Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kaleidoskop 2025: Pedagang yang Terusir dari Sumber Penghidupan di Tengah Lesunya Ekonomi Megapolitan 30 Desember 2025

Kaleidoskop 2025: Pedagang yang Terusir dari Sumber Penghidupan di Tengah Lesunya Ekonomi
Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com
– Sepanjang 2025, setidaknya empat lokasi dagang di Jakarta Selatan menjadi saksi bagaimana para pedagang kecil dipaksa angkat kaki dari tempat mereka mencari nafkah.
Penyebabnya beragam, mulai dari kebakaran, penertiban, konflik administrasi, hingga tindak kriminal.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan daya beli masyarakat yang melemah, para pedagang mengeluhkan nasib mereka yang semakin terpuruk.
Ada yang menangis, marah, hingga menuntut kejelasan dan tanggung jawab pihak berwenang. Sebagian mendapat respons, sebagian lainnya masih menunggu janji bantuan pemerintah yang tak kunjung terealisasi.
Pada pertengahan 2025, Pasar Taman Puring, pusat sepatu legendaris di Jakarta Selatan, dilanda kebakaran hebat saat mayoritas pedagang telah pulang.
Peristiwa itu terjadi pada Senin (28/7/2025) sekitar pukul 18.02 WIB dan menghanguskan sedikitnya 552 kios hingga malam hari.
Di tengah kesibukan petugas pemadam kebakaran dan pedagang yang berlarian menyelamatkan barang, suara tangis bersahutan dengan letupan api.
Material dagangan seperti karet, kain, dan barang elektronik membuat api cepat membesar dan sulit dipadamkan.
Pedagang yang sempat pulang kembali bergegas ke pasar setelah mendapat kabar kebakaran. Namun, tak banyak yang bisa diselamatkan.
Heri (39), pedagang sepatu, tiba di lokasi saat karyawannya berusaha menyelamatkan kotak-kotak sepatu dengan melemparkannya keluar pasar.
Dari sekitar 2.000 pasang sepatu yang disimpan di kios dan gudang, kurang dari 10 karung berisi kotak sepatu yang berhasil diselamatkan.
“Jadi itu (yang selamat) barang yang sudah dipesan, karena sudah di-
pack
buat dikirim ke kurir,” ujar Heri saat ditemui di lokasi, Senin.
Pedagang menatap nanar bangunan pasar yang porak-poranda dengan atap rubuh. Meski pasar telah sepi pengunjung sejak pandemi Covid-19, sebagian pedagang tetap bertahan.
Bejo (45), salah satu pedagang sepatu, mengaku harus meminjam uang ke sana kemari untuk modal usaha.
“Jangankan buat bayar sewa, untuk sehari-hari saja masih syukur ada. Kadang barangnya laris, kalau enggak ya pinjam sana sini,” kata Bejo.
Sebelum pandemi, pendapatannya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Kini, ia harus bertahan dengan sekitar Rp1 juta di luar modal dan sewa kios.
Teguh (49), pedagang jam antik, juga bertahan dengan keterampilan servis jam warisan ayahnya. Ia terpaksa memanfaatkan layanan paylater dan pinjaman daring.
“Selama pandemi modal saya habis. Akhirnya buat modal itu saya ambil dari
PayLater
,” katanya.
Hingga keesokan hari, bara api masih terlihat di beberapa titik. Air menggenangi akses jalan dan bau menyengat sisa pembakaran tercium dari berbagai arah. Pedagang mengais puing, menyelamatkan sisa barang, bahkan membagikannya kepada pemulung.
Sepekan kemudian, lapak darurat mulai berdiri di sekitar puing pasar. Medi (64), pedagang kacamata, kehilangan seluruh barang dagangannya dan harus meminjam Rp 3 juta untuk memulai kembali.
“Laris satu saja
alhamdulillah
kalau sekarang,” ujarnya, Rabu (6/8/2025).
Pedagang lain, Yusuf, menyebut banyak pedagang belum mampu bangkit karena keterbatasan modal.
“Kalau modalnya nol ya tetap susah,” ujarnya.
“Kondisi seperti ini kami cuma bisa bertahan doang. Hari bisa saja kalau enggak kebakar, bawa Rp 20.000 saja sudah bagus,” tambahnya.
Hingga kini, pedagang masih bertahan di lapak seadanya, menunggu realisasi janji revitalisasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Tak lama berselang, pedagang Pasar Burung Barito di kawasan Blok M menghadapi penertiban.
Sejak awal Agustus 2025, mereka diminta mengosongkan kios lokasi sementara (loksem) karena rencana penyatuan Taman Langsat, Taman Leuser, dan Taman Ayodya.
Pedagang menolak, menilai kios bukan sekadar tempat berdagang, melainkan tumpuan hidup ratusan keluarga.
Tenggat pengosongan pada 3 Agustus 2025 tak diindahkan. Beberapa pedagang memindahkan barang agar hewan-hewannya tak stres saat penertiban. Namun, banyak juga pedagang yang memilih bertahan.
Menurut pedagang, Pasar Burung Barito tak sekadar kios dagang. Bagi mereka, kios-kios itu adalah harapan yang terus dipupuk untuk kehidupan keluarganya.
“Ada 135 kios, belum termasuk keluarga. Bisa sampai 1.000 orang yang bergantung dari sini,” ujar Deni (32).
Pedagang, Tugiran (50), merasa terpukul saat mendengar perintah pengosongan kios ini. Ia menangis saat mengingat anak-anaknya yang membutuhkan biaya banyak untuk bersekolah.
“Baru juga kemarin pandemi, turun, terus renovasi lagi turun lagi, sekarang sudah mau membaik malah mau diganggu lagi,” katanya.
Meski ditawari relokasi ke sejumlah pasar dan Lenteng Agung, pedagang menilai lokasi baru tak sesuai dengan komoditas hewan yang mereka jual.
“Mau bikin sengsara rakyat?” kata Ketua Paguyuban Pedagang, Karno (64).
Kios akhirnya dibongkar pada Senin (27/10/2025). Seekor anak kucing mati dalam proses evakuasi. Tangis pedagang pecah di tengah suara alat berat.
Pedagang mengeklaim, mereka tidak mendapat pemberitahuan apapun terkait pembongkaran ini setelah diberikan SP-2 sepekan sebelumnya.
Mereka tetap menolak direlokasi ke Lenteng Agung yang dinilai tidak memadai. Pedagang menyoroti pemilihan tempat dan pembangunannya yang tidak melibatkan para pedagang.
“Ya pokoknya itu enggak sesuai lah,” ujar Yati (60).
Hingga kini, Sentra Hewan dan Kuliner Jakarta belum beroperasi secara penuh. Peresmian yang direncanakan dilakukan pada 15 November 2025 ditunda hingga seluruh kios terisi.
Konflik lain muncul di Plaza 2 Blok M. Akhir Agustus 2025, pedagang memprotes kenaikan sewa mendadak yang viral di media sosial.
Salah satu penyewa kios, Wira (30), menyebutkan bahwa biaya sewa awal sebesar Rp 2 juta per bulan sejak Oktober 2024 mendadak melonjak menjadi Rp 7,5 juta untuk periode Juli–Agustus 2025.
“Informasi tagihannya itu tiba-tiba. Ya sudah, kami sepakat, ‘Ayo kita cabut saja’,” kata Wira kepada
Kompas.com
, Rabu (3/9/2025).
Pedagang kemudian mengetahui biaya sewa resmi jauh lebih rendah setelah listrik diputus oleh PT MRT Jakarta. Mereka merasa dirugikan karena telah membayar rutin kepada koperasi.
Akhirnya, pedagang memilih tak membayar kepada Kopema dan angkat kaki dari kiosnya.
“Pedagang sudah malas, karena sudah tahu harga aslinya berapa,” ujar Wira.
Sekitar 20 pedagang dengan ragam jumlah kios pun angkat kaki dari sana. Mereka kemudian mengembalikan kondisi kios seperti saat mereka masuk ke sana, rusak tak beraturan.
Kepala Kopema, Sutama atau akrab disapa Tomo marah melihat hal itu. Ia merasa dirugikan karena harus membayar biaya sewa ke pengelola yang tidak dibayarkan penyewa kios.
Ia juga merasa difitnah oleh penyewa kiosnya yang menyebut bahwa ia dengan sengaja menaikkan biaya sewa tanpa koordinasi dengan pengelola.
“Semua kenaikan ini yang bikin MRT, bukan kami,” tegasnya.
Dalam pertemuannya dengan pengelola, Tomo mengaku diminta mengubah skema pembayaran dari iuran kebersihan dan keamanan (IKK) menjadi sewa. Menurut dia, pergantian skema pembayaran ini kemudian berdampak pada kenaikan biaya.
Sebagian pedagang akhirnya pindah ke Blok M Hub dan mulai berjualan kembali sejak Oktober 2025. Plaza 2 Blok M yang ditinggalkan pedagang kuliner viral pun kini mulai bangkit dengan masuknya produk kuliner lainnya.
Menjelang akhir tahun, kios kuliner di Jalan Raya Kalibata dibakar orang tak dikenal (OTK) pada Kamis (11/12/2025) malam. Kios-kios itu dibakar lantaran dipicu kematian dua
debt collector
atau mata elang.
“Kedua orang yang bertugas sebagai mata elang ini dianiaya dan dikeroyok sampai satu meninggal di tempat dan satu lagi meninggal di rumah sakit,” kata Kapolres Jakarta Selatan Kombes Nicolas Ary Lilipaly.
Akibatnya, tenda dan kios pedagang di area parkir Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata itu dirusak lalu dibakar.
Pedagang yang saat kejadian bertahan dalam kiosnya ketakutan saat api mulai terlihat dari luar. Padahal, mereka dijanjikan keamanan oleh pihak yang diduga melakukan pembakaran.
“Kalau kami diam saja di sini ya mungkin kami jadi sate di dalam,” ujar Andi (60).
Andi dan ketiga karyawannya pun mencari jalan keluar dengan membobol tembok yang terbuat dari papan kayu. Mereka memanjat dinding yang membatasi kawasan kantor BPSDM Kementerian Dalam Negeri.
Ketika berusaha turun dari tembok, Andi terluka di bagian lengan dan kakinya. Melihat itu, karyawan Andi memilih melompat untuk menghindari kawat yang dipasang pada dinding itu.
Henny Maria kehilangan kios yang baru direnovasi dengan biaya lebih dari Rp100 juta. Ia mengaku hancur melihat perjuangannya habis tak bersisa.
“Sekarang kami enggak tahu kapan dan bagaimana mulainya lagi,” ujarnya lirih.
Belum selesai sampai di situ, ujian Henny dilanjutkan dengan teror melalui media sosial karena Henny telah berbicara kepada awak media terkait kejadian ini.
“Pokoknya ujaran kebencian, ancaman-ancaman. Kayak, ‘Lu jangan bikin panas. Lu tuh cuma kehilangan warung, bukan kepala,’” jelas Henny.
Asmo, pedagang pecel lele, memilih pulang kampung. Ia merasa pembakaran ini telah mematikan rezekinya, tempat ia mengabdi selama 15 tahun.
“Mati rezeki saya di sini,” katanya.
Ia hanya bisa memungut barang-barang yang sudah hangus terbakar untuk selanjutnya dijual ke tukang rongsokan. Asmo berencana pulang ke rumahnya di Cirebon, Jawa Barat, sampai perbaikan selesai.
Pedagang lain, Purwanto, menyebut banyak pedagang tak punya modal untuk bangkit.
“Kami pedagang hancur semua. Enggak tersisa. Kasihan teman-teman yang lain, mau jualan pun sudah tidak ada modal lagi,” tutur pedagang bernama Purwanto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.