Jejak Inovatif Warga Sirnasari, Sulap Lahan Bekas Longsor Jadi Pertanian dan Peternakan
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com –
Permukiman Kampung Sirnasari, RT 07 RW 04, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, mengalami perubahan besar setelah dilanda longsor pada 2023.
Akibat bencana tersebut, puluhan keluarga yang sebelumnya bermukim di kawasan itu harus direlokasi ke tempat lain.
Namun, cerita tidak berhenti pada tanah yang dinyatakan tak lagi aman untuk dihuni. Justru dari kondisi itulah, warga mencoba merumuskan ulang hubungan mereka dengan ruang yang tersisa.
Alih-alih membiarkannya terbengkalai, warga memanfaatkan lahan tersebut sebagai tempat bertani, beternak, dan berkegiatan sosial.
Pengamatan
Kompas.com
di lokasi menunjukkan, lahan yang kini dikelola Kelompok Tani Dewasa (KTD) Sirnasari tidak lagi menyerupai permukiman, tetapi menjelma menjadi kawasan
pertanian
yang rapi.
Di area yang dulunya berdiri rumah-rumah warga, kini terbentang kolam ikan. Airnya tenang, berwarna kehijauan, dipagari bilah bambu dan kayu. Beberapa warga terlihat duduk di tepi kolam, sesekali memperhatikan permukaan air dan berbincang santai.
Tidak ada kesan tergesa-gesa; aktivitas berlangsung perlahan, mengikuti ritme lahan yang kini mereka rawat bersama.
Tak jauh dari kolam, sebuah kandang domba berdiri sederhana. Rangkanya terbuat dari bambu, dengan atap seng dan dinding papan. Di depannya terpasang papan nama KTD Sirnasari, sebagai penanda bahwa lahan bekas permukiman ini kini memiliki fungsi baru.
Di dalam kandang, domba-domba tampak berdesakan, sementara seorang warga tengah mengisi palung pakan dengan ember plastik dan sekop kecil. Pengamatan
Kompas.com
juga melihat area tanam yang memanfaatkan ruang terbuka tanpa banyak rekayasa.
Rak-rak dari pipa dan kayu disusun untuk menopang
polybag
berisi tanaman. Di sisi lainnya, sebuah papan peringatan berwarna kuning mencolok berdiri di tengah semak hijau.
Tulisan “Berbahaya, Area Rawan Bencana, Dilarang Mendirikan Bangunan” menjadi latar kontras dari aktivitas warga. Papan itu seolah menegaskan alasan mengapa lahan ini tidak lagi diisi bangunan permanen, melainkan diolah secara sementara dan adaptif.
Suasana di kawasan KTD Sirnasari terasa sunyi, namun hidup. Tidak ada deretan rumah, tidak ada suara kendaraan, hanya bunyi air kolam, gesekan bambu, dan obrolan warga.
Bekas permukiman yang pernah ditinggalkan karena bencana kini tidak dibiarkan kosong, melainkan diisi dengan cara baru, yakni bertani dan beternak, tanpa menantang alam, tetapi berdamai dengannya.
Ketua RW setempat, Dwi Anggraeni, mengatakan, pemanfaatan
lahan bekas longsor
di
Kampung Sirnasari
bukan program yang datang dari luar.
Inisiatif itu, kata dia, tumbuh dari warga setempat yang melihat adanya ruang kosong yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, terutama bagi anak-anak dan pemuda di lingkungan tersebut.
“Jadi memang kita inisiatif, tadinya pula sudah ada kelompok. Terus kebetulan kan di sini ada lahan dulu bekas longsor, daripada enggak dipergunakan, lebih baik kita pergunakan lah buat anak-anak lagi,” ujar Dwi saat ditemui
Kompas.com
, Rabu (24/12/2025).
Menurut Dwi, lahan itu kemudian dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas produktif, mulai dari pertanian hingga
peternakan
.
“Jadi dari menanam sayuran, terus dari ikan, dari kambing,” kata dia.
Ia juga menyebut, warga mendapat bantuan dari pemerintah berupa bibit-bibit untuk dibudidayakan, termasuk sembilan ekor kambing dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP).
“Alhamdulillah kan kambing dari sembilan yang kita dikasihnya, sekarang sudah berkembang biak,” kata Dwi.
Lahan yang kini dimanfaatkan merupakan area bekas longsor yang sejak awal ditetapkan sebagai kawasan yang tidak boleh dihuni. Keputusan ini diambil demi keselamatan, mengingat kondisi tanah yang dinilai tidak stabil.
“Dulu memang bekas longsor. Cuma kan kategori enggak aman, untuk enggak boleh diisi. Karena kita enggak isi itu, makanya dibuat ini lah gitu,” kata Dwi.
Sebelum longsor terjadi, kawasan tersebut merupakan permukiman padat dengan puluhan kepala keluarga. Namun, seluruh warga direlokasi ke hunian baru setelah terjadinya longsor.
“Dulu di sini ada 81 KK, cuma kan kena
double track
. Satu pemindahan, yang kedua pemindahan karena bencana longsor,” ujarnya.
Kata Dwi, seluruh warga yang terdampak longsor telah direlokasi dan mendapatkan tempat tinggal pengganti.
Pemanfaatan lahan pasca longsor bukan berarti dimulai dari nol. Menurut Dwi, sebelum bencana, warga sebenarnya sudah melakukan pertanian sederhana. Namun longsor menghentikan sementara semua kegiatan tersebut.
“Sebenarnya kita dari sebelum longsor, kita sudah berjalan ya, sudah menanam dari sayuran, Cuma kan waktu itu ketimpa longsor, jadi berhenti dulu, tapi daripada itu (kosong), jadi maju lagi, gerak lagi,” ungkapnya.
Keputusan untuk kembali mengelola lahan dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Selain status lahan yang rawan, warga juga harus memastikan faktor keamanan. Penguatan tanah menjadi salah satu langkah awal yang dilakukan sebelum aktivitas diperluas.
“Sebenarnya iya sih betul rawan longsor. Cuman kan ke satu kita udah diperkuat, dipaku bumi udah mulai aman lah,” kata Dwi.
Selain itu, penanaman pohon berakar kuat juga dilakukan untuk membantu menjaga kestabilan tanah.
Dwi menyebut, sedikitnya 121 pohon telah ditanam di area yang dianggap rawan.
“Kita tanemin pohon yang keras di rawan-rawan longsor,” katanya.
Dalam tahap awal pemanfaatan lahan, KTD tidak langsung fokus pada satu jenis kegiatan. Pertanian dan peternakan justru dijalankan hampir bersamaan.
“Waktu itu baru ikan, terus enggak lama, Alhamdulillah pengajuan, dapet lah domba sembilan ekor. Dan Alhamdulillah sekarang berkembang gitu,” tutur Dwi.
Saat ini, kolam ikan menjadi salah satu aktivitas utama yang dijalankan warga. Air yang digunakan pun berasal dari mata air dengan kualitas baik.
Selain ikan dan domba, warga juga mulai mengembangkan peternakan ayam.
Lahan bekas longsor ditanami berbagai sayuran, dipilih berdasarkan kemudahan perawatan dan kebutuhan warga.
“Tomat, kangkung, gambas, kacang panjang, sempat ada timun juga dan rencananya kita mau tanam jagung,” kata Dwi.
Masa panen pun bervariasi, tergantung jenis tanaman.
“Kalau kangkung sih paling banget itu tiga bulan udah panen kecuali kalau cabai mah enam bulan panen, tergantung sih,” jelasnya.
Salah satu tujuan utama pemanfaatan lahan ini adalah melibatkan anak-anak muda agar memiliki aktivitas yang lebih produktif.
Dari total sekitar 20 anggota kelompok, sebagian besar merupakan pemuda.
“Alhamdulillah sekarang banyak gitu, yang tadinya nongkrong Alhamdulillah sedikit-sedikit udah mulai mau bertani,” kata Dwi.
Sebagian dari mereka merupakan warga lama yang dulu tinggal di kawasan tersebut, sedangkan lainnya masih berasal dari wilayah RW yang sama.
Meski tidak langsung menghasilkan keuntungan besar, aktivitas ini mulai memberikan dampak ekonomi sederhana bagi warga.
“Sebenarnya kita dari pertama kita belum ada ekonomi. Kemudian enggak ada modal. Tapi Alhamdulillah sedikit-sedikit kita ada dari ikan. Terus ada kita hasil dari tanaman sayuran kita dapat gitu,” kata Dwi.
Hasil panen dijual ke warga sekitar dengan harga yang relatif terjangkau. Soal keuntungan, Dwi menyebut jumlahnya belum besar.
“Paling ada lah sedikit lah gitu. Buat anak-anak bisa ngopi. Buat ngeliwet apa gitu ada lah,” katanya.
Harga jual pun disesuaikan dengan kondisi pasar. Namun, untuk ikan, harganya sedikit lebih murah dibandingkan yang dijual di pasar.
“Kita enggak ngejual sama kayak di pasar gitu. Paling kalau ikan kemarin ini kita misalnya di pasar harga Rp 35.000 kita jual Rp 30.000,” kata Dwi.
Meski sudah berjalan sekitar dua tahun, proses pengelolaan lahan ini masih terus dilakukan bertahap.
“Kita kan dua tahun ya kita di sini, proses tiap hari tuh masih beres terus masih sedikit-sedikit diberesin biar rapi lah gitu,” ujar Dwi.
Kekhawatiran akan potensi longsor masih ada, tetapi dihadapi dengan langkah-langkah mitigasi.
“Makanya kan kemarin kita tanemin pohon yang keras-keras di pinggir itu ya,” katanya.
Ke depan, warga berharap lahan tersebut bisa terus berkembang dan menjadi ruang produktif yang lebih baik.
“Ini kan masih ada lahan kosong gitu ya, jadi itu dirapi-rapi kita sedikit-sedikit. Mudah-mudahan ke depannya lebih maju lagi. Anak-anaknya tambah semangat lagi,” tutur Dwi.
Masuknya anak-anak muda ke dalam Kelompok Tani Desa (KTD) tidak terjadi sekaligus.
Ardi (25), salah satu warga yang kini tergabung dalam kelompok tani, menceritakan bahwa keterlibatannya baru terjadi beberapa bulan terakhir.
“Kalau saya itu baru sekitar 4-5 bulanan lah, bukan dari bangunan dari awal, kalau anak-anak muda kan baru, dulu memang bekas ibu-ibu bapak-bapak gitu,” kata dia saat ditemui dalam kesempatan yang sama.
Seiring waktu, peran generasi muda mulai terlihat lebih dominan. Regenerasi berjalan alami ketika anak-anak muda mulai mengambil alih pengelolaan kebun, sementara peran orang tua bergeser.
“Makin ke sini, makin ke sini jadi diurusnya sama anak-anak muda,” ujar Ardi.
Bagi Ardi, keputusan turun langsung ke kebun bukan didorong oleh gagasan besar atau idealisme lingkungan yang muluk. Ia justru berangkat dari kegelisahan sederhana melihat lahan luas yang dibiarkan terbengkalai.
Menurut dia, jika lahan tidak dikelola, bukan hanya potensi ekonomi yang hilang, tetapi juga muncul risiko lingkungan yang bisa membahayakan warga sekitar.
“Kalau awalnya tertarik ya sayang, maksudnya lahan selebar ini seluas ini enggak dikelola sama yang mau ngelola gitu kayak warga sekitar gitu. Kalau enggak dikelola kan kayak rimbun, gimana nanti banyak hewan-hewan liar, ngebahayain juga,” katanya.
Namun, terjun ke dunia pertanian bukan perkara mudah. Ardi mengakui hampir semua anak muda yang terlibat tidak memiliki latar belakang bertani.
Mereka harus beradaptasi dengan kondisi alam dan ritme kerja yang sama sekali baru.
“Kesulitan. Panas ini lah, enggak ngerti juga, bener-bener enggak ngerti. Kita belajar semua sih ya. Pada pemula semua, jadi enggak ngerasa ketinggalan gitu ya,” kata dia.
Di tengah keterbatasan pengalaman, proses belajar dilakukan bersama. Pendampingan dari pihak luar dan kegiatan studi banding ke wilayah lain menjadi bekal penting agar semangat tetap terjaga.
“Ada sih sempat di pertengahan bingung, tapi karena selain otodidak juga ada pendampingan, kita juga ada semacam studi banding ke kampung lain,” jelas dia.
Hingga kini, kegiatan bertani belum sepenuhnya menjadi sumber penghasilan utama bagi para pemuda yang tergabung dalam KTD.
Meski begitu, Ardi merasakan perubahan lain yang tak kalah penting, terutama dalam cara pandangnya terhadap lingkungan.
Keterlibatan di kebun membuatnya lebih memahami kondisi ruang hijau yang kian terbatas, sekaligus membuka kesadaran tentang pentingnya menjaga alam sekitar.
“Kegiatan sosial sih. Jadi ngerti ternyata ruang lingkungan pertanian di Bogor itu sangat kecil ya, lalu ‘Oh ternyata pertanian kayak gini. Oh ngejaga pohon ternyata gitu’. Jadi mungkin bisa dibilang melek sama alam,” ujar dia.
Pandangan serupa juga disampaikan Denis (32). Ia menilai keterlibatan anak muda dalam pertanian bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan agar lahan tidak terus-menerus bergantung pada generasi lama.
Bagi Denis, peran orang tua tetap penting, tetapi sudah saatnya anak muda mengambil tanggung jawab lebih besar dan membuktikan kemampuannya.
“Lahan segede ini kalau nggak dimanfaatin bakal jadi hutan rimba. Maksudnya, masa harus orang tua terus, orang tua hanya pendamping, sekarang tinggal kita-kita lah. Kita buktiin bahwa anak muda aja bisa gitu,” ujarnya.
Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Empang, Yoyoh, menyebut pemanfaatan lahan tidak semata-mata untuk ekonomi.
Fokus utamanya adalah merespons keinginan warga sekaligus menyalurkan kreativitas mereka agar lahan tidak kembali terbengkalai atau berubah fungsi secara liar.
“Awalnya ya kita tidak melihat ke ekonomi, cuma keinginan warga dan kreativitas warga,” kata Yoyoh di lokasi yang sama, Rabu.
“Tapi setelah ke sini kan kalau untuk bantuan dari pemerintah. Akhirnya kita membentuk kelompok. Dan juga mungkin bisa dilihat ada potensi,” sambungnya.
Kata Yoyoh, saat ini pihaknya lebih banyak sebagai penghubung antara kebutuhan warga dan bantuan pemerintah.
Ketika inisiatif datang dari bawah, pemerintah setempat memilih untuk memberi dukungan.
“Kalau kita kan dari pemerintahannya ya. Kalau memang dari warganya yang keinginan ya kita
support
gitu, kita menjembatani,” ujarnya.
Selain fungsi sosial dan ekonomi, pemanfaatan lahan ini juga dipandang penting untuk mencegah munculnya bangunan liar di kawasan perkotaan yang rawan bencana.
“Kalau kita kan sebenarnya karena dekat kota bangunan-bangunan liar itu cepat sekali gitu ya, menjamur. Makanya kita bangun tempat ini ya untuk menghindari itu juga,” kata dia.
Kelurahan mencatat luas lahan yang dikelola warga saat ini masih terbatas dan ditata secara bertahap sesuai kemampuan tenaga dan fasilitas yang ada.
“Di sini itu sekitar 400 meter persegi yang dikelola sekitar 200 meter persegi. Kita sedikit-sedikit sih,” katanya.
Pengamat lingkungan, Mahawan Karuniasa, mengatakan, lahan bekas permukiman yang terdampak longsor tidak bisa diperlakukan sebagai ruang kosong yang sepenuhnya aman.
Riwayat longsor, kata dia, menandakan kondisi geologi dan hidrologi yang rapuh, sehingga setiap bentuk pemanfaatan harus ditempatkan dalam kerangka pemulihan dan pengurangan risiko bencana.
“Lahan bekas permukiman yang terdampak longsor memang sebaiknya tidak dipandang sebagai lahan kosong bebas risiko. Karena memang lahan ini atau
landscape
ini cenderung rapuh yang justru perlu dipulihkan,” kata dia saat dihubungi, Kamis (25/12/2025).
Menurut dia, pemanfaatan lahan tetap memungkinkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati.
Aktivitas seperti pertanian, kolam ikan, dan peternakan dinilai relatif aman selama dilakukan dalam skala kecil.
“Tidak mengubah lereng secara signifikan, serta dilengkapi juga tentu saja dengan pengelolaan tata air, konservasi tanah,” ujar dia.
Ia mengingatkan bahwa lahan bekas longsor pada dasarnya rentan terhadap erosi dan longsor susulan, terutama saat hujan lebat atau cuaca ekstrem.
Karena itu, pendekatan terbaik dalam jangka pendek adalah pemanfaatan yang terbatas dan terkendali, dengan menjaga tutupan vegetasi dan fungsi resapan air agar risiko dapat ditekan sekaligus memberi manfaat sosial bagi warga.
Mahawan mengatakan, penanaman pohon sering dianggap sebagai solusi utama untuk mencegah longsor. Padahal, pendekatan ini juga membutuhkan kehati-hatian.
“Penanaman pohon memang membantu memperkuat struktur tanah dan juga mengatur air. Namun ini harus perlu kehati-hatian. Yang pertama pohon bukan solusi tunggal,” kata dia.
Karakter tanah yang berbeda menyebabkan penyebab longsor juga tidak selalu sama.
“Jadi tidak serta-merta semua tanah longsor harus diperlakukan dengan cara yang sama,” jelasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Jejak Inovatif Warga Sirnasari, Sulap Lahan Bekas Longsor Jadi Pertanian dan Peternakan Megapolitan 26 Desember 2025
/data/photo/2025/02/11/67aab099302e7.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/11/27/692815a9b07ce.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/07/31/688ae7bcb0270.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/25/694d1a04544b1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
/data/photo/2025/12/25/694d348059138.jpeg?w=400&resize=400,225&ssl=1)