Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Jam Kerja Panjang Tanpa Henti, Kesehatan Sopir Truk Sampah di TPST Bantargebang Terancam Megapolitan 15 Desember 2025

Jam Kerja Panjang Tanpa Henti, Kesehatan Sopir Truk Sampah di TPST Bantargebang Terancam
Tim Redaksi

BEKASI, KOMPAS.com
– Di balik berjalannya sistem pengangkutan sampah Jakarta setiap hari, tersimpan risiko
kesehatan
serius yang dihadapi para
sopir truk
.
Jam kerja panjang, kurang tidur, paparan polutan, hingga tekanan fisik akibat antrean berjam-jam di
TPST Bantargebang
membuat profesi ini berada di titik rawan, bahkan bisa berujung kematian.
“Secepatnya-cepatnya itu empat jam antre, itu sudah lumayan buat kami bisa istirahat,” ujar Santo (bukan nama sebenarnya) (39), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan, saat dihubungi
Kompas.com,
Jumat (12/12/2025).
Santo telah menjadi sopir pengangkut sampah sejak 2019. Dalam kesehariannya, ia mengangkut sampah dari wilayah Jakarta Selatan menuju TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Rutinitas tersebut, menurut Santo, tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga menggerus kondisi kesehatannya secara perlahan.
“Masuk jam 09.00 pagi, pernah saya alami pulang jam 04.00 pagi,” kata Santo.
Antrean panjang
, tutur Santo, sudah menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari. Bahkan dalam kondisi yang dianggap “kondusif” sekalipun, waktu tunggu tetap mencapai lima hingga enam jam.
“Sekarang ini paling lama-lamanya enam jam. Tapi sebelumnya tiap hari memang belasan jam antre,” ujarnya.
Menurut Santo, kondisi antrean baru sedikit membaik dalam tiga hingga empat hari terakhir setelah adanya pembukaan lebih banyak zona pembuangan. Namun, perbaikan itu tidak menghapus fakta bahwa jam kerja para sopir sering kali melewati batas normal.
“Kalau fisik sudah lemah, pulang dari sini bukannya istirahat, kadang langsung kerja lagi,” kata dia.
“Iya, betul. Kerjanya bisa 24 jam non-stop,” tutur Santo.
Panjang antrean, kata Santo, dipicu oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah cuaca. Saat hujan, proses pembongkaran sampah melambat karena risiko longsor dan keterbatasan alat berat.
“Waktu itu kendalanya hujan. Terus duduk-dudukannya alat berat enggak nyaman, jadi istirahat dulu,” ujar Santo.
Selain itu, kondisi gunungan sampah yang sudah terlalu tinggi membuat ruang pembuangan semakin sempit.
“Ketinggian sampahnya sudah enggak layak, sudah tinggi banget. Udah enggak ada lagi space buat buang sampah,” katanya.
Di TPST Bantargebang terdapat lima zona pembuangan. Namun, dalam praktiknya, tidak semua zona selalu dibuka.
“Untuk saat ini yang buka biasanya tiga. Setelah ada masalah yang meninggal itu, sempat buka lima zona,” tutur Santo.
Kondisi jalan di dalam zona pembuangan juga menjadi persoalan tersendiri. Santo menyebut sejumlah ruas jalan rusak dan berisiko menyebabkan truk terguling.
“Kalau pulangnya itu ada jalan rusak. Makanya banyak mobil yang kebalik,” katanya.
Saat menunggu antrean berjam-jam, Santo biasanya tetap berada di sekitar truk. Ia bisa turun jika cuaca memungkinkan, tetapi waktu istirahat tetap jauh dari ideal.
“Kalau tidur panas. Biasanya ngerokok. Kalau ngantuk banget, meskipun siang bisa tidur, tapi ngantuknya datang lagi,” ujarnya.
Ia mengakui kelelahan fisik menjadi risiko yang tak terhindarkan. Namun, bertahan berarti harus mengatur diri sebisanya.
“Kalau saya yang penting jangan lupa makan. Saya kadang bawa bekel nasi dari rumah,” katanya.
Dalam sehari, lebih dari seribu truk masuk ke Bantargebang. Santo menyebut jumlah itu hampir tak pernah berkurang.
“Banyak, Bu. Seribu lebih,” ucapnya singkat.
Santo mengatakan dirinya menerima gaji Rp 7,5 juta per bulan tanpa tunjangan tambahan atau uang lembur.
“Cuma itu doang. Enggak ada tunjangan-tunjangan lain,” katanya.
Meski telah terdaftar dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Santo berharap ada kepastian masa depan bagi para sopir truk sampah.
“Kami pasti ada tuanya, ada pensiunnya. Berhenti kerja itu enggak ada pesangon,” ujarnya.
Ia juga berharap adanya perbaikan sistem di Bantargebang, terutama terkait infrastruktur jalan dan kondisi zona pembuangan.
“Baikin jalannya, karena menyiksa. Terus zonanya kalau bisa rata, jangan miring, biar aman pas buka bak,” kata Santo.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, menilai kondisi kerja sopir truk sampah sangat berisiko bagi kesehatan.
“Tidur normal itu enam sampai delapan jam. Delapan jam untuk aktivitas berat, delapan jam aktivitas ringan,” ujar Ari saat dihubungi.
Jam kerja panjang dan kurang tidur, kata Ari, akan berdampak langsung pada kesehatan tubuh secara menyeluruh.
“Kalau supir bekerja dengan jam sangat panjang dan kurang tidur, itu tentu akan memengaruhi keadaan tubuh dan kesehatannya secara keseluruhan,” kata dia.
Paparan polutan dan gas metana dari sampah juga memperparah risiko kesehatan.
“Seharusnya dilengkapi masker agar tidak terpapar langsung gas metana dan polutan,” tutur Ari.
Ari menekankan bahaya
microsleep
, kondisi ketika seseorang tertidur sepersekian detik tanpa disadari. 
“Itu sering terjadi pada pengendara kendaraan umum. Tiba-tiba tertidur sekejap dan itu bisa fatal,” katanya.
Selain itu, dehidrasi dan kelelahan dapat menurunkan daya pikir dan performa tubuh.
“Jangka pendek bisa mudah sakit. Jangka panjang bisa terjadi gangguan kesehatan umum, infeksi, stres, hipertensi, bahkan stroke,” ujar Ari.
Paparan kronis terhadap gas dan partikel sampah juga berisiko menyebabkan penyakit paru.
“Bisa mengalami penyakit paru obstruksi kronis. Kalau ada faktor alergi, bisa memicu asma,” kata dia.
Risiko tersebut menjadi nyata dalam kasus meninggalnya Yudi (51), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan. Yudi meninggal dunia pada Jumat (5/12/2025) setelah menjalani jam kerja panjang.
“Dia akumulasi kelelahan karena waktu kerjanya bisa lebih dari delapan jam,” ujar Fauzan (46), rekan sesama sopir.
Sehari sebelum meninggal, Yudi mulai bekerja pukul 05.00 WIB, mengangkut sampah hingga truk penuh, lalu menuju Bantargebang. Antrean di lokasi pembuangan memakan waktu sekitar delapan jam.
“Masuk jam 11.24 WIB, keluar jam 19.04 WIB,” kata Fauzan.
Setelah keluar dari Bantargebang, Yudi tidak langsung pulang. Ia mengisi bahan bakar dan beristirahat di warung nasi karena keesokan harinya harus kembali bekerja.
Sekitar pukul 03.00 WIB, Yudi mendadak mengalami sesak napas dan kejang. Ia dilarikan ke RS Karya Medika, namun dinyatakan meninggal dunia akibat gangguan jantung.
“Kalau kami orang awam bilangnya angin duduk,” ujar Fauzan.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan almarhum terindikasi memiliki penyakit jantung.
“Keluarga sudah diberikan santunan yang maksimal oleh dinas terkait dan BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Pramono.
Ia menegaskan pemerintah terus memonitor penanganan kasus tersebut.
Pengamat lingkungan Mahawan Karuniasa menilai persoalan kesehatan sopir tidak bisa dilepaskan dari krisis struktural TPST Bantargebang.
“Volume sampah yang masuk sekitar 7.000 ton per hari,” kata Mahawan saat dihubungi.
Saat ini, timbunan sampah di Bantargebang diperkirakan mencapai 55 juta ton dengan ketinggian 40 hingga 60 meter.
Dengan sisa kapasitas sekitar 15 juta ton, Bantargebang diperkirakan hanya mampu bertahan enam tahun jika tidak ada perubahan signifikan.
“Ketimpangan antara inflow dan kapasitas pemrosesan membuat antrean tak terhindarkan,” ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Kelompok Riset Teknologi Pengelolaan Sampah BRIN Sri Wahyono menambahkan, TPST Bantargebang sudah berada di ambang kritis.

Landfill
dapat dikategorikan hampir penuh. Sekarang kapasitas sisanya semakin kecil,” katanya.
Menurut Sri Wahyono, kondisi ini menambah risiko keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk bagi sopir truk yang harus menunggu berjam-jam di lingkungan penuh gas berbahaya.
Di tengah gunungan sampah yang kian menjulang, kesehatan para sopir menjadi penyangga terakhir sistem pengelolaan sampah Jakarta. Tanpa pembenahan dari hulu hingga hilir, beban itu akan terus ditanggung oleh tubuh-tubuh yang bekerja nyaris tanpa jeda.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.