintai.
Memasuki gang kecil yang lebih dalam, berdiri sebuah toilet umum tiga pintu dengan dinding kayu berwarna merah. Catnya sudah mengelupas. Bagian dalamnya gelap, lantai becek, dan aroma menyengat tercium bahkan dari luar pintu.
Pengamatan
Kompas.com
menunjukkan tidak ada saluran limbah tertutup. Air dari toilet langsung mengalir menuju Kali Krukut.
Toilet ini digunakan secara bergantian oleh beberapa kepala keluarga yang tidak memiliki fasilitas MCK di rumah masing-masing.
Selain toilet umum, sejumlah warga membuat saluran pembuangan mandiri dari rumah, berupa pipa PVC kecil atau selang fleksibel, yang diarahkan langsung ke aliran air.
Limbah mandi, cuci, dan kakus dari rumah-rumah tersebut menyatu dengan aliran sungai yang sama-sama tercemar.
Suryadi (43), warga RT 16 RW 14, telah tinggal di kawasan tersebut sejak 2008. Ia mengatakan kondisi sampah dan bau limbah sudah berlangsung lama.
“Sudah lama sekali. Dari pertama saya tinggal di sini memang sudah begini,” ujar Suryadi.
Ia mengakui sebagian sampah berasal dari aktivitas warga setempat, meski tak jarang ada kiriman dari wilayah hulu.
“Tempat sampah ada, tapi jauh dari gang. Jalannya sempit, motor aja susah masuk. Enggak ada petugas angkut yang rutin sampai dalam,” katanya.
Suryadi mengaku tidak nyaman hidup di lingkungan yang sempit, lembap, dan berbau.
“Enggak nyaman. Baunya kadang kuat sekali, apalagi siang. Tapi mau bagaimana, rumah cuma ini,” ucapnya.
Alasan ekonomi membuatnya bertahan.
“Kalau ada rezeki pasti mau pindah. Tapi kontrakan mahal. Di sini rumah sendiri walau kecil,” katanya.
Masalah air bersih juga kerap muncul, terutama saat musim kemarau.
“Air sering kecil. Kadang beli galon. Air sumur bor baunya juga kadang enggak enak,” tuturnya.
Rohmah (35), warga RT 17 RW 14, mengaku kondisi sampah dan bau sudah menjadi bagian dari keseharian.
“Iya, dari dulu sudah begini. Kami sudah terbiasa berdampingan dengan kondisi lingkungan seperti ini,” ujarnya.
Namun, ia menyadari kondisi tersebut berisiko, terutama bagi anak-anak.
“Anak-anak tetap main di pinggir kali. Kadang khawatir, tapi mau bagaimana lagi,” katanya.
Menurut Rohmah, keterbatasan fasilitas menjadi alasan utama warga membuang sampah ke kali.
“Tempat sampah jauh dan kecil. Kalau penuh, bingung mau buang ke mana. Kadang terpaksa buang ke kali, apalagi malam,” tuturnya.
Soal fasilitas MCK, ia mengaku belum melihat perubahan berarti sepanjang 2025.
“Katanya mau dibangun, tapi saya belum lihat. Yang ada masih langsung ke kali,” ujarnya.
Marlina (34), warga RT 15 RW 14, menyebut lingkungannya sebagai kawasan kumuh yang sangat padat.
“Kalau dibilang kumuh ya memang kumuh. Rumah berdempetan, lantai banyak yang rapuh, sampah numpuk di kali,” ucapnya.
Ia menyebutkan, panas dan bau sebagai gangguan paling terasa.
“Kalau siang panas bercampur bau dari kali. Itu bikin pusing,” katanya.
Kekhawatiran terbesarnya tertuju pada kesehatan anak-anak.
“Pernah anak saya kena gatal dan diare,” tuturnya.
Di bagian hilir kawasan, petugas Sumber Daya Air (SDA) terlihat melakukan pengerukan sedimentasi menggunakan alat berat berukuran kecil. Namun, ruang kerja sangat terbatas karena bangunan warga berdiri menempel ke bibir kali.
“Di bagian ini hanya beberapa meter saja yang dikeruk pakai alat berat kecil. Dari jembatan ke jembatan sekitar 10 meter saja,” kata Rahmat, petugas SDA, Senin (24/11/2025).
Lumpur hitam pekat bercampur sampah diangkat sedikit demi sedikit dan dimasukkan ke karung-karung kecil.
“Iya, lagi kami keruk dan masukin ke karung kecil untuk ditumpuk. Bisa jadi penahan air kalau terjadi banjir,” ujarnya.
Menurut Rahmat, pengerukan dilakukan bertahap dan tidak bisa sekaligus karena keterbatasan ruang.
“Kalau yang kami kerjakan sekarang sejak awal November, tapi belum selesai,” tutur dia.
Pengerukan ini bersifat darurat untuk mengurangi sedimentasi. Namun, tanpa perubahan perilaku pembuangan sampah dan perbaikan sanitasi, kondisi kali berpotensi kembali memburuk.
Pakar lingkungan dan dosen Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, menilai kondisi permukiman di bantaran Kali Krukut merupakan hasil panjang urbanisasi yang tidak terkendali.
“Permukiman padat, kumuh, dan kantong kemiskinan itu bukan muncul tiba-tiba. Ini hasil proses panjang urbanisasi yang tidak terkendali,” ujar Mahawan.
Menurut Mahawan, tekanan ekonomi, biaya hidup, dan keterbatasan akses pendidikan mendorong warga berpenghasilan rendah mencari ruang-ruang marjinal.
“Termasuk bantaran sungai dan tepi rel. Rumah-rumah semakin rapat, bahkan ada yang berdiri di atas sungai,” kata dia.
Ia menegaskan kualitas air sungai di kawasan tersebut telah terdegradasi berat akibat sampah dan limbah domestik.
“Risikonya tinggi. Banjir, penyakit kulit, diare, tipus, dan kualitas hidup menurun,” ucapnya.
Mahawan menolak anggapan bahwa persoalan sampah semata-mata disebabkan perilaku warga.
“Tidak serta-merta karena budaya malas. Ini juga soal keterbatasan fasilitas. Pengelolaan sampah di wilayah itu tidak berjalan dengan baik,” tutur Mahawan.
Sepanjang 2025, Pemerintah Provinsi Jakarta mulai menekankan percepatan penyediaan fasilitas dasar di kawasan kumuh.
Gubernur Jakarta Pramono Anung menyebut terdapat 55 RW yang menjadi target perbaikan, termasuk penyediaan MCK komunal.
“Saat ini ada 55 RW yang akan kami lakukan perbaikan. Yang saya kejar sekarang adalah agar MCK komunalnya bisa selesai,” ujar Pramono saat mengunjungi RW 01 Menteng Tenggulun, Kamis (15/5/2025).
Pramono menegaskan tidak akan menggusur kawasan yang menjadi lahan mata pencarian warga.
“Saya sudah minta untuk Dinas Perumahan untuk proaktif melayani warga. Termasuk, ada pembangunan RW yang kiri-kanannya itu tempat orang untuk berjualan. Saya minta yang seperti ini dirapikan, tidak digusur. Karena apa pun itu kan mata pencariannya yang bersangkutan,” ujar dia.
Berdasarkan data dan evaluasi Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta terkait kawasan kumuh, pada 2017 terdapat 445 RW kumuh. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP), Kelik Indrianto.
“Jadi untuk RW kumuh di DKI Jakarta, berdasarkan dari evaluasi BPS tahun 2017, ada 445 RW kumuh. Yang 55 di tahun 2025 kita laksanakan,” ujar dia.
Hingga kini, belum ada evaluasi terbaru yang dirilis secara resmi oleh BPS terkait jumlah kawasan kumuh yang telah ditata Pemprov Jakarta sejak 2017.
Pendekatan yang diklaim tidak represif ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup warga tanpa memutus mata pencarian.
Selain Kebon Melati,
Kompas.com
juga mencatat kondisi serupa di Kampung Starling, kawasan padat di Jalan Parapatan Baru, Kwitang, Kecamatan Senen.
Permukiman semi permanen ini dihuni pedagang kopi keliling yang mayoritas berasal dari Madura.
Gang selebar sekitar tiga meter membentang sepanjang 350 meter. Rumah-rumah tripleks beratap seng berdiri rapat, dengan Kali Ciliwung mengalir hitam dan berbau di ujung gang.
Wisnu, pedagang kopi keliling yang merantau sejak 2017, mengaku bertahan meski hidup pas-pasan.
“Di sini kami saling mengenal dan membantu. Rasanya seperti di kampung sendiri,” ujarnya.
Kampung Starling menjadi simbol ekonomi informal yang tumbuh di tengah keterbatasan ruang, sanitasi, dan kepastian legalitas lahan.
Jakarta kerap digambarkan sebagai kota dengan ritme cepat, ruang luas, dan peluang tanpa batas.
Namun, di banyak sudutnya, pembangunan terus meninggi, menandai laju pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang nyaris tak pernah berhenti.
Lorong-lorong sempit itu tidak berada di pinggiran kota, melainkan di jantung Jakarta. Di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, gang-gang sempit menjadi bagian dari keseharian warga.
Lebarnya tak sampai satu meter, diapit rumah-rumah petak yang saling berhimpitan. Bangunan tumbuh ke atas, menutup celah cahaya yang dulu masih bisa masuk.
Siang dan malam di lorong itu tak lagi dibedakan oleh terang matahari, melainkan oleh nyala lampu.
Salah satu rumah petak berukuran 3×4 meter berada jauh di dalam gang, di antara bangunan lain yang kini telah menjulang hingga tiga lantai.
Rumah tersebut ditempati Minah (54), perempuan yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di lingkungan itu.
Ia bukan pendatang, melainkan warga lama yang menyaksikan perubahan kawasan dari waktu ke waktu. Gang yang kini gelap dan lembap dulunya masih memberi sedikit cahaya alami.
Seiring rumah-rumah di sekitar ditinggikan, cahaya matahari perlahan menghilang dari rumah Minah.
Dinding tetangga menjadi penghalang di sisi kiri, kanan, dan atas. Satu-satunya cara menjaga rumah tetap terang adalah dengan lampu listrik yang menyala tanpa henti.
Kondisi ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Tanpa lampu, rumah akan langsung gelap bahkan di siang hari.
“Nyala 24 jam, kalau dimatiin gelap kayak goa sebab kan ini kehalang sama tembok,” kata Minah saat ditemui, Jumat (26/12/2025).
“Di atas juga kehalang sama tembok. Ini kan tadinya nggak tinggi, jadi masih ada sinar matahari. Sekarang udah tinggiin semua,” lanjutnya.
Namun, bagi Minah, kondisi itu sudah menjadi bagian dari keseharian.
“Ya begini aja udaranya. Kalau hujan lembap, kalau misalnya panas ya udaranya agak panas. Agak panas sedikit,” katanya.
Keterbatasan cahaya matahari berdampak langsung pada aktivitas rumah tangga. Menjemur pakaian membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan kawasan lain.
Kepadatan hunian di permukiman tersebut telah menjadi realitas yang berlangsung lama. Kawasan ini tumbuh sebagai permukiman padat sejak puluhan tahun silam, dengan ruang hidup yang terus menyempit.
Keterbatasan lahan membuat jumlah penghuni dalam satu rumah terus bertambah, sementara ruang tinggal tidak mengalami perluasan.
Ketua RT setempat, Pusparini, menuturkan bahwa kondisi kepadatan di wilayahnya sudah menjadi keseharian.
“Ini sih kalau sampai ke belakang sini emang RT 07, kalau blok ini 3-4 KK per rumah itu tiga sampai empat orang isinya,” kata Pusparini, Jumat (26/12/2025).
Situasi hunian yang sempit membuat sejumlah aktivitas sosial sulit dilakukan di dalam rumah, termasuk ketika terjadi peristiwa kematian.
Prosesi pemulasaraan jenazah nyaris tidak memungkinkan dilakukan di ruang tinggal warga. Sebagai solusi, aula masjid menjadi fasilitas bersama.
“Kalau ada yang meninggal karena sempit begini ya kita pakai sarana aula masjid, kan masjid di bawahnya ada aula begitu,” kata dia.
Meski jauh dari kata ideal, pola ini telah dijalankan secara turun-temurun.
Warga saling bergotong royong agar setiap peristiwa duka dapat dilalui dengan layak. Aula Masjid Nurul Iman pun berfungsi lebih dari sekadar ruang ibadah.
Saat ada warga meninggal, aula digunakan untuk memandikan hingga mengafani jenazah sebelum pemakaman.
“Karena kita punya aula Masjid Nurul Iman jadi pergunakan itu misalnya ada yang meninggal mau dibungkus jenazahnya gimana kan butuh ruang besar itu di aula,” kata dia.
Selain aula, warga juga bergantung pada fasilitas pendukung lain, salah satunya ambulans milik RW.
Ambulans tersebut digunakan untuk membawa warga sakit ke rumah sakit maupun mengantar jenazah ke pemakaman.
”
Alhamdulillah
juga kami ambulans di RW dari partai jadi misalnya ada yang sakit warga mau di bawa ke rumah sakit, sakitnya lumayan parah itu dipakai,” ujar dia.
Pengamat sosial Rissalwan Habdy Lubis menilai solidaritas warga di kawasan permukiman padat tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan ritme kehidupan mereka.
Menurut dia, keterbatasan fasilitas publik kerap “ditutup” oleh solidaritas sosial yang tumbuh secara organik.
Ia menjelaskan, sebagian kelompok masyarakat yang sibuk bekerja dan mengejar kebutuhan instan justru mengabaikan aspek fasilitas lingkungan.
“Nah, ini dia. Jadi ada kecenderungan memang karena mereka sibuk kerja, mengejar sesuatu instan, malah mengabaikan tentang fasilitas dan sebagainya,” kata dia saat dihubungi Jumat.
Rissalwan menilai pola hidup berdekatan dalam ruang terbatas mendorong kepedulian sosial antarpenghuni.
“Jadi prinsipnya memang secara sosiologis, orang-orang yang tinggal di tower ini akan lebih
civilized
, lebih peduli satu sama lain,” katanya.
Meski demikian, ia menegaskan solidaritas tidak bisa terus dijadikan solusi utama.
Dalam jangka panjang, dibutuhkan transformasi kawasan permukiman agar warga memiliki ruang publik yang layak.
“Jadi saran saya sih dalam jangka panjang memang kota, kampung-kampung di kota itu harus ditransformasi,” ujar dia.
Sepanjang 2025, kisah dari Kebon Melati hingga Johar Baru menunjukkan satu benang merah: persoalan permukiman padat dan minimnya MCK bukan sekadar masalah fisik, melainkan persoalan struktural yang melibatkan tata ruang, kemiskinan, dan keadilan layanan dasar.
Warga berharap pengerukan sungai dilakukan lebih rutin, fasilitas MCK layak segera dibangun, dan sistem pengelolaan sampah benar-benar menjangkau gang-gang sempit.
“Kalau TPS dekat dan MCK layak, mungkin warga enggak buang ke kali lagi,” ujar Suryadi.
Bagi warga bantaran sungai di Jakarta Pusat, perbaikan lingkungan bukan sekadar soal wajah kota, melainkan menyangkut keselamatan, kesehatan, dan martabat hidup.
Menutup 2025, permukiman kumuh di Jakarta Pusat menjadi pengingat bahwa di balik gemerlap pusat kota, masih ada ribuan warga yang hidup berdampingan dengan limbah, bau, dan keterbatasan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kaleidoskop 2025: Permukiman Padat, MCK Minim, dan Ketimpangan Layanan di Jakarta Pusat Megapolitan 30 Desember 2025
/data/photo/2020/12/18/5fdc44cd8efd9.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/08/21/68a6f04a7c156.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/6953a9a584aa1.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2017/09/20/2272933900.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)

/data/photo/2025/12/29/6952b1914fa33.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/07/28/68876535f4084.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/6953b9e2d1853.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/08/11/6899f0bf709b1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/07/17/6878d8a36ade8.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/30/69535b646bc10.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2020/12/18/5fdc44cd8efd9.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)