Tak jauh dari cerita Siti, Budi Hartono, 29 tahun, juga mengalami kepedihan serupa. Budi, pria asal Bandung yang merantau ke Jakarta dan tinggal di kosan daerah Tebet, Jakarta Selatan, bekerja di sebuah kantor di kawasan Senayan. Selama bertahun-tahun, Halte Bundaran Senayan adalah titik persinggahannya setiap pagi. Dari sana ia berjalan kaki ke gedung perkantoran yang jaraknya hanya beberapa ratus meter. Tapi pada tanggal 30 Agustus 2025, sehari setelah demonstrasi berakhir ricuh, rutinitas itu terhenti mendadak.
Hari itu sebenarnya perusahaan sudah memutuskan agar karyawan bekerja dari rumah karena situasi kota yang belum kondusif. Namun Budi harus datang ke kantor untuk mengambil laptop dan beberapa peralatan kerja. Ia berangkat pagi-pagi dari Tebet dengan niat naik busway seperti biasa, tapi kenyataannya halte Bundaran Senayan sudah hancur terbakar. “Saya harus ambil alat kantor pagi-pagi dari kosan di Tebet. Tapi karena halte terbakar, saya terpaksa naik ojek online, padahal belum gajian, uang udah mepet,” keluhnya.Perjalanan itu menguras perasaan. Ia terbiasa membayar ongkos Transjakarta yang terjangkau, tapi kali ini harus mengeluarkan biaya pulang- pergi ojek online yang lumayan menggerus sisa saldo rekeningnya.
Pada Senin pagi, 1 September 2025, Budi akhirnya kembali ke kantor. Ia berangkat dengan perasaan campur aduk, karena tahu halte Bundaran Senayan yang selama ini menjadi titik turunnya sudah tinggal puing.Yang ada kini hanyalah halte NBRT darurat, berdiri seadanya di pinggir jalan, sejajar dengan trotoar. Bekas gosong di tiang sekitar masih jelas terlihat. Ia menunggu bus di antara kerumunan penumpang lain, sambil menyeka keringat yang menetes karena terik matahari pagi Jakarta. Debu jalanan beterbangan setiap kali kendaraan melintas, bercampur dengan aroma aspal yang membuat tenggorokan terasa gatal. Budi berdiri memandang sekeliling dengan perasaan tak karuan.
“Rasanya jauh sekali sama halte aslinya. Biasanya lebih adem, ada kursi, ada kaca. Sekarang berdiri aja di pinggir jalan, panas, debu, dan agak takut juga karena bekas kebakaran masih kelihatan,” katanya. Meski waswas, ia tahu tidak ada pilihan lain. Halte darurat inilah satu-satunya cara untuk tetap bisa mencapai kantornya tanpa mengeluarkan biaya lebih besar untuk ojek online. Halte kebanggaannya kini dipagari, dengan pekerja yang mulai membersihkan puing. Di salah satu dinding pagar perbaikan, terpampang kalimat besar. “Halte adalah rumah kedua kita dalam perjalanan.”
Kalimat itu menampar hati Budi. “Yang manfaatnya paling berasa untuk rakyat, malah dibakar sampai habis sisa puing-puing,” ujarnya. TransJakarta memang langsung menggratiskan layanan selama seminggu penuh hingga 7 September 2025 sebagai bentuk dukungan moral bagi warga yang terganggu mobilitasnya. Kebijakan itu membuat banyak orang terharu, termasuk Budi. Walau ia tidak bisa turun tepat di Halte Bundaran Senayan yang sudah hangus, ia merasa simpati yang mendalam. “Saya malah nggak keberatan bayar. Justru heran aja, dalam kondisi dibakar begitu, TransJakarta masih mikirin kita. TransJakarta justru lebih memahami rakyat daripada Dewan Perwakilan Rakyat,” katanya.
Gubernur Jakarta, Pramono Anung, mengatakan, pemerintah sudah mulai melakukan pembersihan serta perbaikan halte-halte TransJakarta yang rusak sejak Sabtu, 30 Agustus 2025. “Mudah-mudahan baik yang rusak sedang, rusak berat, akan bisa kita selesaikan tanggal 8 atau 9 September,” ujar politikus PDI Perjuangan itu.
/data/photo/2025/12/06/69340c90d8e99.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/08/27/68ae80079360e.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4706409/original/091051700_1704368320-20240104-Cuaca_Ekstrim-ANG_5.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6932d79d59ce4.jpeg?w=250&resize=250,140&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6932c987197cb.jpg?w=250&resize=250,140&ssl=1)





