Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Jastip dan Waktu yang Tak Pernah Cukup di Kota Besar Megapolitan 17 Desember 2025

Jastip dan Waktu yang Tak Pernah Cukup di Kota Besar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Perubahan cara berbelanja tidak selalu ditandai hadirnya pusat belanja baru atau promo besar di aplikasi daring.
Dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran itu justru terlihat dari praktik sederhana, yakni menitipkan pembelian kepada orang lain.
Jasa titip
atau
jastip
tumbuh di tengah rutinitas perkotaan yang padat, jarak yang jauh, serta keinginan mengikuti arus barang dan tren yang bergerak cepat.
Bagi sebagian orang, jastip bukan lagi sekadar alternatif, melainkan solusi atas keterbatasan waktu, tenaga, dan akses.
Tidak semua orang ingin atau mampu datang langsung ke pusat belanja, kota lain, hingga luar negeri.
Di situlah jastiper hadir sebagai penghubung antara keinginan dan kenyataan, dari
makanan viral
hingga
produk luar negeri
yang tak tersedia di Indonesia.
Salah satu alasan paling sering muncul dari pengguna jasa titip adalah soal waktu.
Aktivitas kerja yang padat membuat banyak orang kesulitan menyisihkan waktu khusus untuk berbelanja.
Bagi Rina (29), pekerja kantoran di Jakarta Selatan, jastip mulai menjadi bagian dari keseharian sejak pekerjaannya semakin menyita waktu.
“Saya mulai pakai jastip sekitar dua tahun lalu. Awalnya tahu dari Instagram, lihat teman repost jastiper yang sering ke luar kota atau ke mal tertentu. Dari situ coba-coba,” ujar dia saat dihubungi, Selasa (16/12/2025).
Belanja langsung, menurut Rina, sering kali membutuhkan alokasi waktu khusus, mulai dari perjalanan, menghadapi keramaian, hingga mengantre pembayaran.
Ia memilih jastip bukan karena barangnya tidak tersedia, melainkan karena tidak punya cukup waktu untuk mencarinya sendiri.
“Paling sering makanan atau produk yang lagi viral, sama kadang skincare. Kalau beli sendiri, saya harus nyempetin waktu dan malas jalan, sementara lewat jastip tinggal pesan,” kata dia.
Rina menyebut jastip paling dibutuhkan saat waktu benar-benar terbatas.
“Seringnya, kalau lagi sibuk kerja atau pas ada barang yang lagi ramai tapi saya nggak sempat ke mana-mana,” ujarnya.
Waktu jadi pertimbangan utama
Dalam banyak kasus, alasan utama menggunakan jastip bukan soal jarak atau harga, melainkan waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan.
Setelah seharian bekerja, sebagian orang memilih menghemat energi untuk hal lain yang dianggap lebih penting.
Bagi Rina, faktor ini menjadi alasan paling dominan.
“Pulang kerja udah capek, jadi jastip itu solusi biar tetap bisa dapet barang tanpa ribet,” kata dia.
Kenyamanan sebagai nilai tambah
Selain menghemat waktu, jastip juga menawarkan kenyamanan.
Pelanggan tidak perlu keluar rumah, menghadapi cuaca, atau berada di tengah keramaian.
Proses pemesanan hingga pengiriman dilakukan dari jarak jauh.
Rina menyebut kenyamanan sebagai keunggulan utama dibandingkan belanja langsung.
“Praktis banget. Tinggal chat, transfer, barang sampai. Saya nggak perlu keluar rumah atau ke tempat ramai,” ujarnya.
Tak khawatir soal harga
Biaya tambahan kerap menjadi pertimbangan dalam menggunakan jastip.
Namun bagi sebagian pelanggan, biaya tersebut masih bisa diterima selama sebanding dengan layanan yang diberikan.
Rina menilai ongkos jastip masih wajar selama transparan.
“Selama jasanya wajar, saya merasa masih masuk akal.
Worth it
banget kalau barangnya jauh atau lagi susah dicari,” kata dia.
Seiring waktu, jastip tidak lagi dipandang sebagai solusi sementara. Bagi sebagian orang, layanan ini telah menjadi bagian dari pola hidup.
Rina menilai jastip kini sudah masuk kategori kebutuhan praktis.
“Buat saya sekarang sudah jadi kebutuhan praktis, terutama kan aktivitas saya padat,” kata dia.
Mengakses barang yang tidak masuk Indonesia
Jika bagi sebagian orang jastip dipilih karena alasan waktu, bagi pelanggan lain jastip menjadi satu-satunya cara mendapatkan barang tertentu, terutama produk luar negeri yang tidak dijual resmi di Indonesia.
Aditya (25) mulai menggunakan jastip setelah tertarik pada produk Jepang yang sering muncul di media sosial.
“Awalnya tahu dari Twitter dan Instagram, banyak akun jastip Jepang yang sering update barang-barang UNIQLO atau snack yang cuma ada di sana,” kata dia.
Eksklusivitas jadi daya tarik utama
Berbeda dengan Rina, Aditya menggunakan jastip karena faktor eksklusivitas.
Produk yang dititipkan bukan barang umum, melainkan item yang memang tidak tersedia di dalam negeri.
“Paling sering UNIQLO Jepang, terutama koleksi yang nggak masuk ke Indonesia. Kalau mau beli sendiri kan harus ke Jepang, jadi jastip satu-satunya cara yang realistis,” ujarnya.
Bagi Aditya, harga bukan pertimbangan utama selama barang yang diinginkan sulit didapatkan.
“Yang paling utama jelas karena barangnya susah dicari. Bukan cuma soal jarak, tapi memang produknya nggak dijual di Indonesia,” katanya.
Selain barang, Aditya juga merasakan keuntungan lain berupa akses informasi.
“Keuntungannya jelas akses. Saya bisa dapet barang yang eksklusif tanpa harus ke luar negeri. Selain itu, jastiper biasanya update stok dan kondisi barang, jadi kita tetap merasa terlibat proses belanjanya,” tuturnya.
Jastip yang berawal dari hobi
Bagi Raka (27), menjalankan jasa titip awalnya bukan rencana bisnis.
Aktivitas ini berawal dari hobinya bepergian ke luar negeri dan berburu barang yang tidak selalu tersedia di Indonesia.
Dari kebiasaan itu, muncul permintaan kecil dari orang-orang terdekat.
“Saya mulai jastip sekitar awal 2021. Awalnya karena suka jalan-jalan ke luar negeri. Dari situ teman-teman mulai nitip barang, dari situ kepikiran, kenapa nggak sekalian dibikin lebih serius,” kata dia kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2025).
Seiring waktu, permintaan meningkat dan memberi tambahan penghasilan.
“Awalnya murni sampingan. Tapi lama-lama peminatnya makin banyak, pesanan rutin, akhirnya jadi salah satu sumber penghasilan utama,” ujarnya.
Konten FYP jadi pemicu
Berbeda dengan Raka, Fristo justru memulai jastip dari media sosial. Sebuah konten yang ia unggah mendadak viral dan memicu banyak respons.
“Awal mulanya kan dari salah satu konten aku yg FYP (
For Your Page
) 2.1jt. Lalu ada beberapa orang yang komen dan DM tadinya iseng aja,” kata Fristo.
Dari respons spontan itu, Fristo mulai mempelajari dunia jastip secara mandiri. Ia menyusun skema harga, alur pemesanan, hingga menjalin relasi dengan vendor makanan.
Dalam waktu singkat, pesanan meningkat dari tiga hingga 17 orderan.
Berbeda dengan jastip luar negeri, layanan Fristo fokus pada kuliner, khususnya jajanan khas kawasan Puncak.
“Full makanan semua, mulai dari sate Maranggi Sari Asih, Sate Kambing Hanjawar, Okeke, Gemblong Bu Juju, Duren Goreng Pasunda sampai Chocomory,” kata dia.
Dari perjalanan yang awalnya dilakukan untuk kebutuhan pribadi, jastip justru membuka peluang ekonomi yang tak terduga.
“Untuk penghasilannya perminggu alhamdulillah banget deh, sangat di luar ekspektasi. Untuk nominalnya aku rahasiain tapi sangat cukup buat aku,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.