Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Jatuh Bangun Generasi Sandwich: Menahan Keinginan dan Mimpi demi Keluarga Megapolitan 11 Desember 2025

Jatuh Bangun Generasi Sandwich: Menahan Keinginan dan Mimpi demi Keluarga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
 Menjalani peran sebagai seorang generasi
sandwich
tentu bukan perkara mudah bagi banyak orang.
Pasalnya, seorang generasi
sandwich
tidak hanya berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri, tetapi juga kedua orangtuanya atau keluarga kecilnya.
Kondisi semakin kompleks apabila ia juga harus menopang kebutuhan saudara kandung, yakni adik, kakak, bahkan keponakan.
Kondisi itulah yang dialami salah satu warga Manggarai, Jakarta Selatan, Desiana (31), yang harus menanggung peran sebagai generasi
sandwich
sejak 2013 atau setelah ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
“Harus menanggung orangtua, adik, dan adik sepupu,” ujar Desiana ketika diwawancarai
Kompas.com 
di kediamannya di Manggarai, Rabu (10/12/2025).
Desi bercerita dirinya harus menjalani peran sebagai generasi
sandwich
karena kedua orangtuanya tak lagi bekerja. Saat itu, adik perempuannya juga masih bersekolah dan membutuhkan biaya.
Tidak hanya menanggung biaya hidup orangtua dan adiknya, Desi juga sempat terbebani untuk melunasi utang orangtuanya yang mencapai puluhan juta rupiah ketika ia baru diterima bekerja di sebuah restoran 12 tahun lalu.
Utang tersebut berhasil ia lunasi dengan mencicil selama lima tahun. Seiring berjalannya waktu, tanggung jawab Desi sebagai generasi
sandwich
bertambah.
Anak sulung tersebut juga harus menanggung biaya pendidikan adik sepupunya yang kini duduk di bangku SMK, karena orangtuanya sudah tidak mampu membiayai.
Peran sebagai generasi
sandwich
terus dijalani Desi hingga kini meski ia telah menikah dan memiliki seorang anak berusia enam bulan.
Beruntung, adik kandungnya kini sudah lulus sekolah dan bekerja sehingga tidak lagi menjadi tanggungan Desi.
Kini, Desi dan adik perempuannya saling berbagi beban untuk membiayai kedua orangtua dan adik sepupunya
Setiap bulan, dengan gaji UMR Jakarta sekitar Rp 5,3 juta, Desi harus memutar otak untuk membiayai orangtua, adik sepupu, dan keluarga kecilnya.
“Pokoknya kasih ibu Rp 1,5 juta, buat bayar utang pokoknya enggak boleh lebih dari Rp 1 juta. Nah, Rp 1 juta lagi nabung. Sisanya baru buat saya,” ucap dia.
Sisa gajinya itu, Desi gunakan untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga berupa makan, biaya kebutuhan anak, hingga membayar kontrakan.
Memiliki gaji pas-pasan dan banyak tanggungan membuat perempuan itu sering menahan keinginan pribadinya.
“Sering banget nahan keinginan pribadi. Contohnya, kayak misalnya buat beli baju yang lagi
ngetrend
sekarang, malah buat bayar utang,” jelas Desi.
Sama seperti Desi, pria bernama Eki Wiratama Putra (25) juga mengaku sering menahan keinginannya karena menjadi generasi sandwich yang harus menghidupi ibunya yang
single parent
, adik perempuan, serta istrinya.
“Sering menahan keinginan pribadi, tapi yang mencolok ada dua, yaitu pertama saya pengen banget beli motor sport tapi saya tidak egois akhirnya saya tahan demi membantu perekonomian orangtua saya,” kata Eki, Rabu.
Keinginan kedua yang harus ia tunda adalah kuliah. Setelah lulus STM pada 2018, Eki terpaksa tidak melanjutkan pendidikan demi membantu perekonomian keluarga.
Saat itu usaha jasa antar tas mewah orangtuanya mengalami kemunduran. Di tengah omzet usaha yang menurun drastis, orangtua Eki masih harus membayar cicilan mobil dan rumah dalam tenor panjang.
Pandemi Covid-19 pada 2020 semakin memperburuk kondisi. Kondisi itu membuat Eki memutuskan membantu usaha orangtuanya agar tidak perlu menggaji karyawan.
Selama dua tahun lamanya, ia memutuskan untuk bekerja sebagai kurir tas mewah di usaha milik ibunya tanpa mengambil gaji.
Bayarannya sebagai kurir sebagian besar ia serahkan kepada ibunya untuk membantu membayar cicilan mobil dan rumah.
“Di tahun 2018-2020 itu gaji saya dikasih sepenuhnya ke ibu saya, saya cuman ambil uang operasional aja kebutuhan kayak makan, bensin, rokok ya operasional saya sekitar Rp 70.000-Rp 100.000 per hari,” jelas Eki.
Namun, pada 2022 ia memutuskan untuk mencari pekerjaan baru dengan harapan bisa memperbaiki perekonomiannya dan melanjutkan kuliah.
Dengan pekerjaan barunya sebagai pengurus dokumen barang ekspor dan impor, kini Eki memiliki pendapatan yang lebih besar dan bisa membiayai kuliahnya secara mandiri.
“2022 saya masuk kuliah dengan biaya saya sendiri mengusahakan tanpa melibatkan orangtua saya,” ucap Eki.
Awalnya, ia merasa begitu berat karena tetap harus membantu perekonomian keluarga di tengah biaya kuliahnya yang mencapai Rp 12 juta per semester.
Namun, karena gaji Eki mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kini kebutuhan orangtua dan biaya kuliahnya bisa terus ia terus penuhi.
Bahkan, kini ia juga bisa membiayai istrinya yang baru saja dinikahi tepat satu tahun lalu.
“Tapi, Alhamdulillah sampai saat ini berjalan lancar karena Allah saya bisa menjalankan itu semua sampai sekarang saya sudah menginjak di semeter tujuh,” ujar Eki.
Bertahun-tahun menjadi generasi
sandwich
tentu saja membuat Eki seringkali merasa lelah, tetapi ia tak pernah mau menyerah.
“Kadang capek cuma mau gimana namanya juga ujian dari kehidupan. Karena saya percaya Allah itu selalu ada untuk saya makanya saya lewatin ujian tersebut satu per satu. Namun, namanya manusia juga wajar ada titik di mana dia lelah atau capek tanpa merasa menyerah dan putus asa,” ucap Eki.
Rasa lelah juga dirasakan Verel (27) karena harus menjadi
sandwich generation
sejak 2021.
Berkali-kali Verel mengaku ingin menyerah karena harus mengorbankan banyak keinginan pribadi demi membantu perekonomian keluarganya.
Namun, ia yakin menjadi seorang generasi
sandwich
merupakan hal yang mulia karena bentuk bakti terhadap orangtua.
“Karena saya beragama Islam, saya yakin berbakti sama orangtua hal mulia termasuk dalam merawatnya saya yakin itu,” ujar Verel.
Verel terpaksa menjadi generasi
sandwich
karena orangtuanya sudah lanjut usia dan tidak lagi berpenghasilan.
Ibunya juga sakit dan membutuhkan biaya. Selain itu, ia harus menanggung kakak perempuannya yang sudah bercerai dan tinggal bersama mereka untuk membantu merawat sang ibu.
Meski pendapatannya sebagai pekerja kantoran pas-pasan, Verel bersyukur masih bisa membantu keluarganya hingga kini..
Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida memberikan pandangannya mengenai generasi
sandwich.
“Fenomena generasi
sandwich
pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dengan isu demografis, ‘kawin mawin’ yang merupakan reproduksi biologis sekaligus reproduksi sosial,” ucap Ida.
Secara budaya, sejak dahulu terdapat nilai-nilai yang menekankan kewajiban anak kepada orangtua, begitu pula kewajiban orangtua terhadap anak.
Namun, ketika
dual caregiving
itu dianggap sebagai beban, khususnya beban ekonomi, istilah generasi
sandwich
pun muncul.
Beban tersebut tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga tanggung jawab psikososial, budaya, dan lainnya, sementara sumber daya sering kali terbatas.
Strategi menjalani peran sebagai generasi
sandwich
berbeda-beda tergantung kemampuan individu, pengalaman, pengetahuan, serta dukungan dan akses terhadap sumber daya, termasuk ekonomi.
“Demikian pula dampaknya berbeda-beda, namun bagi yang mampu dampak beban psiko-sosial apalagi ekonomi, tergolong rendah,” jelas Ida.
Ida mengatakan, seorang generasi
sandwich
harus mengembangkan kecerdasan dan keterampilan sosial, karena manusia bukan makhluk individual.
Mereka perlu menyadari posisi sosialnya serta memahami konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Di negara-negara maju, generasi
sandwich
juga ada, namun sebagian beban mereka diambil alih oleh negara.
Negara menjamin kebutuhan lansia, sementara lansia di negara maju cenderung lebih mandiri, termasuk secara ekonomi.
“Untuk Indonesia memang jadi problematik, apalagi ada tuntutan sosial budaya, bahkan agama, tentang kewajiban anak terhadap orangtuanya,” ucap Ida.
Nilai bahwa anak harus membalas budi kepada orangtua inilah yang membuat banyak anak muda terjebak dalam posisi sebagai generasi
sandwich
.
Di sisi lain, banyak orangtua tidak mempersiapkan masa tuanya sehingga ketika tidak lagi berpenghasilan, mereka menggantungkan hidup kepada anak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.